Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Tekape Institute Gelar Diskusi HPN, Sikap Media Di Antara Jepitan UU ITE dan UU Pers

PALOPO, TEKAPE.co – Dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) ke-74 tahun 2020, Tekape Institute menggelar diskusi bertema ‘Ancaman UU ITE Terhadap Kebebasan Pers,’ di D’Linoe Coffee, Kota Palopo, Minggu malam, 9 Februari 2020.

Acara ini sekaligus sebagai soft launching Tekape Institute, lembaga yang konsen di bidang pendidikan jurnalistik dan kehumasan di Tana Luwu dan Toraja.

Diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif Tekape Institute, Abd Rauf, dihadiri insan pers dan para aktivis, yang ikut memberikan masukan terhadap kemajuan media di Palopo.

“Diskusi dimaksudkan agar di hari pers nasional ini, dijadikan momentum muhasabah atau introspeksi diri dan menampung kritik demi perbaikan insan pers di masa mendatang,” ujar Rauf.

Sementara itu, Dewan Pendiri Tekape Institute, Irwandi Djumadin, dalam sambutannya, menuturkan, lembaga ini dibuat sebagai wadah bagi orang-orang yang ingin belajar ilmu-ilmu jurnalistik dan kehumasan.

“Kehadiran Tekape Institute, sebagai upaya membenahi SDM wartawan dan humas yang ada,” jelas Wandi, sapaan akrab Irwandi Djumadin.

Setelah pemaparan Tekape Institute, kepada para peserta diskusi, Rauf memperkenalkan para pembicara.

Narasumber pertama, dari kalangan jurnalis senior di Kota Palopo, Iswandi Ismail, yang kini telah menjabat sebagai Komisioner KPU Palopo. Kemudian, yang kedua, dari kalangan Pengacara, sekaligus Dosen Hukum Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo, Hisma Kahman.

Sedangkan narasumber ketiga, Edy Haji Maiseng, Tokoh Masyarakat yang juga aktif mengamati berbagai persoalan-persoalan sosial yang terjadi, khususnya di Kota Palopo.

“Mereka bertiga merupakan orang-orang yang luar biasa di bidangnya masing-masing. Mungkin pada dialog ini, ketiga Narasumber kita ini akan membuka sebuah pandangan terkait problem UU ITE yang hari ini dianggap publik masi kontroversi dengan UU Pers,” tandasnya, sembari mengarahkan suasana forum tetap hidup.

Awal mula dialog itu terlihat sederhana, meskipun dihadiri dari berbagai lapisan elemen masyarakat, termasuk para Jurnalis, LSM, Politisi, dan beberapa juga perwakilan dari organisasi-organisasi kepemudaan, seperti KNPI dan PMII Palopo.

Namun setelah Narasumber berbicara, peserta langsung terpancing. Seakan dikepala mereka muncul berbagai tanggapan dan pertanyaan. Itu dilihat dari ekspresi mereka yang seolah menahan diri untuk berkometar.

Saat itu, mereka paham bahwa untuk berbicara di dalam forum seperti itu, harus terlebih dahulu dipersilahkan oleh moderator, atau pemandu dialog.

Pemateri pertama, Wandi Ismail saat itu tengah berbicara, tersengar menyinggung soal bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh sebuah media dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

“Wartawan perlu membentengi diri dengan data kuat dan akurat, sehingga pemberitaan yang dibuat oleh jurnalis tidak rawan berdampak hukum. Begitupun perusahaan media, mestinya memperhatikan legalitas media dan SDM-nya harus terus dibenahi,” sarannya.

Dirinya mengangkat contoh beberapa media nasional lainnya yang berani membongkar kasus korupsi besar.

“Kenapa mereka berani? Itu karena mereka punya metode dan bukti kuat dalam investigasi yang mereka lakukan, sehingga ketika ada masalah, mereka siap berhadapan dengan delik pers,” tandasnya.

Sementara itu, Narasumber kedua pada kesempatannya memaparkan betapa bergunanya UU ITE bagi media yang melakukan pemberitaan yang tidak berdasarkan fakta.

Menurutnya, UU ITE adalah sebuah mesin penggali kubur bagi jurnalis dan perusahaan media itu sendiri.

“UU ITE ini sangat berfungsi dengan baik ketika wartawan tidak bisa mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya, atau dengan kata lain, diri tidak memiliki data yang kuat,” pungkas Hisma.

Hisma, yang juga mantan Ketua Panwaslu Palopo ini mengatakan, negara ini belum dalam keadaan baik-baik saja. Hal itu terbukti dari ketidakharmonisan antara 2 UU ini.

Sementara penegak hukum yang tetap menggunakan UU ITE bagi pers, karena UU tersebut juga adalah produk negara. Sehingga ketika ada orang yang melaporkan atas pencemaran nama baik, dia juga punya legal standing, karena ada aturan yang dijadikan sebagai rujukan.

Di akhir diskusi, Hisma menyarankan agar sebaiknya momen ini digunakan para jurnalis dan pemilik media untuk berhimpun dan mengeluarkan rekomendasi terkait harmonisasi antara UU ITE dan UU Pers.

“Adanya pasal-pasal kontradiktif dalam UU ITE dan UU Pers ini perlu disikapi. Perlu menyatukan suara untuk harmonisasi antara dua UU ini,” ujarnya.

Dari kedua Narasumber yang telah berbicara, Edy Haji Maiseng diberi kesempatan untuk berbicara sebagai pembicara ketiga.

Pada kesempatannya, Edy Maiseng langsung membuat forum sontak dipenuhi gelak tepuk tangan. Ia membuat forum sedikit bersemangat.

“Bagi saya kebebasan itu sesuatu yang absolute, mutlak, karena itu adalah Hak Asasi Manusia, hak yang paling asasi. Selama kebebasan itu tidak melanggar kebebasan orang lain,” tegasnya, seraya dibarengi tepuk tangan forum.

Tetapi tidak berhenti sampai disini, kebebasan ini diatur sesuai kebutuhannya, dimana prinsip-prinsip kebebasan termasuk kebebasan pers itu, sendiri diatur dalam Undang-undang yang disebut UU Pers.

“Kekuasaan cenderung korup, sehingga memang perlu sosial kontrol, instrumennya saat ini ada pada Pers dan Kampus,” tambahnya.

Namun, menurut Edy, profesionalisme, integritas dan moralitas sebuah media harus tetap dijaga, supaya pers sebagai pilar ke-4, tetap bisa hidup dan kembali dipercaya publik.

“Kedepan tantangan kita akan semakin besar dengan adanya Sosial Media. Kita harus punya standar dalam menjaga marwah pers itu sendiri. Standar moralitas integritas etika itu harus yang utama,” tutupnya.

Di akhir dialog ini, ditarik dari pemaparan ketiga Narasumber, dapat ditarik kesimpulan bahwa memang antara UU ITE dan UU Pers saling bertentangan atau kontradiktif.

Namun tidak berarti, para insan pers melalaikan kewajiban, tugas dan fungsinya, terlebih untuk kepentingan bangsa dan bagaimana usahanya mengembalikan kepercayaan publik yang kini mulai pudar. (ishak)

Berikut poin-poin penting dalam diskusi HPN yang digelar Tekape Instutute di Palopo:

  1. Pers diminta lebih menjalankan lagi fungsi kontrol sosial, yang harus didukung munculnya sikap-sikap kritis dari para aktivis dan akademisi yang mumpuni.
  2. Wartawan diimbau membentengi diri dengan data dan fakta agar terhindari dari jeratan UU ITE.
  3. Pers diharap mampu menjaga integritas dan moralitas untuk meningkatkan kepercayaan publik yang akhir-akhir ini terus menurun.
  4. Benahi SDM wartawan.
  5. Media dan organisasi kewartawanan disarankan menyatukan suara untuk harmonisasi UU ITE dengan UU Pers.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini