OPINI: Mati Satu Tumbuh Seribu

Opini102,000


Oleh: Rahmawati, S.Pd

Beberapa waktu lalu, Mama Ghufron mengaku sudah membuat atau menulis 500 kitab dengan bahasa Suryani. Bahkan ada juga kalimat lainnya, memicu kontroversi di kalangan umat beragama, seperti bisa merubah air biasa jadi Zamzam, bahasa Suryani saat di alam barzah,dan sebagainya.

Mengutip dari kanal YouTube HERRI PRAS, Rabu (12/6/2024), Abuya Mama Ghufron malah emosi, dan tidak menunjukkan bukti tulisan 500 kitab berbahasa Suryani, berikut kalimatnya:
“Ada yang memancing bagaimana mengarang kitab 500 kitab? Saya harus dipamerkan? Sorry.”

Atas kontroversi ucapan Mama Ghufron, ini pun mendapat sorotan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Disampaikan oleh Ketua PBNU, Bidang Keagamaan Ahmad Fahrur Rozi kalau apa yang disampaikan Mama Ghufron itu hanya karangan belaka.
“Bahasa ilmu Al-Qur’an dan hadits itu bahasa arab, bukan bahasa Suryani, itu ngarang,” ujar Ahmad Fahrur kepada tvOnenews.com, Jumat (28/6/2024)

Bahkan ditegaskan oleh Gus Fahrur, tidak ada dalil ataupun hadits soal kitab bahasa Suryani yang dipelajari itu bahasa arab. “Ikuti ulama yang benar saja yang memang berilmu dan beramal saleh. Waspadalah zaman sekarang banyak dukun yang berlagak kyai atau ulama,” ungkap Gus Fahrur.

Akan Terus Berulang

Penistaan terhadap agama terus berulang dengan bentuk–bentuk penistaan agama yang beda dan dengan wajah yang berbeda pula karena penerapan sistem sekularisme, liberalisme dan didukung oleh sistem demokrasi. Demokrasi dipayungi oleh HAM, menjamin kebebaan berpendapat,kebebasan beragama, kebebasan ekspresi dan kebebasan kepemilikan. Dengan dalih kebebasan, mereka berani menista Allah SWT, menista Rasulullah Saw, menista Al-Qur’an, menista ulama dan menista umat Islam.

Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama adalah sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.
Ini jelas bahwa sanksi bagi pelaku penistaan agama hanya berupa hukuman ringan sehingga tidak memberi efek jera bagi pelaku.

Negara yang menerapkan sistem demokrasi tidak mampu menjaga dan melindungi kemuliaan Islam dan umat Islam. Agama tidak lagi menjadi prinsip hidup yang sakral yang harus dijaga dan dihargai. Agama sering dijadikan bahan bercanda, sindiran, olok-olokan, narasi kebencian dan penistaan. Bahkan ada yang berpandangan bahwa orang yang taat beragama itu kolot, primitif dan tidak maju. Padahal menghina, melecehkan, menistakan ajaran Islam, menghina Rasulullah SAW dan umatnya itu haram. Pelakunya harus diberi sanksi tegas.

Sanksi kepada Penista Agama

Para penista tidak akan pernah jera selama hukum yang diterapkan bukanlah hukum Islam, hukum yang Allah turunkan bagi manusia, berlaku bagi muslim maupun non muslim. Sesuatu yang terkategori penistaan agama tidak boleh dibiarkan. Islam menyatakan perang bagi mereka yang menista agama.

Allah SWT berfirman :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allâh belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim. (Al-Baqarah:193).

Hanya saja, sanksi ini bisa diterapkan bila negara menerapkan hukum Islam. Dan negara yang menerapkan hukum Islam adalah Khilafah Islamiyah. Khilafah Islamiyah akan menjaga suasana keimanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan bimbingan untuk menguatkan akidah warga negara, memberikan pemahaman Islam yang kaffah. Semua dilandaskan pada keimanan kepada Allah SWT. Terhadap pelanggaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, negara Khilafah memberi sanksi terhadap pelakunya dengan hukuman yang tegas dan adil. Sanksi yang tegas dan adil dalam sistem Khilafah harus sesuai hukum syara’. Sanksi yang tegas dan adil terkesan kejam, namun akan memberi efek jera bagi pelaku dan juga sebagai penebus (jawabir) hukuman di akhirat. Selain itu juga sanksi ini bersifat pencegah (zawajir) kepada yang ingin melakukan tindakan yang serupa. Masih banyak hal positif yang bisa dilakukan jika dibandingkan untuk menyibukkan diri menista agama.

Waalahu ‘alam

Komentar