Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Penasaran Dengan Gunung Kawi yang ‘Berlabel’ Pesugihan

Gapura kedua sebelum memasuki pesarean Eyang Joego dan Eyang Sujo di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

Di perjalanan, saya sempat bertanya ke Mas Pri, soal pesugihan di Gunung Kawi. Ia mengaku juga heran dengan stigma pesugihan di Gunung Kawi.

“Saya sejak kecil di sini (Gunung Kawi, red), tapi tidak ada saya tau tempat pesugihan. Di sini hanya ziarah ke makam, lalu berdoa. Itu saja,” tandasnya.

Mas Pri mengatakan, yang datang ziarah ke makam Kanjeng Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego itu, bukan hanya umat Islam, semua agama ada.

“Pemeluk agama di luar Islam banyak datang. Mereka berdoa, minta barokah dari Eyang, sesuai keyakinan masing-masing. Mereka berdoa dengan hajat masing-masing,” katanya.

Mas Pri juga mengatakan, Pendiri Salim Group, grup BCA, Liem Soe Liong pernah datang ke Gunung Kawi. Bahkan menurutnya, gapura di sana dibangun oleh pemilik Bank BCA itu. Begitu juga konglomerat pemilik rokok Bentol, Ong Hok Liong pernah datang ke petilasan Eyang Djoego.

Sebelum sampai ke gapura kedua, terdapat juga tempat pesanggrahan Eyang Djoego. Kemudian terdapat padepokan Eyang Djoego dan Eyang Sujo. Namun padepokan itu ditutup sementara, karena pandemi covid-19.

Padepokan atau rumah tinggal Eyang Joego dan Eyang Sujo di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

Di sepanjang jalan, banyak rumah-rumah warga. Memasuki gapura kedua, sudah mulai banyak penginapan. Namun tampak sunyi.

“Kalau mau lihat ramai, datang nanti hari Kamis. Akan banyak peziarah datang,” kata Mas Pri. Kebetulan kami datang di hari Selasa.

Menurut Mas Pri, selama pandemi ini, Gunung Kawi memang cenderung sunyi dari peziarah. Hal itu juga tampak dari gerobak-gerobak PKL yang terlihat sudah lama tidak digunakan.

Setelah gapura kedua, tampak ornamen Tionghoa mendominasi. Mulai dari lukisan hingga pernak pernik bagunan penginapan hingga warung-warung.

Di sana juga terdapat Klenteng dan Masjid. Di depan Klenteng, berjejer penjual bunga dan kemenyan. Juga beberapa pengemis duduk di pinggir jalan, berharap sedekah dari peziarah.

Sementara di halaman Klenteng, ada Djiam Si (dibaca ciam si). Sebuah tempat ramalan yang digunakan dalam tradisi kuno etnis Tionghoa. Bagi peziarah yang ingin mencoba ramalan, hanya diminta sedekah seikhlasnya.

Sebelum berziarah, ada baiknya siapkan uang pecahan Rp5.000 atau Rp1.000. Untuk membeli bunga, mencoba ciam si, sedekah, dan untuk diselipkan dalam bunga saat ziarah ke makam Eyang Joego.

Ornamen etnis Tionghoa yang mendominasi sebelum masuk di kawasan pesarean Eyang Joego dan Eyang Sujo di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

Memasuki gapuran ketiga, kawasan makam Eyang Djoego, kita dilarang untuk memotret atau mengambil gambar. Kami langsung diarahkan ke dalam pesarean.

Di depan makam, terdapat penjaga untuk mengambil bunga, lalu ditukar dengan kemenyan dan dua bungkus bunga, yang dibungkus kecil dengan kertas.

Lalu orang-orang mengirimkan doa, sesuai keyakinan masing-masing. Di sudut lain bangunan itu, terdapat mbah yang melantunkan shakawat dan memanjatkan doa, di hadapan beberapa orang yang membawa nasi tumpeng.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini