OPINI: Standar Kemiskinan Ala Kapitalis, Menutup Fakta Demi Citra
Oleh : Nurindasari S.T.
Pada Minggu 27 Juli 2025 Presiden RI Prabowo Subianto memamerkan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Hal ini didukung dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia turun menjadi 23,85 juta orang yang setara dengan 8,47 persen dari total populasi per Maret 2025. Data ini mengalami penurunan 0,2 juta orang dibandingkan September 2024. (cnnindonesia.com, 26/7/2025)
Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS adalah RP609.160 per kapita per bulan, atau Rp20.305 per hari. Pihak BPS mengungkapkan siapapun yang mempunyai pengeluaran di atas Rp 20 ribu per hari tidak masuk kategori miskin. Hal ini mengacu pada standar nasional berdasarkan pengeluaran atau konsumsi makanan dan non makanan, bukan penghasilan. (cbcindonesia.com, 25/7/2025)
Menutup Fakta Demi Citra
BPS dianggap sebagai lembaga yang kredibel dalam menyediakan data statistik di Indonesia. BPS telah menyatakan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dibandingkan tahun lalu. Namun, di balik narasi yang terdengar manis ini, ada fakta pahit yang jarang dibicarakan: standar kemiskinan yang digunakan sering kali jauh dari kenyataan hidup rakyat. Alih-alih menjadi cermin kondisi sesungguhnya, standar ini justru dipakai sebagai alat pencitraan untuk menampilkan wajah seolah-olah kesejahteraan telah tercapai.
Secara umum, standar kemiskinan dihitung berdasarkan batas pendapatan per orang per hari. Namun, dalam praktik kapitalisme, batas ini kerap dipatok begitu rendah, bahkan di bawah kebutuhan hidup layak. Walhasil jutaan orang yang jelas-jelas kesulitan memenuhi kebutuhan dasar tidak masuk kategori miskin. Angka kemiskinan pun terlihat menurun di laporan, padahal rakyat tetap hidup di ujung tanduk.
Manipulasi standar kemiskinan dan pengangguran menciptakan ilusi statistik yang menipu. Ketika pemerintah mengklaim kemiskinan menurun, banyak yang menyangka taraf hidup rakyat membaik. Padahal, kenyataannya, biaya hidup terus naik, gaji tidak sebanding, dan akses terhadap kebutuhan pokok seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan tetap sulit dijangkau, apalagi janji jutaan lapangan hanya sekedar ilusi untuk rakyat. Walhasil pelamar pekerjaan membludak untuk kuota yang sedikit. Angka yang terlihat indah ini hanya menyembunyikan penderitaan yang nyata.
Mengapa standar kemiskinan dipertahankan begitu rendah? Jawabannya sering kali berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Angka kemiskinan yang tampak membaik menjadi amunisi politik untuk meraih dukungan publik dan mengundang simpati investor asing. Laporan positif juga membantu menjaga peringkat ekonomi negara di mata lembaga keuangan internasional—meski rakyatnya sendiri masih bergulat dalam kesulitan.
Standar Kemiskinan ala Kapitalis
Kapitalisme melihat kemiskinan bukan sebagai masalah yang harus dihapus, melainkan sebagai bagian “alami” dari mekanisme pasar. Keberadaan kaum miskin menciptakan tenaga kerja murah dan memastikan keberlangsungan industri dengan biaya produksi rendah. Sistem ini justru memerlukan kesenjangan agar roda keuntungan terus berputar, sehingga upaya penghapusan kemiskinan sejati bertentangan dengan logika dasarnya.
Pendekatan kapitalis hanya berfokus pada perbaikan citra, bukan perubahan struktur. Berbagai Bantuan Sosial (Bansos) berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), paket sembako, atau program pelatihan singkat sering kali hanya menenangkan sesaat, tanpa memberi jalan keluar permanen. Bahkan, bantuan ini bisa membuat rakyat bergantung pada belas kasihan, bukan pada kemandirian yang tidak dapat menggambarkan peningkatan kesejahteraan.
Sistem Islam Menjamin Kesejahteraan
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang kemiskinan sebagai masalah yang harus dihapus tuntas, bukan sekadar dikelola. Standar sejahtera dalam Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu, pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan melalui mekanisme distribusi yang adil, zakat yang tepat sasaran, dan pengelolaan sumber daya alam untuk kemaslahatan umum. Islam tidak mengukur kesejahteraan dari angka statistik semata, tetapi dari realitas hidup setiap warga.
Khalifah sebagai pemimpin bertanggung jawab penuh menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pengelolaan harta milik umum hutan, tambang, laut, dan sumber daya alam lainnya dilakukan negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk swasta atau asing. Hasilnya dialokasikan untuk layanan publik murah bahkan gratis, sehingga rakyat tidak terbebani biaya besar. Data kemiskinan diperoleh secara akurat dari tingkat pusat hingga desa, sehingga kebijakan pengentasan kemiskinan tepat sasaran dan bukan sekadar pencitraan.
Negara akan memastikan seluruh rakyat dapat memenuhi kewajibannya menafkahi keluarga. membuka lapangan kerja luas, mendorong setiap laki-laki dewasa sehat untuk bekerja melalui industrialisasi, pemberian modal, keterampilan, lahan, dan subsidi pertanian. Fakir dan miskin diurus hingga terbebas dari kemiskinan, bukan diukur dengan standar buatan lembaga internasional, melainkan dari terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu.
Khalifah dan aparatnya aktif mengawasi keberadaan fakir miskin untuk segera diatasi. Mekanisme ini terus berjalan hingga seluruh rakyat terpenuhi kebutuhannya, sebagaimana pada masa Khalifah Umar bin Abdulaziz di mana tidak ada lagi penerima zakat. Sejarah ini membuktikan bahwa Khilafah mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki.
Sudah saatnya kita menghentikan praktik menutup fakta demi citra. Standar kemiskinan yang menipu hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat dan melanggengkan sistem yang menindas. Saatnya melakukan perubahan mendasar menuju sistem yang menjamin kesejahteraan nyata, di mana setiap orang memiliki akses penuh terhadap kebutuhan hidupnya. Islam menjamin kesejahteraan seluruh manusia secara hakiki bukan sekadar di atas kertas.
Tinggalkan Balasan