OPINI: Keraton Agung Sejagat dan Negeri Delusi
Oleh: Arifin Zainuddin Laila
Mahasiswa pasca sarjana Universitas Nasional Jakarta
Belum lama ini publik di hebohkan dengan Adanya Keraton Agung Sejagat di jawa tengah.
Menyaksikan ulah para petinggi dan punggawa Keraton Agung Sejagat, kehadiran mereka sangat kental mewakili masyarakat di negeri ini yang selama ini telah terperangkap dalam delusi yang sempurna.
Hal ini hanya mungkin terjadi dalam kehidupan di sebuah negeri yang kaya akan delusi. Di mana para pemimpinnya cenderung sangat akrab dengan perilaku delusional.
Sehingga bagi saya sangat aneh bila ada reaksi berlebihan. Bukankah kita tengah melihat wajah kita sesungguhnya di sebuah kaca besar yang selama ini sengaja diburamkan.
Masyarakat dibiarkan lama hidup di sebuah negeri di mana kaca untuk melihat diri sendiri sulit di dapat dan nyaris punah.
Bila memang tersedia kaca yang normal dan berfungsi sebagai kaca yang memantulkan gambar wajah asli kita, silahkan coba.
Minta saja sejumlah pejabat sipil maupun militer di negeri ini berdiri di depan kaca. Suruh mereka bertanya pada tampilan diri sendiri di dalam kaca, bagaimana saya sebagai pejabat tinggi yang penghasilan resminya per bulan tak lebih dari 40 juta, dapat memiliki rumah mewah, kendaraan mewah, menyekolahkan anak di universitas mewah di luar negeri, dan seterusnya.
Karena berdasarkan hitungan matematika tanpa manipulasi, untuk bertahan hidup sebulan dalam batas kewajaran saja, sudah sangat sulit. Hanya mereka yang beriman taqwa tinggi yang berhasil lolos dari jebakan maut yang selama ini terpelihara dan dihadirkan untuk memproduksi dosa struktural.
Kehidupan yang koruptif pun menjadi tak terelakan. Terutama justru di hampir seluruh institusi negara. Sehingga kehidupan dan praktik hidup yang koruptif dianggap sebagai hal biasa.
Pejabat tinggi negara atau seorang Jenderal dengan rumah megah harta berlimpah, tak menjadi masalah yang ditabukan. Bahkan dianggap wajar dan sepantasnya. Dari mana harta mereka dapat, tak menjadi persoalan penting! Pembuktian terbalik sengaja dipeti-es kan.
Yah memang, di negeri yang kaya delusi, antara yang seharusnya dan yang nyata terjadi sekarang selalu dalam posisi bertolak belakang. Oleh karenanya para petinggi negara sangat mudah membius rakyatnya.
Dengan mengumbar janji bahwa esok kehidupan akan indah dan penuh kebahagiaan, rakyat menerima dengan ilusi yang mereka miliki. Ketika secara masif hadir dan berkembang, maka ia berhasil menghadirkan kumpulan masyarakat yang delusional.
Misalnya, cukup dengan menyuguhkan angka-angka keberhasilan di bidang ekonomi, mayoritas rakyat langsung yes and amin..!!Kelak kita, dalam 3 dekade mendatang, akan menjadi negara lima besar terkuat ekonominya di dunia.
Mayoritas rakyat pun tersenyum bangga penuh harap. Padahal kehidupan sehari-hari yang mereka jalankan, penuh luka dan duri ekonomi yang sakitnya sangat terasakan saat mereka berjalan dalam kehidupan nyata.
Juga ketika rakyat diberi dolanan ilusi dengan memompa masalah Bonus Demografi yang bakal membuat kita lebih berpeluang menjadi negara digdaya. Pekerja dengan kriteria umur produktif akan melimpah ruah.
Tidak seperti Jepang dan negara barat yang pertumbuhan demografinya stagnan, sehingga tiga dekade mendatang dipenuhi kelompok masyarakat nonproduktif.
Mendengar uraian ini, kembali mayoritas masyarakat pun tersenyum lebar penuh harap. Tanpa mempersoalkan, dalam realita hari ini, melimpah ruahnya kaum muda yang mayoritas minim pendidikan, nonskill, dengan mental koruptif, reaktif, destruktif, bukannya malah menjadi beban negara ke depan.
Juga dalam hal perpindahan ibu kota yang konon sudah dirancang dengan baik. Sehingga dipastikan nilai positif dan berkahnya kelak akan dirasakan oleh anak cucu bangsa ini ke depan.
Sebuah harapan dan mimpi rakyat yang digelar di atas tanah gambut dan bersarangnya jutaan ton batubara di dalam hamparan tanah calon ibu kota negeri.
Kita resah karena masyarakat yang terbutakan akan kenyataan ini, kompak mengamini para petinggi negeri yang kebanyakan terjangkit wabah delusioner.
Kita menjadi tak berani secara kritis menanyakan nilai pembangunan yang bakal berlipatganda harganya dalam hitungan ekonomi. Menjadi sangat mahal ketika bangunan dipaksakan tegak berdiri di atas tanah gambut dan yang memendam miliaran ton kandungan batubara di dalamnya.
Tentunya banyak lagi hal yang bisa diajukan sebagai bukti bahwa negeri kita ini telah lama menjadi surganya dilusi. Kalau tidak begitu, tak akan terjadi peristiwa sejenis skandal Jiwasraya, Century, BLBI dan lain-lain.
heboh OTT kasus suap KPU oleh kader partai penguasa yang masih menyimpan misteri. permusuhan berkelanjutan antara pendukung 1 dan 2, serta lain-lainnya yang masih banyak lagi!
Kita tak perlu lagi kaget dan terheran-heran karena dalam keseharian sudah terlalu banyak orang telanjang berjalan di jalan raya, dan itu dianggap hal biasa, bukan hal yang memalukan dan tdak salah!
Kraton Agung Sejagat adalah ilusi sang raja, dan kita adalah penikmat negeri delusi.
Hehe..
Olehnya itu bagi yang percaya pada hukum alam terhadap para petinggi yang menjadikan negeri ini surganya delusi, biarkan nanti alam yang akan menelanjangi mereka, satu persatu. (*)
Tinggalkan Balasan