OPINI: Catatan Untuk Legislatif Kota
Oleh: AFRIANTO
(Direktur CDD/Peneliti PENTAHELIX INDONESIA)
Tepat pada hari senin (2/09/2019), anggota legislative kota palopo yang berjumlah 25 orang itu dilantik oleh ketua Pengadilan negeri kota palopo. Menjelang 2 tahun masa jabatan mereka, tentu saja banyak tanggapan public terhadap kinerja mereka dan dinamika internal yang terjadi.
Peran legislative begitu penting sebagai representasi suara rakyat dalam menyampaikan kebutuhan dan problem kemasyarakatan yang timbul akibat dari kebijakan pembangunan yang ada.
Posisi strategis lembaga legislatif yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan fungsinya, membentuk peraturan daerah (legislasi), anggaran dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan perda serta kebijakan pemerintah (pengawasan).
Sebagai salah satu lembaga kanal aspirasi rakyat, diharapkan bisa memunculkan dinamika yang kuat dan berkualitas dalam rangka membincang berbagai persoalan yang timbul dari kebijakan eksekutif.
“Meskipun terjadi perubahan dalam politik parlemen, masih terdapat banyak kritik yang menilai DPRD belum menjalankan fungsinya mewakili aspirasi rakyat secara optimal. Hal ini diindikasikan karena syarat dengan hegemoni politik dan lebih sempit lagi, ada kesan memperjuangkan kepentingan diri masing-masing,” (Forum Parlemen Indonesia).
Ada beberapa point penting yang menjadi catatan publik dari diskursus-diskursus kecil yang saya coba rampungkan, baik itu perspektif individu maupun kelompok/organisasi kemasyarakatan terkait peran DPRD kota palopo dalam mengakselerasi pembangunan.
Dalam hal ini, peran pengawasan DPRD terhadap eksekutif juga perlu dievaluasi oleh masyarakat sehingga kita bisa melihat hubungan parlemen dan aspirasi rakyat.
1. Metode/cara anggota DPRD palopo menyerap dan mengolah aspirasi.
Setiap tahun DPRD kota palopo melalui reses, menyerap dan mengolah asipirasi masyarakat di masing-masing dapilnya dengan anggaran yang tentu tidak kecil. Diharapkan melalui proses ini, DPRD dapat mengevaluasi kebijakan eksekutif yang telah dilaksanakan pada tahun anggaran sebelumnya dan kebutuhan mendesak untuk pembangunan di tahun berikutnya.
Sayangnya, selama proses reses ini, seringkali hanya menjadi kegiatan “ritual” yang memiliki makna sempit bagi warga, bahkan seringkali tidak mencerminkan semangat musyawarah yang bersifat dialogis dan partisipatif terutama bagi kelompok-kelompok rentan.
Kondisi ini semakin diperparah karena DPRD tidak punya basis data terintegrasi yang dianalisis untuk melihat capaian atau kemajuan pembangunan di masing masing wilayah/dapil maupun secara sektoral.
Akibatnya, masyarakat terus mengusul kebutuhan infrastruktur yang kadang tidak berkorelasi dengan kebijakan strategis eksekutif. Belum lagi, jika terjadi perbedaaan dokumen musrembang dengan hasil reses warga, tidak ada penggambaran matriks program 5 tahun, tujuan praktis dan strategis.
Belum lagi kecenderungan dan perubahan penting (isu-isu social yang mengemuka). Masyarakat pun tidak memahami sudah sejauh mana pemerintah melakukan agenda-agenda pembangunannya dan mengarah kemana pembangunannya.
2. Efektivitas serapan aspirasi dalam kebijakan publik
Bagaimana DPRD palopo mengevaluasi efektivitas serapan aspirasi dalam kebijakan public dan membuat pertanggung jawaban sosialnya ke pada konstituennya ? Ini bisa dilihat dari keterlibatan DPRD pada tahap perencanaan pembangunan, penganggaran dan pengimplementasian serta pengendalian dan evaluasi.
Walaupun tidak termuat secara eksplisit pada peraturan perundang-undangan, secara moril kita berharap DPRD kota palopo secara kelembagaan ataupun individu bisa menyajikan informasi melalui kanal media atau pertanggungjawaban secara tertulis dalam bentuk dokumen yang memuat terkait keterpaduan, sinergi dan konsistensi pembangunan yang dilaksanakan oleh eksekutif.
Informasi ini akan meninjau peran DPRD dalam mendorong keterbukaan infromasi serta kemudahan public mengkases capaian dari target kesejahteraan rakyat yang inklusif dan berkeadilan.
Pembangunan inklusif tidak akan mungkin bisa dicapai dengan karakter birokrasi yang dibangun dengan pemilahan/terkotak dan sektoral.
Kita tahu bahwa melalui LKPJ pemerintah daerah, laporan pertanggungjawaban secara administrative dilaporkan atas realisasi fisik dan keuangan. Dampak dari realisasi fisik dan keuangan belum terlihat secara kritis ditinjau sejauh mana implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat Kota Palopo.
Hal ini terus berulang, sehingga DPRD terkesan sempit memaknai fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif.
3. Mekanisme kordinasi dan komunikasi yang tidak optimal sesama anggota DPRD
Komunikasi yang tidak berjalan menyebabkan perbedaan persepsi, perdebatan pun kerap muncul secara internal dan sulit menemukan kesepahaman bersama, itu dinamikanya. Namun unsur pengawasan yang melekat harus tetap dijalankan dalam dinamika kelembagaan DPRD, bukan dalam hegemoni partai politik maupun kecenderungan personal.
Diharapkan DPRD kota palopo lebih aktif melihat masalah di eksekutif dengan menciptakan perspektif yang kuat secara kelembagaan, memberikan ilustrasi memadai tentang kondisi yang terkait dengan kepentingan publik.
Seiring dengan inovasi pembangunan yang berkembang dengan berbagai dinamikanya, DPRD pada fungsinya dari berbagai aplikasi pembangunan harus bisa menciptakan collaborative governance.
“Collaborative governance merupakan instrument yang tepat untuk berkonfrontasi dengan masalah, sebab collaborative governance menciptakan suatu kesepahaman diantara peran actor.” (Ansel dan Gash).
Beragam catatan publik terkait kinerja DPRD kota palopo tentu saja beragam, namun kita berharap dari rangkaian catatan singkat ini, DPRD kota palopo bisa mengevaluasi secara internal keberhasilan, kegagalan dan perubahan-perubahan yang terjadi selama kurang lebih dua tahun ini untuk menjadikan lembaga ini lebih strategis dan representatif bagi kepentingan publik. (*)
Tinggalkan Balasan