OPINI: Corona, Anak, dan Tahun Ajaran Baru
Oleh : Ummu Raida
(Perempuan Hijrah Sorowako, Luwu Timur)
WABAH corona di negeri ini masih menunjukkan penambahan. Kurva masih terus menunjukkan kenaikan.
Di tempat tinggal saya, di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, yang letaknya di ujung Sulawesi Selatan, bagian utara saja, setiap hari jumlah pasien positif Covid-19 masih terus bertambah apatah lagi didaerah perkotaan.
Trend kenaikan ini menunjukkan bahwa wabah ini masih belum bisa dipastikan kapan akan mengalami penurunan.
Ditengah penunjukan trend seperti ini justru pemerintah mengeluarkan wacana “New Normal” termasuk membuka kembali sekolah-sekolah.
Dikutip dari pernyataan Mendikbud estimasi membuka sekolah kembali pada pertengahan Juli sesuai dengan kalender pendidikan dengan menjalankan protokol kesehatan yang ketat.
Namun, jika kasus Covid-19 masih tinggi, maka pembelajaran jarak jauh untuk pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan dasar, dan pendidikan menengah tetap dilanjutkan.
Menurut data IDAI, hingga tanggal 18 Mei 2020 jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) anak sebanyak 3.324 kasus. Sedangkan jumlah anak yang berstatus PDP meninggal sebanyak 129 orang dan 584 anak terkonfirmasi positif COVID-19, dan 14 anak dinyatakan meninggal dunia akibat COVID-19.
Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan jumlah kasus corona tinggi memiliki banyak kasus anak positif corona. Dilihat dari situs corona.jakarta.go.id, pada Minggu (31/5/2020), hingga hari ini ada 91 balita (0-5 tahun) di Jakarta tercatat positif terinfeksi COVID-19.
Adapun balita yang menjadi orang dalam pemantauan (ODP) mencapai 1.363 anak. Sementara pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 369 anak.
Sementara itu, kasus positif corona anak usia 6-19 tahun di Jakarta juga belum tuntas. Tercatat, sebanyak 390 anak.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, ternyata di Surabaya ada 127 anak berusia 0-14 tahun yang dinyatakan positif COVID-19. Fakta ini diungkakan Koordinator Protokol Komunikasi, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya, M Fikser (30/5).
Dari data dua kota besar di Indonesia ini menunjukkan bahwa anak-anak termasuk yang rentan terkena virus covid-19.
Dan ini menunjukkan bahwa Indonesia belum memenuhi kriteria/standart untuk membuka kembali sekolah-sekolah dalam waktu dekat ini.
Dan dari survey yang diadakan KPAI dan IDAI menunjukkan sekitar 71% warga yang mengikuti kuisioner (termasuk saya sebagai seorang ibu) ini tidak setuju sekolah dibuka kembali dalam waktu dekat (Juli 2020).
Hendaknya pemerintah mau mempertimbangkan saran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk tetap melaksanakan metode pembelajaran jarak jauh mengingat sulitnya melakukan pengendalian transmisi apabila terbentuk kerumunan.
Meskipun ada berbagai macam protokol dipersiapkan tetapi bila anak-anak masuk ke sekolah saat pandemi bisakah anak-anak tertib memakai maskernya sepanjang waktu di sekolah, dan bisakah orang tua menjamin anak-anak akan disiplin mengganti masker tiap empat jam pemakaian atau setiap kotor dan basah.
Bisakah kita benar-benar percaya kalau anak-anak tidak akan mengucek mata atau memegang hidung dan mulutnya selama di sekolah?
Bisakah kita memastikan anak akan tetap jaga jarak 1,5 meter saat jam istirahat karena mereka sedang excited ketemu satu sama lain? Lalu siapkah guru-guru mengawasinya? Dan masih banyak lagi pertimbangan lainnya.
Apalagi salah satu anak saya sementara mengenyam pendidikan disebuah Pondok Pesantren di Makassar jadi bisa terbayang bagaimana anak-anak di asrama selalu berkumpul bersama. Dan ini tidak bisa dihindari.
Pemerintah perlu melibatkan IDAI dan ahli epidemiologi sebelum membuka sekolah pada tahun ajaran baru. Rencana ini perlu dipersiapkan dan dipikirkan secara matang karena menyangkut keselamatan guru, anak-anak, dan pegawai sekolah.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus super hati-hati dan cermat dalam mengambil keputusan membuka sekolah. Keselamatan anak-anak harus menjadi pertimbangan utama saat pemerintah hendak mengambil kebijakan menyangkut anak.
Kita bisa mengambil pelajaran dari beberapa Negara yang membuka sekolah setelah kasus positif Covid-19 menurun drastis bahkan sudah nol kasus. Itupun masih ditemukan kasus penularan Covid-19 yang menyerang guru dan siswa. Peristiwa itu terjadi di Finlandia.
Padahal mereka tentu mempunyai sistem kesehatan yang baik. Persiapan pembukaan yang matang. Sekolah pun jadi klaster baru.
Begitu juga dengan China. Pembukaan sekolah dilakukan setelah tidak ada kasus positif Covid-19 selama 10 hari. Pembukaan disertai penerapan protokol kesehatan yang ketat. Para guru yang mengajar sudah menjalani isolasi dahulu selama 14 hari sebelum sekolah dibuka.
Pembelajaran jarak jauh atau Belajar Dari Rumah (BDR) saat ini juga bukanlah pilihan yang ideal ketika pendidikan sekuler yang menjadi basisnya. Masih banyak keluhan ketika BDR diterapkan.
Misalnya, masih ada guru yang kurang kapabel dalam pembelajaran daring, fasilitas gadget yang tidak memadai bahkan di beberapa daerah masih banyak yang tidak punya handphone, kemampuan membeli kuota internet, jaringan internet yang kurang mendukung, beban pelajaran yang padat, dan lain sebagainya yang membuat BDR ini menjadi hal yang tidak diidamkan bagi sebagian guru dan siswa.
Beberapa solusi yang ditawarkan pengurus negeri ini menggambarkan bahwa solusi yang ditawarkan ini membuat negeri ini semakin semrawut.
Ini membuktikan bahwa system kapitalis yang dianut negeri ini termasuk Negara-negara lain didunia telah gagal meri’ayah(mengurus) warganya. Di dalam Islam telah diatur bagaimana menangani suatu wabah.
Seorang pemimpin haruslah seseorang yang dapat meri’ayah rakyatnya sehingga dia akan fokus memberikan solusi serta pelayanan atas segala kebutuhan rakyatnya dengan tepat.
Jika rakyat sedang dalam kesusahan dalam menghadapai pandemi seperti saat ini maka pemimpin akan hadir di garda terdepan. Pemimpin akan mengupayakan segala kemampuan yang ia miliki untuk menyelamatkan rakyatnya dari wabah.
Oleh karena itu kebijakan yang ia keluarkan pun adalah kebijakan yang menyegerakan penanganan wabah, menghentikan penularan sebagaimana sesuai tuntunan syariat yakni memberlakukan kebijakan lockdown diawal munculnya wabah, menanggung secara penuh keperluan masyarakat terdampak wabah, menjamin pelayanan kesehatan dengan kualitas terbaik untuk mengobati pasien korban wabah, mendukung berbagai riset penemuan vaksin dan obat-obatan yang mampu menghentikan wabah.
Pemimpin dalam Islam akan semaksimal mungkin memenuhi kewajiban penyelenggaraan pendidikan dimasa pandemic dengan menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi para guru maupun siswa.
Negara tidak akan membiarkan para guru kesulitan melaksanakan pembelajaran secara daring.
Namun, jika para pemimpin tetap memilih kapitalisme sebagai solusi menangani wabah ini yang menjadikan faktor ekonomi diatas segalanya maka rakyat tidak akan pernah terlepas dari buah simalakama yang menjeratnya. (*)
Tinggalkan Balasan