OPINI: Seko dan Sekelumit Persoalan
Oleh : Rais Laode Sabania
* Staff Wallacea Palopo
“Elo’ Pinanahanta Ni Padolung Ti Massilahai Angkanna Nikaonei Mangngala Katunna”. (Keinginan hati masyarakat banyak dibicarakan secara bersama untuk mengambil keputusan).
Bagi masyarakat adat Seko, Tanah adalah ibu (ina ;bahasa lokal Seko), tempat menyusu (menente). Tanah mesti Nimamo da (di sayang), Tampo kaoneang sumusu” artinya, Tanah adalah tempat menyusu, tidak boleh di perlakukan secara semena-mena. Tanah merupakan sumber penghidupan dan kemakmuran masyarakat adat Seko.
Berpijak pada hal tersebut diatas maka, jaminan tenurial security atau perlindungan atas kepastian dan keberlangsungan penguasaan Masyarakat Adat Seko atas tanah dan keayaan alam yang terkandung didalamnya menjadi keharusan. Bagi wilayah adat seperti Seko, Kepastian penguasaan masyarakat atas tanah sangatlah penting, karena hubungan antara masyarakat dengan tanah sangatlah erat, mayoritas penduduknya adalah petani.
Akan tetapi apa yang terjadi di Seko saat ini, sangat kontras dengan harapan-harapan tersebut diatas. Seko yang terdiri dari tiga wilayah besar, yakni Seko Padang, Seko Tengah, dan Seko Lemo, kini berada dalam kepungan investasi (ekspansi kapitalisme).
Seko padang yang terdiri dari 6 desa sejak tahun 1996 telah dikuasai secara administrative oleh PT. Seko Fajar, yang HGnya baru akan berakhir pada tahun 2020 mendatang. Sementara Seko Tengah dan Seko Lemo, saat ini sebagian besar wilayahnya telah dialokasikan untuk peruntukan rencana pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima (Seko I untuk Seko Tengah) dan PT. Seko Power Prada (Seko II untuk Seko Lemo).
Tidak hanya itu, saat ini juga ada beberapa perusahaan Tambang emas dan biji besi yang telah mengantongi Izin untuk masuk ke wilayah Seko, yang titik pusatnya tersebar ditiga wilayah besar Seko, yakni; Seko Padang, Seko Tengah, dan Seko Lemo.
Kasus pencaplokan wilayah adat Seko untuk dijadikan areal perkebunan teh oleh PT. Seko Fajar, areal pertambangan emas dan biji besi, serta areal pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada tidak hanya mengangkangi kedaulatan masyarakat adat Seko sebagai pemangku hak, tetapi juga mengangkangi konstitusi.
Pertama; Amanat konstitusi kita secara tegas menyatakan keharusan menjadikan tanah dan kekayaan alam yang dikandungnya sebagai sumber bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (pasal 33 UUD 1945). Seko seharusnya dijadikan salah satu wilayah lumbung pangan. Seko selama ini telah dikenal sebagai penghasil beras (tarone), salah satu parietas padi lokal yang unggul, yang hanya bisa tumbuh dan berkembang di Seko. Selain itu Seko juga dikenal sebagai penghasil kakao dan kopi (arabika dan robusta).
Dari segi kuantitas, kendatipun secara umum Seko boleh dikata sebagai penghasil beras, kakao, dan kopi, namun secara spesifik keunggulan komoditi tersebut dapat dilihat dimasing-masing wilayah. Seko Padang sebagai penghasil beras. Selaku Ibu Kota Kecamatan, Seko Padang memiliki areal persawahan yang lebih luas ketimbang dua wilayah lainnya. Seko Tengah, yang wilayahnya berbukit-bukit lebih dikenal sebagai penghasil Kakao, sementara Seko Lemo adalah penghasil kopi (arabika).
Kedua; Pada tingkat daerah, Sk Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 yang berisi tentang pengakuan keberadaan masyarakat adat Seko, juga memuat tentang konsep perlindungan yang mengedapankan peran masyarakat adat Seko dalam menenetukan pembangunan wilayahnya.
Hal itu bisa kita lihat pada Pasal 9, dimana Pemerintah Daerah wajib melindungi Masyarakat Adat Seko sebagai komunitas Masyarakat Adat yang memiliki Tata Nilai, Sistem Hukum Adat dan Kelembagaan Adat. Pada pasal 10, Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 (sembilan) diatas diwujudkan dengan cara:
1. Setiap pemberian izin-izin pemenfaatan sumber daya alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus atas persetujuan Masyarakat Adat Seko;
2. Pemerintah wajib memberdayakan, melestarikan, melindungi dan menghormati Lembaga Adat Seko.
Dengan melihat isi dari SK 300 tersebut, maka izin perusahaan apapun yang keluar, yang diperuntukkan untuk wilayah adat Seko, harus mendapat persetujuan dari masyarakat terlebih dahulu.
Ketiga, Pembangunan PLTA, Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Utara Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Luwu Utara, jelas rencana pembangunan PLTA Seko tidak termuat didalamnya. Hal itu bisa kita lihat pada paragraf 1 sistem jaringan energy, pasal 13, dimana “Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) hanya diperuntukkan di kecamatan Rongkong, Kecamatan Sabbang, PLTA Baliase, PLTA Patikala di Kecamatan Masamba dan PLTA Kanjiro di Kecamatan Sukamaju”.
Dengan demikian, memaksakan pembangunan PLTA Seko adalah merupakan tindak pidana bidang penataan ruang. Oleh Undang-undang dinyatakan terlarang, karenanya dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunya.
Lebih lanjut, jika kita menariknya lebih dalam dan ingin melihat akar persoalannya, maka kita akan menemukan bahwa sesungguhnya, dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan alat produksi semacam ini terjadi, terutama karena aturan-aturan hukum yang dikeluarkan negara dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumberdaya alam yang ada, seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan kearifan lokal yang secara turun temurun telah berlaku dalam masyarakat.
Pada konteks seperti itu, persoalan legitimasi penguasaan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan, antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Legitimasi secara de jureberdasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi secara de facto mengacu pada cara-cara penguasaan, kepemilikan, atau pemanfaatan yang dikenal, dipercayai, diyakini, digunakan, dan berlaku berdasarkan hukum atau aturan yang selama ini dipraktikkan oleh masyarakat dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayahnya.
Ketimpangan ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi, konflik tenurial yang bersumber dari adanya dominasi suatu system penguasaan yang datang atau berasal dari hukum negara, yang secara sepihak memberikan layanan begitu besar pada pemilik-pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam mengelola tanah dan sumberdaya alam harus segera diputus.
Pemerintah harus berani melakukan peninjauan ulang atas izin-izin yang telah dikeluarkan, pemerintah harus melakukan moratorium perizinan. Hak-hak masyarakat setempat yang telah hidup dan mengembangkan suatu system tersendiri untuk mengelola tanah dan sumberdaya alam tidak boleh diabaikan dan dilanggar begitu saja.
Jika semua itu tidak dilakukan, maka kita akan menyaksikan bagaimana upaya pembentukan kemiskinan pada masyarakat terus terjadi didepan mata, yang dimulai dari konflik tenurial. Dominasi negara dalam relasi-relasi agraria akan menyebabkan tercerabutnya hak-hak masyarakat atas tanah dan sumberdaya alam lainnya disatu sisi, dan disisi lain terakumulasinya penguasaan sumber-sumber agraria itu pada badan-badan usaha atau perorangan yang memiliki kekuatan modal besar, dan semata-mata memikirkan keuntungan belaka.
Seturut dengan hal tersebut, proses ini merupakan contoh kongkrit dari apa yang pernah Marx sebut sebagai proses “enclousure”, yaitu sejarah pemisahan produser dari alat produksinya; ketika sejumlah besar masyarakat tiba-tiba (terancam) dicerabut secara paksa dari caranya menjalankan hidup, dan nantinya akan terlempar menjadi proletariat bebas, yang melulu bergantung pada pasar tenaga kerja. (*)
Tinggalkan Balasan