ESSAY: Ajari Aku Bernegara yang Baik
Oleh: Muflih Gunawan
(Warga Kota Palopo, Pengurus Ikami Sulsel Cabang Malang)
BELAKANGAN ini begitu ramai tentang pemberitaan perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Warung kopi nampak dipenuhi pemuda yang sedang belajar bersama, menikmati segelas kopinya hingga larut malam.
Tak sedikit diantaranya tergolong begitu muda, sebut saja mereka adalah fresh graduate (baru lulus). Tentu saja masih tertanam benih idealis.
Beberapa diantaranya ialah orang yang aku kenal, dulunya teman seperjuangan demonstrasi. Namun tak ada masalah dengan itu, barangkali ia ingin mengabdikan dirinya pada Negara.
Sesekali aku mendengar diantara mereka mencoba menghapalkan lima sila yang terkandung dalam Pancasila, oh ternyata mereka begitu kaku dan terbatah-batah menyebutkan dasar Negara.
Kesimpulan ku mungkin terlalu cepat, barangkali ini adalah akibat karena sewaktu kuliah tidak lagi melaksanakan upacara.
Tanpa sengaja aku mendegar mereka mendiskusikan tentang butir-butir Pancasila. Aku terperanjat mendengar hal tersebut, mungkin ini ialah keterbatasan wawasanku, aku baru tahu kalau setiap sila memiliki butir-butir tersendiri.
Sebut saja aku gagal dalam berwarga Negara. Sesegera mungkin aku mengambil gadget yang berada di dalam tasku, mencari perihal tersebut pada laman Google.
Bagaimana mungkin diriku yang sudah menjalani hidup selama 22 tahun tidak tahu tentang butir-butir Pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia?
Jelas aku malu pada diriku, Pada Bapak Bung Karno dan Bung Hatta. Aku membaca perlahan setiap butir-butir yang tertara pada setiap sila, mencoba menginsyafi makna yang terkandung di dalamnya, memenjarakan diriku, sementara waktu pada layar handpone yang aku genggam. Sesekali aku menyeruput kopi hitam dan menghisap tembakau yang nantinya aku sandarkan pada pinggiran asbak. Lalu, melanjutkan bacaanku.
Sampai tiba waktunya aku telah selesai membaca setiap butir-butirnya dan membuat diriku termenung untuk beberapa saat.
Kini aku mulai bertanya-tanya kepada diriku tentang keseriusan Negara dalam mengilhami Pancasila.
Bersamaan dengan itu, aku menyadari filosofi Pancasila sebagai Ideologi yang dinamis, ideal dan sangat humanis.
Namun pertanyaan tentang keseriusan Negara mengilhami serta merealisasikan butir-butir Pancasila sebagai bentuk kepribadian bangsa masih saja belum terjawab.
Terus mengambang pada pikiranku. Sesekali aku merefleksikan beberapa insiden yang sekiranya lagi dan lagi membuat aku malu di hadapan para Founding Father’s.
Bahwa dalam Sila ke-2 jelas mengajarkan kita untuk memposisikan manusia sesuai harkat dan martabatnya, namun tidak jarang dari sikapku yang bertindak rasis, bertindak seolah berkuasa di atas beberapa orang tertentu, dan mengejek beberapa diantaranya yang berbeda denganku. Aku gagal dalam berwarga Negara.
Sila ke-5, mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan tidak boros, tidak glamor, bekerja keras dan tidak mengeluh. Namun nahasnya semua itu jauh dari kepribadianku.
Aku teringat kembali pada kisah Bung Hatta yang begitu sederhana dan bijak, ketika ia hendak membeli sepatu Bally, namun uangnya yang tak cukup, padahal saat itu dirinya sebagai orang nomor dua di Indonesia.
Aku telah mengoreksi sisi kehidupanku yang tidak relevan dengan butir-butir Pancasila. Jika diperkenankan, maka aku akan bertanya kepada Anda? Apakah sudah sesuai?
Ini akan menjadi momen yang terbaik bagi kita untuk merenungkannya sekali lagi, untuk kemudian mencoba menjadi warga Negara yang baik.
Lalu aku akan bertanya pada Negara tentang eksistensi Pancasila dalam setiap kebijakannya, masihkan tertanam butir-butirnya?
Bagaimana bisa kau katakan “iya” kalau pejabat-pebajatnya begitu glamor menjalani kehidupannya, mobil-mobil mewah terparkir nyaman pada halaman rumahnya, ia makan menggunakan sendok dan garpu yang mengkilat berwarna emas, merek pakaiannya berlogo dan tertulis yang aku yakini bukan Bahasa Indonesia. Aku tahu itu bukan produk Tanah Air kita.
Sementara di pinggir jalan masih berhamburan anak-anak mengadu nasib dan pengemis-pengemis yang entah sampai kapan akan bertahan karena tidak lama lagi mereka akan dipidanakan oleh produk hukum yang engkau buat.
Lalu siasat apa lagi yang akan kau gunakan untuk mengatakan bahwa kita harus menjunjung Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia?
Aku tak tahu harus bagaimana caranya untuk menjadi warga Negara yang baik.
Mungkin prasangka ku salah tentang ke-dinamis-an Pancasila, barangkali berlomba-lomba hidup mewah adalah bagian yang harus dicantumkan pada pancasila. Sekira itu lebih relevan dan tentu akan dinamis.
Negara meminta kepada para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) utuk betul-betul menginsyafi butir-butir Pancasila agar mampu menjadi negarawan yang baik kelak.
Namun orang-orang terdaulu pun sama, tidak ada yang berubah. Mereka juga melewati fase yang mengharuskan menghapal Pancasila namun tidak seorang pun Pejabat mencerminkan nilai-nilai sebagaimana yang terkandung pada setiap Sila. Aku harus bagaimana?
Sudah waktunya mungkin aku mengambil kesimpulan bahwa Pancasila mati di tanah Pancasila itu sendiri lahir.
Mungkin akan sedikit lebih kaku menjalani kehidupan setelah aku keluar dari warung kopi ini, aku akan menyaksikan bagaimana perilaku setiap warga Negara mengingkari ikrar Pancasila. (*)
Tinggalkan Balasan