Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Polisi Tetapkan Direktur PMDS Putra Tersangka Kasus Kekerasan Santri di Palopo

Tangkapan layar video yang memperlihatkan seorang pria menampar santri di dalam masjid Pondok Pesantren Putra Palopo, Sabtu (13/9/2025).

PALOPO, TEKAPE.co – Polisi menetapkan Prof S, Direktur Pesantren Modern Datok Sulaiman (PMDS) Putra, sebagai tersangka kasus dugaan kekerasan terhadap anak.

Penetapan ini dilakukan setelah video dirinya menampar seorang santri viral di media sosial.

Dalam video, terlihat seorang santri keluar dari masjid tanpa menyalami Prof S.

BACA JUGA: Tradisi Salim Berujung Tamparan, Pimpinan Ponpes di Palopo Dipolisikan

Prof S, lalu memanggil santri tersebut dan langsung menamparnya.

Aksi itu memicu kecaman luas.

Warganet ramai-ramai menilai kekerasan terhadap anak tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun.

Pihak PMDS merespons cepat dengan menerbitkan surat resmi yang ditandatangani Pimpinan PMDS Putra, Sudarwin Tuo.

Surat itu membenarkan bahwa korban berinisial ASS (16) ditampar oleh Prof S.

Pesantren juga menjelaskan kondisi kesehatan Prof S saat kejadian tidak stabil karena tengah menderita stroke ringan.

Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak pesantren menonaktifkan Prof S dari jabatannya sejak 15 September 2025.

Polres Palopo menyatakan telah menerima dua laporan terkait dugaan kekerasan tersebut.

Setelah memeriksa pelapor, korban, dan dua saksi, penyidik menetapkan Prof S sebagai tersangka.

“Kasus kekerasan terhadap anak di pesantren sudah naik ke tahap penyidikan. Prof S sudah ditetapkan tersangka,” kata Kasi Humas Polres Palopo, Kompol Supriadi, Minggu, 28 September 2025.

Hal senada diungkapkan Kasat Reskrim Polres Palopo, Iptu Sahrir. Menurut dia, berkas perkara masih dalam tahap penyusunan.

Belum Ditahan karena Alasan Kesehatan

Meski status hukum sudah ditingkatkan, polisi belum melakukan penahanan terhadap Prof S.

Penyidik menyebut kondisi kesehatan yang bersangkutan menjadi pertimbangan.

“Untuk saat ini, belum diamankan karena alasan kesehatan,” ujar Sahrir.

Kasus ini menambah sorotan publik terhadap praktik kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren, yang seharusnya menjadi ruang pembinaan moral dan karakter generasi muda.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini