Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Dipolisikan Pemangku Adat Rongkong, Ini Penggalan Tulisan Dalam Karya Tulis Ilmiah Peneliti BPNB Sulsel yang Dipersoalkan

Tangkapan layar jurnal, dengan judul 'Mangaru sebagai Seni Tradisi di Luwu' yang berbuntut dilaporkan ke polisi. (riska/tekape.co)

PALOPO, TEKAPE.co – Hasil riset ilmiah yang ditulis dalam bentuk jurnal, dengan judul ‘Mangaru sebagai Seni Tradisi di Luwu’ ramai dibicarakan di Tana Luwu.

Itu setelah masyarakat adat Rongkong, mempersoalkan penggalan kalimat dalam jurnal ilmiah itu.

Buntutnya, Iriani, yang menulis jurnal itu, yang juga Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi Selatan (Sulsel), dilaporkan ke Polres Palopo.

Karya tulis ilmiah yang dipersoalkan itu dimuat dalam jurnal sejarah dan budaya, Walasuji, Volume 7, No. 1, Juni 2016: 109—121, pada halaman 113 tentang pembahasan Stratifikasi Sosial. Jurnal Walasuji ini dikelola BPNB Sulsel.

Yang dipersoalkan adalah penggalan kalimat yang menyebut subetnis Rongkong masuk dalam ‘kaunan’ yang dapat diartikan sebagai masyarakat kalangan bawah, dalam stratifikasi sosial atau lapisan sosial pada masyarakat tradisional Luwu di masa lampau.

Pembahasan stratifikasi sosial itu diambil berdasarkan keterangan dari salah seorang informan, dengan cara wawancara dengan Andi Sanad Kaddi Raja (salah seorang pemangku adat Kedatuan Luwu), pada 22 Februari 2011.

BACA JUGA:
Diduga Hina dan Lecehkan Suku Rongkong, Staf BPNB Sulsel Dipolisikan

Berikut penggalan pembahasan yang membahas stratifikasi sosial masyarakat Luwu di masa lampau, menurut dimensi kekuasaan sebagai dimensi yang cukup menonjol pada masa dahulu.

Stratifikasi Sosial

Dalam masyarakat tradisional secara realitas proses pelapisan sosial umumnya ditentukan oleh faktor yang bersifat mitos yang berkaitan dengan unsur-unsur yang bersifat “supranatural”. Kondisi sosial dan pemikiran demikian merupakan suatu hal umum yang terjadi atau berlaku pada semua kelompok etnis yang terdapat di Indonesia termasuk di Luwu. Seperti adanya ‘to manurung‘ yang dianggap sebagai pemimpin pertama yang ada di Luwu dan keturunannyalah yang saat ini masih dianggap bangsawan.

Menurut Keterangan dari salah seorang informan (wawancara dengan Andi Sanad Kaddi Raja, 22 Februari 2011), bahwa masyarakat Luwu mengenal adanya stratifikasi sosial atau lapisan sosial menurut dimensi kekuasaan sebagai dimensi yang cukup menonjol pada masa dahulu. Dalam suatu garis kontinum, lapisan-lapisan itu dapat dilihat sebagai berikut.

Lapisan atas: (1) Opu, lapisan Menengah: (2) Daeng, lapisan bawah: (3) To maradeka (4) Kaunang (ata).

Perbedaan antara lapisan sosial di atas dengan menengah tidak terlalu signifikan, yakni antara opu dengan daeng. Sebab daeng masih mempunyai darah bangsawan. Walaupun dalam
aturan adat Luwu, daeng tidak bisa menjabat sebagai pajung. Akan tetapi perbedaan antara lapisan atas dengan lapisan bawah, benar-benar jauh berbeda, seperti antara opu dengan kaunang dan kaunang tai manu. Seorang kaunang merasa sangat kecil di hadapan seorang opu, yang dapat dilihat pada saat berinterkasi. Selain itu dapat dilihat pada saat upacara adat, baik pesta pernikahan, maupun pesta kematian.

Sudah jelas perbedaan kekusaan antara opu dengan bukan opu itu cukup besar. Antara daeng dengan opu marupakan lapisan yang cukup berbeda, yakni keturunan daeng atau gelar daeng sama sekali tidak bisa diangkat menjadi pajung, walaupun pada dasarnya punya darah bangsawan, namun karena ada salah satu anggota keluarganya (ayah atau ibu) menikah dengan to sama atau to maradeka, maka darah kebangsawanannya dianggap berkurang, sehingga ia hanya bergelar daeng.

Antara opu dan to maradeka dianggap mempunyai perbedaan yang sangat besar dibanding antara daeng dengan opu. To maradeka adalah dianggap sebagai keturunan orang biasa, sama sekali tidak ada jalan untuk menjadi pajung, sebab sama sekali tidak mempunyai darah kebangsawanan.

Bagi kaunang (ata) dan kaunang tai manu adalah posisi yang paling bawah dalam stratifikasi sosial di Luwu. Pada masa dahulu orang tersebut sama sekali tidak punya tempat dalam sistem kekerabatan para keturunan bangsawan. Selain itu mereka sama sekali tidak punya akses untuk menjadi pajung, maupun menikah dengan keturunan pajung. Secara tradisional orang Rongkong masuk dalam strata kaunang dan maradeka. Sehingga orang Rongkong tidak dapat menjadi datu atau raja, namun hanya sebagai prajurit perang Kedatuan Luwu pada masa lampau.

Menurut Chabot (1984:196), bagi kelas sosial yang tinggi selalu berusaha untuk mempertahankan batas-batas yang keras antara kelas sosial yang lain secara ketat. Walaupun demikian martabat orang rendahan dapat menjadi tinggi martabatnya, bila dia dapat menunjukkan hubungan kekerabatan, meskipun sangat jauh dari golongan yang bermartabat tinggi, sehingga dengan demikian, maka dari sudut rakyat biasa, tingkat-tingkat sosial tidak mutlak tertutup rapat.

Dapat juga, kesempatan ekonomi yang dimiliki memungkinkan seorang untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, baik secara interaksional, maupun secara intergenerasional yang dialami oleh anaknya. Dalam hubungan secara interaksional, secara subyektif orang yang bersangkutan tetap tahu diri.

Jurnal selengkapnya bisa didownload dengan klik di link ini.

Masyarakat Adat Rongkong Hindari Bahas Stratifikasi Sosial

Terkait stratifikasi sosial yang dipersoalkan, masyarakat adat Rongkong memilih tidak membahas subetnis Rongkong masuk dalam stratifikasi sosial dimana.

Seperti yang dibahas dalam jurnal itu, dalam budaya Luwu, dikenal stratifikasi sosial, yakni opu (lapisan atas), daeng (lapisan menengah), to maradeka dan kaunang (ata) yang masuk dalam lapisan bawah.

Pemangku Adat, Tomakaka Rongkong, Bata Manurun, yang dikonfirmasi Tekape.co, enggan membahas apakah Rongkong masuk dalam stratifikasi sosial mana. Alasannya, untuk menghindari polemik baru.

Sementara itu, Kedatuan Luwu juga telah mengeluarkan surat terkait isi dari jurnal yang ditulis Iriani.

Surat perihal penyampaian ke Pemangku dan masyarakat adat Rongkong itu ditanda tangani langsung Datu Luwu XL, Andi Maradang Mackulau Opu To Bau SH, tertanggal 16 Januari 2022.

Dalam surat itu, Kedatuan Luwu menyampaikan dua poin, yakni (1) Kedatuan Luwu menghormati eksistensi To Rongkong sebagai salah satu suku/wilayah (palili) yang berada di bawah Kedatuan Luwu, (2) Opu To Papoatae Datu Luwu XL dan Kedatuan Luwu menyampaikan kepada semua pihak bahwa To Rongkong bukanlah kaum rendah (kaunan).

Namun, dalam surat itu, Kedatuan Luwu juga menghindari pembahasan to Rongkong masuk dalam stratifikasi sosial apa, dalam budaya Luwu.

Seperti diketahui, Bata Manurun, yang juga Pengurus Aliansi Keluarga Rongkong (AKAR) Bersatu, dan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, telah melaporkan Iriani ke Polres Palopo, Senin 7 Februari 2022, malam.

Bata Manurun mempersoalkan kalimat ‘kaunan‘ yang ditujukan ke suku Rongkong, dalam jurnal itu.

Bata Manurun menjelaskan, ‘Kaunang’ artinya pembantu atau pesuruh. (rindu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini