Tekape.co

Jendela Informasi Kita

OPINI: Mentalitas Tribalisme Dalam Tubuh Organisasi Daerah Sulawesi Selatan

Muh Ivan Cahyadi

Oleh: Muh Ivan Cahyadi

Apa yang muncul dalam benak kita ketika pertama kali mendengar Istilah Tribalisme? Pastinya setiap orang akan berpandangan bahwa Tribalisme merupakan pandangan bagi Individu dalam mengidentifikasi diri mereka secara eksklusif terhadap suatu kelompok yang memiliki suatu kesamaan baik dalam hal kesamaan antara Suku, Etnis, daerah atau kelompok tertentu.

Dalam konteks sosial dan politik, Tribalisme mengarah kepada sikap loyalitas yang kuat terhadap kelompok atau suku tertentu. Tribalisme merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan dari sejarah evolusi Umat Manusia.

Sebelum mengenal adanya suatu bangsa atau Negara Modern seperti saat ini, mula-mula manusia hidup secara berkelompok yang dibentuk atas dasar adanya kesamaan antara keyakinan, identitas, nilai hidup, bahasa dan sebagainya, mereka hidup bersama dan membentuk suatu kesatuan masyarakat kecil yang saat ini kita kenal sebagai Suku.

Untuk mempertahankan kesatuan sosialnya dari segala ancaman, dulunya antara suku dengan suku lainnya saling mengobarkan api permusuhan yang berujung pada perang antara suku.

Apabila kita mengingat mata pelajaran Sejarah Indonesia pada saat menduduki bangku sekolah kita sering diajarkan bahwa sejak Bangsa Austronesia dan Bangsa Melanesia yang notabene merupakan nenek moyang bangsa Indonesia melakukan migrasi dan membentuk kelompok-kelompok kecil seperti suku dan beberapa ratus tahun kemudian mulai berkembang menjadi kerajaan-kerajaan besar hingga sampai saat ini berkembang menjadi negara modern.

Sekalipun mengalami perubahan sosial, politik dan pemerintahan, nampaknya ada satu hal yang masih diwariskan nenek moyang kita sampai saat ini yaitu mentalitas tribalisme sekalipun saat ini mengalami perluasan makna. Misalnya mentalitas Tribalisme ini dapat dilihat dari sikap para suporter bola yang sering memicu kerusuhan, Fanatisme terhadap agama, partai politik, hingga fanatisme terhadap suatu kelompok tertentu termasuk dalam hal ini fanatisme dalam tubuh kader-kader organisasi daerah.

Adapun cara untuk mengidentifikasi suatu organisasi daerah memilki mentalitas tribalisme adalah dengan menyebarkan ketakutan dengan narasi “Us Vs Them” kita melawan mereka.

Landasan dari mentalitas Tribalisme sendiri dapat dilihat ketika suatu kelompok memiliki kecenderungan untuk melawan, memusuhi atau membenci kelompok lain. Lantas bagaimana ketika mentalitas Tribalisme ini berkembang dalam tubuh organisasi daerah yang notabene kader-kadernya kebanyakan berstatus sebagai mahasiswa?. Lalu apakah mentalitas Tribalisme ini memiliki sisi positif dan negatif?.

Menurut Amy Chua dalam bukunya yang berjudul “Political Tribes” bahwa Tribalisme merupakan Insting dasar manusia karena adanya “Sanse of Belonging” yaitu perasaan seseorang yang memiliki rasa keterikatan dengan organisasi atau kelompok atas dasar persamaan suku, agama, etnis, budaya atau kelompok tertentu.

Perasaan tersebut yang menyebabkan orang menjadi fanatic. Menurut Penulis, Mentalitas Tribalisme itu bagaikan sebuah Pisau. Apabila Pisau ini anda berikan kepada seorang koki tentunya dia akan menggunakannya sebagai alat untuk memasak makanan yang Lezat. Namun apabila pisau ini anda berikan kepada seorang begal maka dia akan menggunakan pisau tersebut untuk mengancam dan menyebarkan ketakutan.

Maksudnya adalah mentalitas ini memilki sisi positif dan negatif. Adapun sisi positif dari mentalitas ini terutama apabila diterapkan dalam Tubuh atau ideologi Organisasi daerah adalah dapat membentuk ikatan emosional bagi individu untuk mengembangkan dirinya.

Seorang Psikolog Guy Winch menulis tentang aspek positif dari tribalisme dalam artikel Psychology Today. Bahwa yang terbaik dari mentalitas tribalisme adalah seseorang akan merasakan rasa memiliki dalam kelompok secara mendalam karena merasa dirinya dipahami, dihargai dan dibina sehingga dapat memberikan rasa aman dan meningkatkan rasa percaya diri, serta memberikan motivasi terhadap kader-kadernya untuk mencapai tujuannya sehingga inilah yang menjadi sisi positif dari mentalitas Tribalisme yang beradab.

Namun, tidak dapat dipungkiri mentalitas tribalisme juga membawa pengaruh negatif dalam tubuh orgaisasi daerah. Narasi-narasi Kita Vs Mereka masih saja menggelora di beberapa organisasi daerah di Indonesia. Terkhusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang dilansir dari artikel Vice yang berjudul “Mendalami Kasus Panah Maut, Membuatku Belajar Akar Kultur Tawuran Makassar” menunjukan bahwa selain tawuran antar warga di Makassar juga sering
terjadi tawuran antara organisasi daerah.

Misalnya pada Tahun 2021 Terjadi penyerangan sekretariat BEM Universitas Islam Makassar oleh sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan suatu organisasi daerah di Sulawesi Selatan dan Penyerangan dua sekretariat organda di Jalan sungai Limboto Makassar. Kasus diatas menurut penulis dapat menunjukan bahwa mentalitas Tribalisme negatif telah menjangkiti tubuh organisasi daerah dan menghancurkan moral mereka perlahan-lahan karena rata-rata organisasi daerah tersebut masih mewariskan kepada kader-kadernya narasi-narasi “Us Vs Them”.

Narasi-narasi ketakutan, kebencian, ini dapat dikonfirmasi melalui penelitian Misdar, salah seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar yang terbit pada Tahun 2018. Berdasarkan Hasil penelitian tersebut menurut penulis, ada kecenderungan organisasi daerah ini sengaja menggunakan sisi buruk dari mentalitas Tribalisme dengan menyebarkan narasi-narasi ketakutan atas dasar kepentingan tertentu sehingga konflik terus-menerus terjadi dan bahkan hal
tersebut terkonstruksi dengan baik.

Dalam penelitian Misdar, mengungkapkan bahwa mahasiswa baru kerap di doktrin untuk menjadikan kelompok lain sebagai lawan terlebih masih terkadang ada campur tangan senior-senior mereka dalam merekonstruksi konflik. Bahkan salah satu koresponden dalam penelitian itu mengungkapkan bahwa memang sebenarnya konflik dibutuhkan untuk memupuk keberanian mahasiswa agar tidak menjadi penakut dan pecundang.

Bagi penulis hal tersebut merupakan logika yang sesat karena mereka menjadikan mahasiswa baru sebagai objek permainan bahkan dapat dikatakan sebagai Tumbal untuk memuluskan kepentingan tertentu. Untuk menutupi sisi terburuk dari mentalitas Tribalisme Organda tersebut bersembunyi dibalik Istilah persaudaraan dan solidaritas atau bahkan persoalan harga diri, kalau kata orang Bugis Makassar “Siri”.

Dalam hal ini saja selaku penulis, saya masih merasakan adanya anomaly kalau kerusuhan antara organisasi daerah terjadi karena persoalan “Siri”. Apakah dalam hal ini kebanyakan masyarakat Bugis dan Makassar terutama generasi-generasi mudanya lupa akan
sejarah suku bangsanya sendiri?.

Ini sangat disesalkan padahal persoalan seperti “Siri” rata-rata masyarakat Bugis dan Makassar terjebak dalam Heroisme buta bahwa segala persoalan itu harus
diselesaikan dengan cara kekerasan seperti “Sigajang Laleng Lipa” Padahal cara-cara itu merupakan pilihan Terakhir dalam resolusi konflik ala suku Bugis Makassar.

Masyarakay Bugis-Makassar masih memiliki Tradisi “Tudang Sipulung” Tradisi ini dilakukan untuk bertukar pikiran dan berunding dalam rangka menemukan solusi suatu permasalahan. Secara tidak langsung kegiatan Tudang Sipulung menjadi alat mempersatukan masyarakat dalam perbedaan pendapat. Proses itu menjalin komunikasi dua arah dan terbuka terhadap pendapat yang beragam hingga mencapai titik kesepakatan mufakat untuk semua orang.

Komunikasi merangkul ini menciptakan kebiasaan hidup saling berdampingan dalam perbedaan pendapat, tanpa adanya pertikaian-pertikaian fisik sebagai ekses negatifnya. Oleh karena apabila terjadi pertikaian antara sesama organda terkhusus di Sulawesi Selatan apa salahnya mereka mendahulukan mediasi atau musyawarah dalam menyelesaikan suatu persoalan tanpa harus membakar sekretariat satu sama lain.

Tulisan ini dibuat bukan untuk menyinggung suatu kelompok tertentu, penulis hanya berharap bahwa organisasi kedaerahan tersebut tidak terjebak dalam mentalitas Tribalisme Negatif dan Heroisme buta. Saatnya-lah mengembalikan citra Organisasi daerah sebagai sarana persatuan bangsa, dimana dulunya Republik ini didirikan oleh para orang-orang daerah yang terhimpun dalam Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak dan sebagainya hingga tercetuslah sumpah pemuda yang mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini