Tekape.co

Jendela Informasi Kita

OPINI: Tambang di Last Paradise on Earth: Bukti Rakusnya Kapitalisme

Nurindasari S.T.

Oleh: Nurindasari S.T.

Raja Ampat kerap disebut sebagai surga terakhir di bumi. Lautnya yang biru jernih, gugusan karangnya yang memesona, dan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi telah menempatkannya sebagai pusat biodiversitas laut dunia.

Di sana terdapat lebih dari 1.500 spesies ikan, 600 jenis terumbu karang, dan berbagai biota laut langka yang tidak ditemukan di tempat lain. Dunia mengakui Raja Ampat adalah mahkota ekologi yang tak tergantikan.

Namun, di balik keindahan itu, ada ancaman yang mengintai. Raja Ampat kini kembali digerogoti tambang nikel yang mulai beroperasi per 3 September 2025.

Seperti yang dimuat di laman cnnindonesia.com pada Minggu, 14 September2025, pemerintah telah memberi restu beroperasinya PT. GAG Nikel setelah sebelumnya sempat di hentikan pada 5 Juli lalu.

Setelah melalui evaluasi dan dianggap memenuhi syarat oleh Kementerian ESDM bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. PT. GAG Nikel dinyatakan telah mendapat Proper Hijau, sebuah penilaian loyalitas pada kepatuhan lingkungan hidup oleh Kementerian LH.

Kapitalisme Sistem Rakus

Pengakuan internasional terhadap Raja Ampat sebagai The Last Paradise on Earth seharusnya menjadi dorongan kuat bagi pemerintah Indonesia untuk menjaga dan melestarikannya. Namun, Surga ini terancam rusak oleh rakusnya kapitalisme.

Pulau Gag, salah satu bagian Raja Ampat, telah menjadi lokasi eksploitasi nikel. Pemerintah dan korporasi membungkus proyek tambang dengan berbagai narasi: hilirisasi, transisi energi, hingga pembangunan daerah.

Semua itu dikatakan “mendesak” atau “urgent” seolah tanpa tambang, rakyat akan tetap miskin dan Indonesia tertinggal. Padahal, urgensi tersebut sejatinya konstruksi sistem kapitalis—bukan kebutuhan nyata rakyat.

Kapitalisme selalu bekerja dengan cara yang sama: menciptakan rasa butuh, lalu menawarkan “solusi” yang sesungguhnya hanya menguntungkan segelintir elit.

Dalam kasus Raja Ampat, kapitalisme menjadikan nikel sebagai komoditas global demi mendukung industri kendaraan listrik, baja tahan karat, dan baterai di pasar internasional. Maka, yang disebut “urgensi tambang” sebenarnya adalah urgensi kapital untuk terus berputar, bukan urgensi rakyat untuk hidup sejahtera.

Alih-alih sejahtera, masyarakat akan selalu menjadi korban kerakusan Kapitalis. Masyarakat adat justru kehilangan ruang hidup. Laut tempat mereka mencari ikan tercemar.

Hutan yang dulu mereka jaga turun-temurun dirusak untuk jalan dan bukaan lahan. Mereka dijadikan penonton di tanah sendiri, sementara keuntungan besar mengalir ke kantong korporasi.

Urgensi Tambang: Untung Sesaat Rugi Selamanya

Meski tambang modern ini diklaim ramah lingkungan, dengan adanya kolam pengendapan, sistem pengawasan berlapis, bahkan penghargaan PROPER Hijau dari pemerintah. Tetapi mari jujur: adakah tambang yang benar-benar tanpa jejak kerusakan?

Bukaan lahan bagi tambang adalah keniscayaan. Sedimentasi tetap akan mengalir ke laut dan di Raja Ampat sebagai ekosistem sensitif, sedikit saja lumpur masuk laut, bisa berarti kematian bagi terumbu karang.

Kerusakan kecil di sini sama dengan bencana besar bagi ekosistem dunia. Kapitalisme bisa menyulap laporan, bisa membungkus dengan istilah “hijau”, tapi alam tidak bisa dibohongi.

Sungguh Ironis, keuntungan dari tambang hanyalah sesaat. Cadangan nikel di Pulau Gag mungkin habis dalam 20–30 tahun. Setelah itu, yang tersisa hanya lahan gundul, ekosistem rusak, dan konflik sosial.

Sementara jika ditimbang secara ekonomi murni, pariwisata dan perikanan berkelanjutan lebih bernilai daripada tambang. Tetapi kapitalisme tidak pernah menghitung keberlanjutan. Yang dihitung hanyalah laba cepat yang masuk ke neraca perusahaan. Maka tak heran, surga terakhir di bumi pun rela digadaikan.

Kapitalisme sebagai sistem memang menempatkan alam semata sebagai komoditas. Hutan, laut, udara, semuanya diukur dengan nilai pasar, bukan nilai keberlanjutan.

Maka, jangan heran jika kapitalisme tega menukar surga terakhir dengan angka di laporan laba rugi. Narasi transisi energi hijau pun hanyalah wajah baru dari kerakusan lama. Nikel di Raja Ampat bukan untuk rakyat, melainkan untuk industri global yang haus sumber daya.

Islam Melarang Berbuat Kerusakan

Dalam Islam, menjaga alam bukan sekadar anjuran, melainkan bagian dari akidah dan amanah manusia sebagai khalifah di bumi. Allah SWT menciptakan alam semesta dengan keseimbangan (mīzān) dan melarang manusia berbuat kerusakan (fasād) di darat maupun laut (QS. Ar-Rum: 41). Alam adalah titipan, bukan milik mutlak manusia, sehingga pemanfaatannya harus bijak dan terbatas pada kebutuhan, bukan keserakahan.

Rasulullah SAW pun mencontohkan kepedulian terhadap lingkungan dengan melarang penebangan pohon sembarangan, memuliakan air, bahkan menekankan pahala menanam pohon yang buahnya dimakan manusia, hewan, atau burung.

Dengan demikian, menjaga alam dalam Islam adalah wujud ketaatan, rasa syukur, sekaligus tanggung jawab agar bumi tetap lestari bagi generasi berikutnya.

Pengelolaan Tambang dalam Sistem Islam

Dalam pandangan Islam, tambang adalah bagian dari mal (harta) yang termasuk kategori milik umum (milkiyyah ‘ammah), sedangkan negara hanya mengelola dan mendistribusikan hasilnya sesuai syariat. Artinya, tambang bukan untuk akumulasi laba segelintir korporasi, melainkan untuk menjamin kebutuhan rakyat secara luas.

Tambang bukanlah komoditi untuk meraup untung bagi segelintir orang. Keuntungan dari tambang dipakai negara untuk membiayai kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan sistem ini, Islam memastikan kekayaan alam tidak jatuh ke tangan kapitalis, tetapi benar-benar menjadi sumber kemakmuran bersama.

Dalam kerangka Islam, negara akan menetapkan zonasi wilayah menjadi tiga bagian utama: pemukiman, industri, dan konservasi. Zona konservasi dilindungi secara ketat dari campur tangan manusia, bahkan bila menyimpan potensi tambang, demi menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Dengan prinsip ini, Islam menjamin aktivitas tambang tetap produktif, hasilnya dapat dirasakan umat secara luas, dan dampak negatif terhadap lingkungan diminimalkan. Hal ini meniscayakan Alam tetap terjaga dan akan tetap aman untuk generasi mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini