Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Lakukan Ini Jika Polisi Abaikan Laporan Pengaduan

Ilustrasi (net).

JAKARTA, TEKAPE.co -Tagar #PercumaLaporPolisi menggema di Twitter sebagai bentuk reaksi atas penghentian penyelidikan kasus pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandung di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Penyelidikan sudah dilakukan sejak Oktober 2019 dan telah dihentikan Polres Luwu Timur karena dianggap tidak cukup bukti. Pelaku yang berinisial SA dilaporkan ke polisi oleh mantan istrinya, RA, setelah diduga memerkosa tiga anak kandungnya yang kala itu masih berusia di bawah 10 tahun.

Meskipun sudah melakukan penyelidikan, penanganan kasus ini diduga penuh manipulasi dan konflik kepentingan mengingat terduga pelaku merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kini, setelah desakan datang dari sejumlah pihak, kasus tersebut dilaporkan telah dibuka kembali. Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester MM Simamora menemui ibu tiga anak yang menjadi korban dugaan pemerkosaan oleh ayahnya. Polisi berjanji akan melanjutkan kasus tersebut hingga tuntas.

Ibu korban, RA, mengatakan rombongan Kapolres Luwu Timur datang ke kediamannya pada Jumat 8 Oktober 2021 sore. Mereka membicarakan kasus yang sempat dilaporkan sebelum penyelidikannya dihentikan pada 2019.

“Barusan rombongan pak kapolres ke rumah ketemu saya langsung. Iya, mau dilanjut ini kasus. Semua yang jadi masalah kemarin kenapa kasus ini ditutup, akan ditindaklanjuti sama kapolres baru,” tutur RA kepada wartawan.

Meski kasus kini akhirnya sudah dibuka lagi, tapi apa yang mesti dilakukan jika laporan pengaduan diabaikan oleh polisi?

Pada dasarnya anggota Polri dilarang untuk menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi, dan kewenangannya.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polisi (KEPP).

Anggota Polri yang melanggar peraturan etika dapat dikenakan sanksi seperti meminta maaf; mengikuti pembinaan mental, kejiwaan, keagamaan, dan pengetahuan keagamaan; dipindahtugaskan ke jabatan dan fungsi berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya selama satu tahun; hingga pemecatan.

Akun twitter konsultasi hukum, @justika_id, menjelaskan bahwa siapa pun bisa membuat aduan jika menemukan pelanggaran kode etik anggota kepolisian.

Pelapor bisa membuat laporan ke Divisi Propam baik secara langsung ataupun lewat email.

“Dokumen yang harus disiapkan pada saat pengaduan adalah: identitas pelapor, kronologis peristiwa yang ingin diadukan,” cuit @justika_id dikutip Sabtu 9 Oktober 2021.

Selain itu, pelapor juga bisa melaporkan kasus pelanggaran tersebut ke Ombudsman RI. Adapun hal-hal yang harus dipersiapkan seperti lampiran dokumen identitas diri, uraian kronologis peristiwa yang dialami, surat kuasa, dokumen legalitas (bila pelapor adalah badan hukum dan yayasan), hingga bukti-bukti peristiwa.

Pengaduan bisa disampaikan baik dengan datang langsung ke kantor Ombudsman RI ataupun melalui email.

Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Charlie Albajili, menambahkan pelapor bisa mengontrol kinerja polisi dalam menangani laporan dengan meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Menerima SP2HP merupakan hak setiap pelapor.

Apabila laporan pengaduan diabaikan oleh pihak kepolisian, terang dia, pelapor dapat membuat aduan.

“Kalau ada indikasi penundaan berlarut (undue delay), misalnya tidak ada SP2HP, tidak ada perkembangan dan upaya yang dilakukan polisi, bisa laporkan ke lembaga pengawas seperti Kompolnas dan Ombudsman RI. Di sini ada potensi juga penyidik melanggar pedoman perilakunya sehingga bisa diadukan ke Divisi Propram,” kata Charlie.

Ia menambahkan pelapor mempunyai hak untuk menggugat praperadilan ke pengadilan negeri setempat untuk menguji apabila terjadi penghentian penyidikan.

“Yang pasti tanggung jawab dan tugasnya polisi untuk mencari alat bukti, apalagi dalam kasus yang alat buktinya hanya polisi yang punya otoritas dapatkan, seperti visum et repertum, visum psikiatrikum, pengakuan saksi, atau bahkan bukti petunjuk seperti CCTV, dan lain-lain,” tutur dia.

“Enggak bisa dibebankan ke korban meskipun tentu demi kepentingannya korban atau pelapor juga perlu sediakan sebisanya,” tambah Charlie. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini