OPINI: Unstableness Democracies in The Face of Covid-19
Oleh: Shinta Alfiah Nur
(Dept Hikmah Pikom IMM Fisip Unismuh Makassar)
“My imagination is surely an aggravation of threats. That can come about ’cause the tongue is mighty powerful” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat.
Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan negara kesatuan, Indonesia juga dapat dikatakan sebagai negara Demokratis.
Negara demokrasi dapat diartikan sebagai sebuah sistem pemerintahan, dimana seluruh masyarakat memiliki hak serta kesempatan yang sama atau setara dalam berkontribusi untuk pengambilan keputusan yang berpengaruh pada nasib hidup oranag banyak.
Hal ini sangat berkesinambungan dengan pendapat yang diungkap oleh Charles Costello, bahwa demokrasi adalah sistem social politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
Merujuk pada penjelasan demokrasi Indonesia dengan menyeimbangi kondisi Indonesia saat ini. Kabar duka untuk dunia dengan kedatangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi perhatian publik Indonesia hingga detik ini.
Bagaimana tidak, dari data yang diberikan oleh Juru bicara pemerintah penanganan Covid-19 Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Gedung BNPB Jakarta, mengungkapkan pada Jumat, 10 April 2020 terjadi penambahan kasus positif sebanyak 219 jiwa.
Dengan demikian, total individu yang positif terinfeksi di Indonesia kini mencapai angka 3.512 jiwa.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah “Is democracy really done right now or just a lability policy issued?”.
Bukan hanya persoalan kedaruratan medis yang menjadi perhatian publik, tetapi labilitas kebijakan Pemerintah dalam menangani Covid-19 yang menimbulkan ketidakpastian di masyarakat.
Tulisan ini mencoba untuk merangkum secara sederhana, keinginan dan kekhawatiran masyarakat Indonesia, terkait Covid-19 yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) menjadi pandemi.
Tulisan ini bukan untuk meninjau Covid-19 dari prespektif kesehatan, karena sejatinya penulis tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut.
Tulisan ini hadir unutk mengkritisi tanpa brutal dan mengadili dengan damai, hanya ikhtiar yang mencoba unutk merefleksikan realita penanganan kebijakakn pemerintah yang berkaitan dengan virus corona.
Suatu kebijakan lahir bukan hanya karena atas pikiran (logika) tetapi berdasarkan kenyataan di masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes (Mantan Hakim Amerika Serikat) bahwa “The life of the law has not been logic, it has been experience” (kehidupan hukum bukanlah pada logika, tetapi pada pengalaman).
Maksudnya, hukum/kebijakan dibentuk bukan karena ada bisikan dari kiri atau kanan, melainkan untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sebab kebijakan dibentuk untuk manusia, seperti tutur dari Satjipto Rahardjo bahwa “hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum”.
Saat ini, dibutuhkan suatu kebijakan yang sistematis dan tentunya tidak dinamis bahkan cenderung labil.
Banyak kebijakan yang lahir dari Pemerintah saat merebaknya Covid-19 di Indonesia, mulai dari pembatasan sosial (social distancing), kemudian menyinggung soal lockdown, dan karantina wilayah.
Namun, pada akhirnya Pemerintah mengambil keputusan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Bahkan, terakhir diutarakan oleh Presiden Joko Widodo untuk lebih memantapkan rencana PSBB dan pembatasan kontak fisik (physical distancing) akan diterapkan darurat sipil sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya).
Menindaklanjuti penjelasan dari demokrasi, kebijakan pemerintah yang dikeluarkan saat ini masih “kucar-kacir” sehingga berpegaruh pada nasib orang banyak.
Ditinjau dari kondisi saat ini, Pemerintah Daerah (Pemda) secara sepihak mengambil kebijakan karena lambatnya pergerakan Pemerintah Pusat (Perpu) dalam menghitung resiko yang ada.
Sebagai contoh Pemerintah Kota Makassar, telah membuat rencana lockdown atau karantina wilayah. Namun, karena beberapa pertimbangan akhirnya hanya mengambil kebijakan pembatasan keluar masuk antar pulau, padahal kasus positif Covid-19 di Sulawesi Selatan sebanyak 66 kasus.
Kemudian, Pemerintah Kota Bandung telah merencanakan untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah, namun karena belum adanya intruksi Pemerintah Provinsi Jawa Barat sehingga hal itu tidak berani untuk dilakukan.
Padahal Walikota Bandung Oded M Danial memastikan 8 warganya telah meninggal akibat Covid-19.
Pemerintah Daerah yang bersikeras unutk melakukan lockdown atau karantina wilayah adalah Pemerintah Kota Tegal, Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan Pemerintah Kota Tegal mengetahui bahwa 1 warganya yang positif Covid-19.
Dari uraian sebelumnya, maka hal yang pertama kali muncul dipikiran adalah adanya ketidaksinambungan dalam pengambilan kebijakan antara pusat dan daerah.
Pengambilan kebijakan yang dilakukan Pemerintah Daerah lebih diterima secara logis daripada menunggu arahan yang diberikan Pemerintah Pusat, sedangkan virus telah merajalela di lorong-lorong daerah.
Ini bisa dikatakan bahwa kelabilan. Pemerintah Pusat dalam mengambil kebijakan. Sehingga muncul kebimbangan untuk mengambil langkah ditengah keresahan datangnya wabah ini.
Butuh waktu dan tenaga untuk memikirkan kebijakan yang keluar dari ucapan sang penguasa, yang keesokan harinya harus dicabut.
Dari kelabilan yang dilakukan Pemerintah, perlu adanya kesadaran masyarakat setempat untuk tetap melakukan kegiatan terbaik guna memutus rantai penyebaran Covid-19 ini.
Implementasi demokrasi Indonesia ditengah kedatangan Covid-19 masih perlu dipertanyakan. Mulai dari kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kota dalam keselarasan kebijakan untuk nasib kehidupan masyarakat.
Bangsa yang baik adalah bangsa yang terbuka dengan kritik dan saran dari masyarakatnya. Gatot Nurmantyo pernah berkata “kalau kritik boleh-boleh saja, namanya juga negara demokrasi”.
Tapi Pemerintah yang baik adalah Pemerintah yang memberikan kepastian kebijakan kepada masyarakatnya. Seperti yang dikatakan oleh Najwa Shihab bahwa “demokrasi tidak untuk melayani penguasa, demokrasi ditujukan memuliakan warga negara”.
Banyaknya problematika bisa diatasi dengan secarik kertas kepastian, bukan sebatas ikhlas, tetapi pantas.
Saat ini kita dibingungkan oleh pendirian Pemerintah, tapi kedaulatan rakyat senantiasa memberikan kepastian bahwa melindungi diri sendiri merupakan hak, namun melindungi sesama manusia adalah kewajiban moral. Karena sejatinya, “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfat bagi orang lain”.
Dikala pimpinan labil dalam menentukan keputusannya untuk menyikapi masalah, kita sebagai masyarakat Indonesia cukup berperan atas kesadaran diri untuk menjadi pemutus rantai penyebaran Covid-19.
Harapannya, labilitas demokrasi Indonesia dapat menjadi renungan bagi Pemerintah dalam mementukan kebijakan untuk nasib kehidupan orang banyak.
“Jangan sampai atas nama popularitas, hakikat demokrasi pun ditebas,” ungkap Najwa Shihab. Fastabiqul Khoirat. (*)
Tinggalkan Balasan