OPINI: Menguak Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Syariah
Oleh: Tamsir, SE
* Mahasiswa Ekonomi Syariah Pasca Sarjana UIN Alauddin Makassar
Bulan Ramadan adalah momentum untuk mensucikan transaksi keuangan dengan basis kemitraan yaitu saling tolong-menolong antara pihak yang surplus financial (kelebihan dana) dengan pihak yang defisit financial (kekurangan dana).
Bagi hasil merupakan term yang menarik untuk diperbincangkan di dunia kauangan, pasalnya dunia keuangan hari ini telah terpolarisasi menjadi dua kutub yaitu dunia keuangan syari’ah dan dunia keuangan konfensional. Oleh karena itu dewasa ini Indonesia termasuk penganut dual sistem banking.
Kehadiran lambaga keuangan syariah merupakan alternatif terhadap lembaga keuangan konfensional yang berbasiskan bunga.
Bunga dianggap sebagai unsur terlarang dalam paradigma agama karena cenderung ekplotatif terhadap sesama umat manusia.
Konsep bagi hasil dalam pembiayaan syariah diharapkan dapat mewujudkan keadilan dalam transaksi keuangan.
Jika pembiayaan berbasis bunga ditetapkan diawal akad bahkan sebelum akad sebagai bentuk konpensasi dari peminjaman modal maka bagi hasil dapat diketahui bilamana hasil usaha telah diperoleh.
Bagi hasil dalam pembiayaan syariah memiliki prinsip yang mendasar yaitu prinsip profit and loss-sharing (mekanisme saling berbagi laba dan saling menanggung risiko).
Apabila usaha yang dikelola oleh umat dari pembiayaan syariah berjalan dengan baik lalu memperoleh profit, maka keuntungan tersebut dibagi antara shahibul maal (penyandang dana) dengan mudharib (pengelola dana) demikian pula sebaliknya bilamana usaha yang dikelola tidak berjalan sesuai dengan prospek (terjadi kerugian) maka kerugian tersebut ditanggung secara bersama pula.
Shahibul maal sebagai pemilik dana menanggung rugi secara financial sedangkan mudharib sebagai pihak yang mengelola dana menanggung rugi karena beban tenaga dan waktu.
Keuntungan bagi hasil dalam pembiayaan syari’ah sesungguhnya fleksibel berbeda halnya dengan konsep bunga pada lembaga keuangan konfensional yang cenderung bersifat flat (tetap) ia dapat berubah kecuali suku bunga acuan mengalami pergeseran, dan prinsip loss-sharing dalam pembiyaan syariah tidak dimiliki sama sekali lembaga keuangan konfensional.
Oleh karena itu, pada dasarnya bagi hasil dalam pembiayaan syariah merupakan bentuk implementasi saling tolong menolong antara sesama umat manusia, pihak yang surplus financial (kelebihan dana) menolong pihak yang defisit financial (kekurangan dana).
Fenomena masyarakat banyak ditemui bahwa mereka sulit untuk menjalankan usaha karena keterbatasan modal maka disaat inilah pihak yang dikatakan the have (orang yang berpunya) hadir untuk memberikan akses financial keapada para usahawan yang the have not (tidak berpunya).
Sementara disisi lain para usahawan menolong Shahibul maal agar dana yang ia miliki tidak mengendap begitu saja tetapi bisa produktif dan bermanfaat bagi orang lain, tidak hanya dapat menggerakan ekonomi umat tetapi disisi lain merupakan amal ibadah sang pemilik dana kepada tuhan yang maha esa.
Penentuan pengembalian modal dan margin pun disepakati dengan cara seksama dan saling bernegosiasi sacara transaparan antara kedua bela pihak masing-masing mempertimbangkan kondisi dan keadaanya, sehingga akad terjadi dan berjalan secara rela sama rela tanpa ada pihak yang dizolimi dan terzolimi.
Bagi hasil yang bernuansa keadilan tidak menghendaki perolehan laba diatas kerugian pihak yang lain tetapi menghendaki keuntungan yang berkah yang diperoleh dari hasil transaksi keuangan ridho sama ridho yang berspirit ilahiah antara kedua bela pihak.
Konsep bagi hasil dalam pembiayaan syariah tersebut telah terformalisasi pada peraturan bank Indonesia No. 10/16/PBI/2008 pasal 8 ayat 3. Dan dalam fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI (Majelis Ulama Indonesia) No. 15/DSN-MUI/IX/2000. Bahwa bagi hasil dalam pembiayaan syari’ah terklasifikasi menjadi dua yaitu revenue sharing dan profit sharing.
Hemat kami perlu peninjauan ulang terhadap fatwa tersebut karena MUI dalam keteranganya menekankan pada lembaga keungan syariah untuk menggunakan akad revenue sharing (pembagian laba bruto). Ini mengarah pada tindakan eksploitatif terhadap mudharib, karena pengelola dana berpretendsi menanggung sendiri beban dan biaya operasional sehingga berpotensi mengalami kerugian.
Seharusnya MUI mengarahkan umat untuk menggunakan mekenasime yang terdapat pada akad profit sharing yaitu pembagian laba bersih yang lebih berpeluang menciptakan sebuah keadilan, di negara-negara muslim lainya seperti yang terdapat Arab Saudi, Iran dan Malaysia telah menerapkan konsep profit sharing.
Bagi hasil dalam pembiayaan syari’ah hakikatnya merupakan sebuah konsep keadilan karena sifatnya saling tolong menolong antara sesama umat manusia dalam tradisi masyarakat Indonesia lebih dekat dengan istilah gotong royong.
Demikianlah ajaran Islam yang rahmatan lil alamin, implementasinya merupakan rahmat bagi semua umat, baik yang berbeda agama, ras, suku, bangsa dan budaya. (sir_tam@yahoo.co.id)
Tinggalkan Balasan