OPINI: Kebijakan Populis, Bukan Solusi Tuntas Problem Pendidikan
Oleh: Erny Madis, S.Si
Hari Pendidikan Nasional di bulan Mei kemarin kembali diperingati dengan berbagai pernyataan dan program yang menggugah optimisme. Presiden meluncurkan sejumlah program yang diklaim sebagai upaya perbaikan pendidikan nasional, mulai dari renovasi sekolah, pembangunan infrastruktur pendidikan, hingga pemberian bantuan langsung kepada guru honorer. Namun pertanyaannya, apakah program-program ini sungguh menjawab akar persoalan pendidikan? Ataukah sekadar kebijakan populis yang hanya menyentuh permukaan?
Potret Suram Pendidikan di Negeri Ini
Kondisi pendidikan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dari sisi sarana, prasarana, dan kesejahteraan tenaga pendidik. Data dan laporan media menunjukkan betapa memprihatinkannya realitas di lapangan.
Di Bekasi, ratusan siswa terpaksa belajar di perpustakaan karena ruang kelas rusak berat. Bahkan, ruang kelas tersebut nyaris ambruk (Tirto.id, 2024).
Presiden Prabowo sendiri menyatakan kaget melihat fasilitas sekolah yang sangat minim dalam kunjungannya, menandakan bahwa masalah ini sangat nyata bahkan di hadapan pemangku kebijakan tertinggi (Tirto.id, 2024).
Skema bantuan tunai Rp 3 juta per semester untuk guru, sebagaimana dilansir Tempo.co, serta rencana cash transfer bulanan untuk guru honorer (Kompas.com, 2025), tidak serta-merta mengubah nasib mereka yang telah lama hidup dalam ketidakpastian status dan bertahan dengan gaji yang tidak layak.
Di satu sisi, pendidikan adalah sektor strategis bagi masa depan bangsa. Namun di sisi lain, para pelaksana pendidikan (guru) dan fasilitas pendukungnya justru berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Situasi ini menunjukkan bahwa krisis pendidikan bukanlah hal baru, melainkan persoalan lama yang tak kunjung selesai karena tidak pernah disentuh secara sistemik.
Di Balik Krisis Pendidikan: Sistem Rusak dan Korupsi
Masalah-masalah di atas bukan sekadar persoalan teknis ataupun hanya soal kurangnya dana. Masalah utamanya jauh lebih mendalam, yaitu sistem pengelolaan pendidikan yang berbasis kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, peran negara dalam pendidikan makin lama makin mengecil. Pendidikan dipandang sebagai layanan yang bisa disubkontrakkan kepada swasta, bahkan dijadikan komoditas untuk dijual kepada masyarakat.
Sistem ini menghasilkan beberapa karakteristik utama:
- Negara tidak mengambil peran penuh dalam penyelenggaraan pendidikan. Tanggung jawab sebagian besar dilempar ke swasta.
- Pendidikan menjadi komoditas, bukan kebutuhan dasar rakyat. Akibatnya, banyak sekolah kekurangan fasilitas karena negara hanya memberi bantuan sebatas anggaran yang tersedia.
- Negara lebih banyak bergantung pada utang luar negeri untuk membiayai pembangunan, termasuk di sektor pendidikan, ketimbang mengelola ygnegara secara mandiri.
Yang memperparah keadaan adalah korupsi sistemik. Dana pendidikan yang sudah terbatas sering kali bocor di berbagai level birokrasi. Mulai dari pengadaan buku dan pembangunan sekolah, hingga tunjangan guru, semuanya rentan dikorupsi. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sektor pendidikan termasuk dalam daftar tiga besar sektor dengan risiko korupsi tertinggi karena anggaran besar dan pengawasan lemah.
Sehingga, meski anggaran pendidikan dalam APBN secara nominal tampak besar (20% dari total anggaran), realitasnya di lapangan sangat timpang karena efektivitas distribusinya sangat buruk. Sistem kapitalis lah yang membuka celah besar bagi praktik korupsi, yang menjadi salah satu akar dari buruknya kualitas pendidikan hari ini.
Pendidikan adalah Hak, Negara adalah Penjamin
Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan dasar rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara tanpa syarat. Dalam sistem Islam, negara adalah penanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan secara gratis, merata, dan berkualitas tinggi bagi seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin, di kota maupun di pelosok.
Allah SWT berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan ilmu dalam Islam. Negara dalam sistem Islam wajib menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyatnya mendapatkan ilmu dan mengembangkan potensi mereka secara maksimal, tanpa kecuali. Pendidikan bukan hanya hak, tapi kebutuhan strategis yang harus dijamin negara demi kemuliaan umat.
Selain itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini mencakup tanggung jawab pemimpin negara untuk menjamin terpenuhinya hak rakyat, termasuk hak atas pendidikan.
Secara historis, Khalifah Umar bin Khattab RA mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan menggaji para guru dari kas negara (Baitul Mal), sebagai bukti bahwa dalam daulah Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara.
Beberapa prinsip penting pendidikan dalam Islam:
- Pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada swasta atau diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
- Gratis dan inklusif, tanpa diskriminasi sosial, ekonomi, atau geografis.
- Berbasis akidah Islam, yang membentuk kepribadian Islami serta mengembangkan potensi akal dan keterampilan secara bersamaan.
- Tenaga pendidik yang sejahtera, karena mereka adalah pembentuk generasi dan penjaga ilmu, maka negara wajib menjamin kesejahteraan dan kemuliaan mereka.
Agar negara dalam sistem Islam dapat menyediakan pendidikan yang luas dan berkualitas tanpa membebani rakyatnya, maka mekanisme yang ditempuh sebagai berikut:
- Sumber Anggaran yang Mandiri dan Kaya
Islam memiliki sistem ekonomi khas yang berbeda dengan kapitalisme. Negara memiliki sumber pendapatan yang kokoh dan beragam. Dalam sistem Islam, negara tidak bergantung pada pajak atau utang. Negara memiliki pos pemasukan tetap yang dikelola melalui Baitul Mal, antara lain:
- Kepemilikan umum seperti tambang, hutan, laut, dan energi (hasilnya dikembalikan kepada rakyat, termasuk melalui pendidikan).
- Zakat, khususnya dari muslim yang mampu.
- Kharaj dan jizyah, dari non-muslim yang tinggal dalam perlindungan negara Islam.
- Fa’i dan ghanimah, dari hasil perolehan militer.
Dengan sumber-sumber ini, negara mampu membiayai sektor pendidikan tanpa harus membebani rakyat dengan pajak tinggi atau terjerat utang.
- Pendidikan Gratis dan Merata
Negara wajib mendirikan sekolah gratis mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tanpa ada pungutan liar atau biaya tersembunyi, kemudian pelajar tidak dibedakan berdasarkan status sosial, fasilitas lengkap dan merata, tanpa diskriminasi wilayah - Kesejahteraan Guru
Islam sangat memuliakan peran guru. Negara dalam sistem Islam memberikan gaji yang layak bagi para guru, status sosial yang terhormat sebagai pengemban amanah ilmu serta perlindungan hukum dan fasilitas kerja yang memadai. - Sarana dan Prasarana Memadai dan Layak
Karena pendidikan bukan proyek bisnis, pembangunan sekolah, laboratorium, dan fasilitas pendukung tidak tergantung investor. Semua dibiayai oleh negara sebagai bentuk pelayanan publik. - Pengelolaan Bebas Korupsi
Sistem pemerintahan Islam memiliki mekanisme kontrol dan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi, termasuk pengawasan dari lembaga hisbah. Transparansi keuangan menjadi standar wajib dalam tata kelola pemerintahan.
Butuh Perubahan Sistemik, Bukan Sekedar Solusi Tambal Sulam
Kebijakan populis berupa renovasi dan bantuan dana tunai kepada guru mungkin memberikan efek jangka pendek yang menyenangkan. Namun jika akar masalahnya tidak diubah yaitu sistem kapitalistik dalam pengelolaan pendidikan, maka semua ini hanya akan menjadi solusi tambal sulam yang tidak bertahan lama. Masalah-masalah seperti sekolah ambruk, guru bergaji rendah, dan akses pendidikan yang tidak merata akan terus berulang.
Islam sebagai ideologi yang komprehensif telah terbukti mampu menyelenggarakan pendidikan berkualitas tinggi dalam sejarah peradabannya. Sudah saatnya negeri ini serius mempertimbangkan solusi sistemik berbasis Islam, agar generasi masa depan benar-benar disiapkan dalam sistem yang memuliakan ilmu, guru, dan pendidikan sebagai pilar peradaban.
Tinggalkan Balasan