OPINI: Sederet Problem Perempuan Yang Berkaitan Langsung Dengan Politik
Oleh: Hasan Sufyan
(Ketua KPU Luwu)
Bagi seorang aktivis feminis atau aktivis gender, sederet persoalan mungkin akan tumpah ruah diperlihatkan atas seluruh problem marginalisasi perempuan di dunia politik, dan didukung dengan teori yang canggih dan njelimet untuk menjelaskan seluruh problem perempuan tersebut.
Sebab saya bukan aktivis feminis, juga bukan penggiat perjuangan hak-hak perempuan, maka saya tidak bisa sok tauh atas seluruh problem kawan-kawan perempuan. Namun tentu sebagai individu, kita punya pandangan tersendiri soal perempuan dan politik.
Sebetulnya, ketika kita membincangkan perempuan dan politik, semua problem perempuan bisa terkait langsung dengan politik.
Ilustrasi saja, misal seorang ibu yang hamil besar yang jarak rumahnya menuju puskemas tiga kilometer dengan kondisi jalananan yang berlubang dan berlumpur, suatu hari karena sakit diare terpaksa harus dibawa ke puskesmas, ditengah perjalanan sebab goncangan keras akhirnya terpksa melahirkan prematur sebelum sampai ke puskesmas.
Dari ilustrasi sederhana ini, bukankah ibu hamil dan pembangunan insfrastruktur jalan berkait langsung dengan problem perempuan ?.
Pembangunan insfrastruktur jalan bukan saja penting untuk produksi ekonomi masyarakat, juga penting bagi seorang perempuan yang tengah hamil besar. Silahkan membayangkan daerah pelosok kecamatan didaratan Luwu Raya yang masih minim pembangunan infrastruktur jalannya, ada Seko, Rampi, Bastem, Bastem Utara dan Latimojong.
Bagaimana kondisi jalan dan fasilitas kesehatan didaerah tersebut ? Bayangkan jika di daerah tersebut ada seorang ibu yang lagi hamil dengan kondisi yang sangat lemah, bukankah negara turut serta bertanggung jawab terhadap pertaruhan nyawa perempuan tersebut?.
Anggaplah perempuan dan bayinya selamat melewati kondisi jalan yang amburadul dan ekstrim itu, bagaimana jika setelah itu perempuan tersebut menjanda dengan satu anak, otomatis perempuan ini mengambil alih tugas kepala keluarga. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah ketika perempuan menjadi kepala keluarga, status sebagai kepala keluarga diakui oleh negara ?, apakah perempuan sebagai kepala keluarga diakui oleh pemerintah desa, dia tercatat dan terdata sebagai kepala keluarga juga berhak atas bantuan negara? Sama halnya saat kepala keluarga yang diemban oleh seorang laki-laki bisa mengakses dan terdata atas hak bantuan oleh negara?.
Banyak terlihat dilingkungan sehari-hari kita, jika seorang perempuan tarpaksa menjadi kepala keluarga, akses bantuan dari negara tidak seperti yang didapatkan oleh laki-laki yang menjadi kepala keluarga, bantuan pupuk subsidi ikut hilang, banguan PKH hilang, bantuan bedah rumah hilang, bantuan kelompok tani hilang, bantuan pra sejahtera hilang, bantuan pangan hilang, bantuan kesehatan hilang, semua bantuan tersebut hilang bersamaan dengan hilangnya kepala keluarga laki-laki di tengah keluarganya, akhirnya seorang perempuan yang mengambil alih tugas kepala keluarga terpaksa banting tulang memenuhi kebutuhan keluarganya tanpa bantuan negara.
Ini memperlihatkan bahwa perempuan sebagai kepala keluarga berkait langsung dengan kebijakan politik negara. Perempuan masih berada pasa posisi kelas kedua di mata negara.
Okelah, anggap saja semua itu tidak terjadi, perempuan tidak memiliki anak, dia juga tidak memiliki suami, dia seorang perempuan yang tidak bersuami, perempuan ini tinggal bersama orang tuanya, dia hanya membantu ibunya mengurusi urusan rumah, bapaknya sudah tua, tidak produktif lagi beraktivitas mencari penghidupan keluarga, siapa kira-kira yang akan menopang kehidupan kekuarga mereka ?.
Secara otomatis, ibunya yang akan mengambil alih tugas kepala keluarga, anak perempuan tanpa suami ini juga yang akan full mengurusi urusan rumah, dia mengatur belanja, mengurusi bapaknya, ibunya dan dirinya yang akan mengambil alih seluruh tugas dan tanggungan keluarga. Dimana posisi negara dalam hal ini ?.
Seorang pengambil kebijakan pada level negara, jika tidak memahami problem dan situasi perempuan, tentu tidak menjadikan hal ini sebagai problem sosial masyarakat, padahal fakta-fakta ini terlihat jelas dilingkungan sehari-hari kita, seorang ibu yang seharusnya sudah menikmati masa tuanya, justru dimasa tuanya terpaksa banting tulang menjadi pejuang ekonomi buat keluarganya, namun dirinya tidak pernah dianggap dan didata untuk sasaran pembuatan kebijakan level pemerintahan desa, bagaimana dengan negara pada level daerah, provinsi dan pusat ?.
Baiklah, bagaimana jika kondisi ekonomi orang tuanya mapan, keluarga termasuk kelas menengah di level desa, urusan makan sehari-hari tidak menjadi problem, anak-anaknya bahkan mendapat pendidikan yang layak sampai perguruan tinggi, anak-anaknya sarjana, bahkan anak perempuanya pada saat musim pencalegkan, bisa didorong menjadi salah satu caleg perempuan pada salah satu partai politik, dirinya percaya diri karena berasal dari rumpun keluarga yang besar dan terpandang di desanya, hartanya yang puluhan tahun dikumpulkan sebagian disisihkan untuk urusan pencalegkan anak perempuannya, berharap anak perempuannya bisa menjabat sebagai anggota DPRD kabupaten, agar dia bisa meningkatkan pamor dan kehormatan keluarga.
Situasi seperti ini, juga ternyata mengeksploitasi posisi perempuan, perempuan dijadikan obyek politik, obyek politik dari keluarganya dan obyek politik dari partai politik. Perempuan menjadi obyek politik keluarga karena dirinya tidak berpolitik sebagai subyek yang berkesadaran sebagai individu perempuan yang harus berjuang atas nama perempuan, juga dirinya sebagaiperempuan hanya sebagai obyek politik partai politik karena hanya memenuhi syarat kebutuhan partai untuk memenuhi ambang batas 30% kouta perempuan pada daftar caleg partai politik, dirinya sebagai perempuan hanya sebagai angka syarat adminisratif pencalegkan bukan sebagai subyek perempuan yang memang berjuang untuk kepentingan kaum perempuan.
Kalaupun dirinya sebagai subyek perempuan yang berkesadaran secara politik yang ingin terjung di ranah politik praktis, perempuan tetap menemui banyak hambatan, hal yang sangat sederhana kadangkala menjadi problem di internal partai politik, budaya patriarkhi partai politik turut serta menghambat perkembangan kaderisasi perempuan di partai politik, perempuan disetiap acara partai selalu diposisikan sebagai bendahara dan urusan konsumsi semata.
Akibatnya, wacana politik dan praktek politik perempuan sulit berkembang dan maju di partai politik. Atau problem yang dianggap teknis dan sering diabaikan, misal partai politik yang sering mengadakan rapat dan pertemuan di malam hari, juga bisa menjadi kendala dan penghambat buat perempuan untuk berkarir di partai politik, bayangkan seorang perempuan yang juga seorang istri, menghadiri rapat partai politik pada malam hari, seorang perempuan bisa mengorbankan banyak hal, mengorbankan makan malam anak-anak dan suaminya, bisa mengorbankan pendampingan belajar anak-anaknya, bisa mengorbankan waktu untuk menidurkan anak-anaknya, mungkin banyak yang akan mengira bahwa ini hanya problem teknis semata, padahal ini adalah problem patriarkhi di partai politik.
Maka jangan heran jika sangat kecil jumlah kaum perempuan aktif di partai politik, disamping karena budaya patriarkhi yang menganggap urusan politik lebih banyak didominasi oleh laki-laki, juga disebabkan karena budaya patriarkhi masih cukup kuat dipratekkan di internal partai politik.
Sederhana untuk melacak ketimpangan dalam tradisi politik kita, pada pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan tanggal 9 desember 2020 isu-isu strategis terkait problem perempuan minim dijadikan isu strategis dan program politik oleh para calon kepala daerah. Siapa kandidat calon kepala daerah pada pilkada 2020 yang mengangkat isu-isu startegis perempuan ?. Semisal, isu kesehatan reproduksi perempuan, isu kekerasan rumah tangga, penanganan penyakit stunting anak, peningkatan ekonomi kaum perempuan, kebijakan pelayanan ramah gender pada institusi pemerintah, problem pernikahan perempuan di bawah umur, perempuan lansia yang banyak tersebar dikampung-kampung mereka minim mendapatkan fasilitas kesehatan dan bantuan ekonomi, dan lain sebagainya.
Silahkan saja dicek program calon kepala daerah satu persatu bagi daerah yang sementara berpilkada.
Pada pemilu 2019 kabupaten Luwu, hanya ada dua perempuan yang berhasil duduk sebagai anggota DPRD Kabuten Luwu, jika dibandingkan periode sebelumnya 2014-2019 ada empat legislator perempuan, berarti ada penurunan yang signifikan. Problem penurunan keterwakilan perempuan di parlemen bukan saja karena faktor kurangnya produksi kader aktivis perempuan, tapi juga karena partai politik masih menganggap perempuan hanya sekedar syarat adminisratif pemenuhan kouta 30% pada daftar caleg yang harus disetor ke KPU.
Angka kemiskinan yang terus menanjak setiap tahun, yang paling terdampak tentu saja kaum perempuan sebagai benteng ekonomi keluarga, belum lagi ditambah situasi pandemi covid 19 yang tidak kunjung menuai titik terang penyelesaian sampai saat ini, semua kondisi tersebut menambah beban buat kaum perempuan.
Untuk skala luwu raya yang wilayahnya cukup luas dengan jumlah penduduk yang cukup padat, sampai saat ini belum pernah saya dapati organisasi atau NGO perempuan yang cukup intens berjuang untuk hak-hak perempuan pada ranah politik. Bahkan organisasi perempuan yang maju dan kuat mengadvokasi hak-hak perempuan yang sering dimarginalkan oleh sistem pelayanan publik negara, tidak juga pernah saya jumpai.
Mungkin karena saya masih kurang banyak bergaul dan berkeliling akhirnya presepsi saya bisa keliru menilai dan melihat kondisi ini, mohon maaf jika penilaian saya keliru. Penting terus mendorong organisasi perempuan yang maju dan progressif, sebagai medium kaderisasi politik jangka panjang yang bisa mengisi setiap kekosongan politik yang abai diperhatikan para politisi laki-laki.
Tapi yang pasti, bagi laki-laki yang tidak ramah terhadap perempuan, neraka pasti lebih dekat terhadap dirinya, situasi ini semakin terasa bagi laki-laki yang sudah berumah tangga, begitupun sebaliknya laki-laki yang ramah terhadap perempuan, hidupnya lebih mudah dan bahagia dan tentu hidupnya lebih dekat ke surga. (*)
Tinggalkan Balasan