Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Penasaran Dengan Gunung Kawi yang ‘Berlabel’ Pesugihan

Gapura kedua sebelum memasuki pesarean Eyang Joego dan Eyang Sujo di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

MENDENGAR nama Gunung Kawi, maka kata pertama yang diingat adalah pesugihan.

Mumpung lagi di Malang, kami menyempatkan diri berkunjung langsung ke lokasi yang sering dikunjungi para peziarah, dengan hajatan tertentu itu.

Laporan: Abd Rauf
*Dari Gunung Kawi, Kabupaten Malang, Jawa Timur

Didorong rasa penasaran, kami berangkat dari Kota Malang menuju Gunung Kawi, Kabupaten Malang.

Berbekal google maps, kami melancong ke Gunung Kawi. Namun sebelumnya, kami singgah di Masjid Tiban, untuk melengkapi wisata religi kami, di akhir tahun 2021, lalu.

Masjid itu mirip kastil, dengan kubah perpaduan warna biru dan putih yang mencolok, menara, plus jalan berpilar.

Beredar cerita jika masjid dengan 10 lantai itu, konon katanya, dibangun sehari semalam dengan bantuan makhluk sakti.

Namun, pengelola menampik cerita itu. Masjid megah itu mulai dibangun sejak tahun 1968, dan baru diresmikan tahun 1978 silam.

Masjid Tiban itu berada di dalam Ponpes Salafiyah Bihaaru Bahri’ Asali Fadlaailir Rahman.

Lokasi tepatnya, di Jalan KH Wahid Hasyim, Gang Anggur, Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.

Ditempuh kurang dari 1 jam dari Kota Malang, dengan menggunakan mobil.

Pemandangan di lantai 9 Masjid Tiban, Malang. (hamdan/tekape.co)

Usai makan siang dan salat zuhur di masjid Tiban, kami melanjutkan perjalanan ke Gunung Kawi.

Kami ditemani tuan rumah, sahabat di Malang, yang pernah tugas di Palopo, Sulsel, sebagai Spv PT Bintang Toedjoe area Luwu Raya dan Toraja, Mas Fauzi. Ia juga belum pernah ke sana.

Saat singgah di SPBU untuk mengisi BBM, saya sempat bertanya soal Gunung Kawi, petugas SPBU itu langsung menjawab tempat pesugihan.

Sekira 1 jam kami tiba di objek wisata religi Gunung Kawi. Di pinggir jalan, tepat samping gapura/gerbang masuk pesarean, terdapat papan nama bertuliskan ‘Selamat Datang, Pintu Masuk Pesarean G Kawi.’

Di Pasarean itu, terdapat makam Kanjeng Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego (wafat 22 Januari 1871) dan Raden Mas Iman Soedjono atau Eyang Sujo (wafat 8 Februari 1876).

Mobil kami diarahkan parkir. Kami ditanya, apa ada hajatan khusus. Kalau ada hajat khusus, disarankan untuk langsung ke keraton, sekitar setengah jam dari makam atau pesarean Eyang Sujo dan Eyang Djoego.

Di sana, terdapat sebuah keraton yang pernah menjadi pertapaan milik Prabu Kameswara.

Di parkiran mobil, kami bertemu Mas Pri. Ia menawarkan jasa pendamping peziarah. Dibayar seikhlasnya. Juga tak ada karcis masuk. Hanya bayar parkir mobil Rp10.000.

Dari gapura pertama, hingga gapura ketiga, yang terdapat makam atau pesarean, kita harus berjalan kaki sekira lebih dari 1 km, dengan kondisi jalan menanjak.

“Sebenarnya bisa parkir tak jauh dari makam, namun kalau mau lihat langsung napak tilasnya, harus jalan kaki,” ujar Mas Pri.

Di perjalanan, saya sempat bertanya ke Mas Pri, soal pesugihan di Gunung Kawi. Ia mengaku juga heran dengan stigma pesugihan di Gunung Kawi.

“Saya sejak kecil di sini (Gunung Kawi, red), tapi tidak ada saya tau tempat pesugihan. Di sini hanya ziarah ke makam, lalu berdoa. Itu saja,” tandasnya.

Mas Pri mengatakan, yang datang ziarah ke makam Kanjeng Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego itu, bukan hanya umat Islam, semua agama ada.

“Pemeluk agama di luar Islam banyak datang. Mereka berdoa, minta barokah dari Eyang, sesuai keyakinan masing-masing. Mereka berdoa dengan hajat masing-masing,” katanya.

Mas Pri juga mengatakan, Pendiri Salim Group, grup BCA, Liem Soe Liong pernah datang ke Gunung Kawi. Bahkan menurutnya, gapura di sana dibangun oleh pemilik Bank BCA itu. Begitu juga konglomerat pemilik rokok Bentol, Ong Hok Liong pernah datang ke petilasan Eyang Djoego.

Sebelum sampai ke gapura kedua, terdapat juga tempat pesanggrahan Eyang Djoego. Kemudian terdapat padepokan Eyang Djoego dan Eyang Sujo. Namun padepokan itu ditutup sementara, karena pandemi covid-19.

Padepokan atau rumah tinggal Eyang Joego dan Eyang Sujo di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

Di sepanjang jalan, banyak rumah-rumah warga. Memasuki gapura kedua, sudah mulai banyak penginapan. Namun tampak sunyi.

“Kalau mau lihat ramai, datang nanti hari Kamis. Akan banyak peziarah datang,” kata Mas Pri. Kebetulan kami datang di hari Selasa.

Menurut Mas Pri, selama pandemi ini, Gunung Kawi memang cenderung sunyi dari peziarah. Hal itu juga tampak dari gerobak-gerobak PKL yang terlihat sudah lama tidak digunakan.

Setelah gapura kedua, tampak ornamen Tionghoa mendominasi. Mulai dari lukisan hingga pernak pernik bagunan penginapan hingga warung-warung.

Di sana juga terdapat Klenteng dan Masjid. Di depan Klenteng, berjejer penjual bunga dan kemenyan. Juga beberapa pengemis duduk di pinggir jalan, berharap sedekah dari peziarah.

Sementara di halaman Klenteng, ada Djiam Si (dibaca ciam si). Sebuah tempat ramalan yang digunakan dalam tradisi kuno etnis Tionghoa. Bagi peziarah yang ingin mencoba ramalan, hanya diminta sedekah seikhlasnya.

Sebelum berziarah, ada baiknya siapkan uang pecahan Rp5.000 atau Rp1.000. Untuk membeli bunga, mencoba ciam si, sedekah, dan untuk diselipkan dalam bunga saat ziarah ke makam Eyang Joego.

Ornamen etnis Tionghoa yang mendominasi sebelum masuk di kawasan pesarean Eyang Joego dan Eyang Sujo di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

Memasuki gapuran ketiga, kawasan makam Eyang Djoego, kita dilarang untuk memotret atau mengambil gambar. Kami langsung diarahkan ke dalam pesarean.

Di depan makam, terdapat penjaga untuk mengambil bunga, lalu ditukar dengan kemenyan dan dua bungkus bunga, yang dibungkus kecil dengan kertas.

Lalu orang-orang mengirimkan doa, sesuai keyakinan masing-masing. Di sudut lain bangunan itu, terdapat mbah yang melantunkan shakawat dan memanjatkan doa, di hadapan beberapa orang yang membawa nasi tumpeng.

Setelah keluar dari bangunan yang di dalamnya ada makam itu, ada orang yang mengarahkan untuk memanjatkan doa di depan pintu.

Kemudia ke samping kiri bangunan, ke belakang, ke samping kanan, lalu terakhir bedoa di bawah pohon dewandaru, yang dipercaya sebagai pohon keberuntungan.

Konon, pohon ini adalah tongkat Eyang Djoego yang ditancapkan, dan telah berusia ratusan tahun. Uniknya, pohon tersebut masih kecil, dengan beberapa cabang batang.

Konon, jika saat berdoa di bawah pohon keberuntungan itu, adan ada bagian pohon itu jatuh, maka orang tersebut diyakini mendapat berkah dari Eyang.

“Malam Jumat nanti, di sekitar pohon ini akan sesak, dipenuhi peziarah menunggu daun atau ranting jatuh,” ujar Mas Pri.

Saat di bawah pohon itulah, orang yang mengarahkan untuk berdoa tadi, mengaku melihat bagian pohon jatuh. Lalu memberikan ke salah satu dari kami. Katanya, ini keberuntungan.

Namun katanya, untuk melengkapi ritual itu, maka harus membeli tumpeng, seharga Rp500 ribu untuk didoakan.

Gerbang keraton, tempat pertapaan milik Prabu Kameswara, di Gunung Kawi, Malang. (hamdan/tekape.co)

Usai ziarah di pesarean, kami kemudian menuju Keraton. Jarak tempuh sekira setengah jam dari makam atau pesarean Eyang Sujo dan Eyang Djoego.

Di sana, terdapat sebuah keraton, yang pernah menjadi pertapaan milik Prabu Kameswara. Sesampai di sana, yang diantar oleh Mas Pri, langsung dijamu juru kunci keraton. Bayar karcis, lalu masuk ke keraton.

Terdapat gerbang keraton. Kemudian di sampinginya, ada rumah ibadah vihara. Ornamennya khas Tionghoa.

Sesampai di dalam keraton, juru kunci berupaya menerawan salah satu dari kami. Lalu menanyakan maksud dan tujuannya. “Ini ilmu kejawen, sejak masuk gerbang, kami sudah tau siapa yang datang,” katanya.

Lalu diarahkan masuk lebih dalam. Di sana terdapat lilin dan kemenyan. Dicatat nama, dan diarahkan masuk ke dalam ruangan, yang ditutup kain. Hanya disinari cahaya lilin, dengan lebar ruangan sekitar 1 meter.

Juru kunci tadi kemudian menyampaikan, sebagai bentuk permohonan izin, maka peziarah diminta dengan ikhlas memberikan sedekah. Disampaikan dengan bahasa yang lembuh dan halus.

Mulai dari tumpengan Rp2,5 juta untuk tiga orang, katanya untuk dibagikan ke fakir miskin. Kemudian Rp100 ribu kali tujuh, dan terakhir sedekah sesuai kemampuan. Anda pasti sudah tebak, apa yang kami pilih.

Keluar dari ruang tertutup kain itu, kemudian didoakan. Lalu diarahkan untuk sedekah lagi.

Setelah itu, foto-foto. Bincang-bincang lepas. Hampir azan magrib kami tinggalkan Gunung Kawi, menuju Kota Malang.

Eyang Djoego, Penentang Penjajah Belanda Bersama Pangeran Diponegoro

Kawasan petilasan, sekaligus makam Eyang Djoego yang terletak di lereng Gunung Kawi, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, diyakini dapat memberi tuah dan bisa mengentaskan pengunjungnya dari jerat kemiskinan.

Menurut Wikipedia, Gunung Kawi adalah gunung berapi yang sudah lama tidak aktif, berada sebelah barat daya di Kabupaten Malang, berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar Jawa Timur, Indonesia.

Tidak ada catatan sejarah mengenai letusan gunung berapi ini. Gunung ini cukup dikenal karena adanya tempat ziarah Pesarean Gunung Kawi.

Di balik itu, Gunung Kawi yang terkenal dengan pesarean atau pemakaman yang dikeramatkan itu, ternyata punya sejarah panjang.

Kanjeng Kyai Zakaria II atau Eyang Djoego dan Raden Mas Imam Soedjono merupakan tokoh bangsawan yang ikut menentang penjajah, di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro.

Mereka lari ke daerah Jawa bagian timur setelah kalah Perang Jawa.

Dari berbagai literatur yang ada, disebutkan bahwa Eyang Djoego dulunya adalah seorang veteran atau pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada masa Agresi Militer Belanda I, ia melarikan diri ke Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.

Konon, sebelum masa kedatangan Eyang Djoego, masyarakat Kesamben banyak yang menderita kolera. Hewan ternak mereka juga tak luput dari serangan penyakit itu.

Uniknya, semenjak Eyang Djoego singgah di Kesamben, warga yang menderita kolera tiba-tiba sembuh. Ternak mereka kembali sehat.

Sejak itulah, sosok Eyang Djogo dianggap bisa mendatangkan tuah atau keberuntungan bagi orang lain. Ia sangat dihormati masyarakat setempat.

Kabar mengenai Eyang Djoego lekas menyebar ke daerah-daerah lain. Padepokan yang didirikan Eyang Djogo di Kesamben sampai tidak memungkinkan lagi menampung murid yang ingin belajar padanya.

Akhirnya, ia memerintahkan seorang muridnya yang bernama RM Iman Soedjono untuk membuka lahan baru di lereng Gunung Kawi.

Sejak pembukaan lahan baru yang difungsikan sebagai padepokan itu, kawasan Gunung Kawi tidak pernah sepi.

Setiap hari, selalu ada orang yang hilir-mudik di sana. Mitos pesugihan Gunung Kawi bermula dari situ.

Selama hidup, kedua tokoh ini banyak membantu menyebarkan Islam, hingga sampai kematiannya, kharismanya tidak pudar.

Terbukti dengan banyaknya peziarah yang datang ke pesarean. Terutama, 1 Muharram atau 1 Suro, banyak peziarah yang datang ke pesarean ini.

Banyak sekali aktifitas ritual dilakukan saat Jumat Legi, karena hari itu dikenal sebagai hari pemakaman Eyang Djoego (Kyai Zakaria II).

Sedangkan tanggal 12 bulan Suro adalah hari diperingati wafatnya Eyang Sujo (Raden Mas Iman Sudjono).

Kyai Zakaria yang dikenal dengan sebutan Eyang Djoego, merupakan kerabat dari Keraton Kertosuro yang menjadi pengawal perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda, antara tahun 1825-1830.

Disebutkan, Eyang Djoego ini merupakan buyut dari Susuhanan Pakubuwono I (yang memerintah Keraton Kertosuro 1705-1717).

Sementara, RM Imam Soedjono, merupakan buyut dari Sultan Hamengku Buwono I (memerintah Keraton Yogyakarta pada 1755-1892). (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini