OPINI: PSU Kota Palopo Ujian, Laknat atau Berkah?
Oleh: Shalihah Bilqis (Aktivis Perempuan)
Tidak sedikit pemilih dan bahkan orang yang mengaku diri sebagai tim sukses, menunjukkan luapan kegembiraan atas di ulangnya Pemilukada Kota Palopo.
Tentu bukan tanpa alasan, sebagian menganggap PSU adalah berkah bagi mereka yang terbiasa menjadikan politik sebagai bagian dari transaksi ekonomi, suaranya kembali akan dihargai dalam bentuk nominal uang, dengan angka variatif mulai dari 100 ribu sampai 500 ribu.
Pemilukada dianggap seperti pasar tempat perjumpaan antara pembeli dan penjual, kandidat calon walikota sebagai pembeli dan pemilih sebagai pemilik suara, harganya bisa variatif tergantung kepiawaian para tim sukses melakukan negoisasi harga suara.
Maka jangan heran dan jangan melihatnya aneh jika sebagian besar para pendukung dan tim sukses selalu mengembor gemborkan kesuksesan dan kekayaan masing-masing kandidatnya. Kira-kira mereka mau mengatakan “hei…kami sanggup membayar berapapun permintaan harga suaramu !”.
Pemilih pragmatis yang melihat jarak yang sangat jauh antara dirinya dengan kandidat, tentu akan memilih menjual suaranya, pikirnya toch siapapun yang akan menjabat sebagai walikota nantinya, tidak akan berpengaruh banyak terhadap nasibnya sebagai pemilih, karena siapapun yang menjabat nasibnya tetap seperti sediakala, ada walikota atau tidak ada walikota dirinya tetap menjalani hari-harinya seperti biasanya.
Begitu juga halnya bagi mereka yang berdampak langsung terhadap posisi jabatan walikota, baik itu karena faktor jabatan pemerintahan atau dampak ekonomi sebagai kontraktor atau pengusaha, tentu mereka memilih sebab motif jabatan dan kepentingan bisnis.
Biasanya, bagi yang berdampak langsung atas posisi walikota, mereka memberikan sokongan dana buat kandidat walikota dan menjadi tim sukses pemenangan, jenis pemilih seperti ini juga dikategorikan sebagai pemilih pragmatis.
Namun yang berbeda dengan kategori pragmatis pertama, PSU dianggap sebagai keuntungan dan berkah, sedangkan pemilih pragmatis kedua mengganggap PSU adalah ujian dengan bertambahnya beban kerja sebagai tim pemenangan dan penyokong pendanaan.
Pemilukada kota Palopo sudah menghabiskan puluhan milyar uang pajak rakyat, ditambah dengan biaya yang dikeluarkan secara pribadi oleh para calon walikota dan wakil walikota, jika dikalkulasi nilainya bisa sampai ratusan milyar rupiah.
Artinya uang ratusan milyar sudah hangus terbakar sejak palu diketuk Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Februari 2025 dengan putusan Pemilukada kota Palopo harus dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Kira-kira berapa ratus milyar lagi akan habis di PSU ?.
Jika melihat fakta ini, apakah demokrasi kota Palopo sudah masuk tahap dilaknat ?, 10 tahun lalu Palopo memiliki sejarah pilkada yang terbakar, saat ini Pemilukada diharuskan diulang dengan biaya yang sangat besar, bahkan konon Pemerintah Daerah kota Palopo tidak cukup anggaran untuk membiayai PSU, mereka berharap bisa dibantu oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan.
Apakah para calon kandidat walikota dan wakil walikota adalah manusia istimewa dan manusia pilihan sehingga harus mengorbankan sekian puluh milyar uang rakyat ?. Apakah rakyat pemilih sudah menuhankan uang sehingga fenomena politik ini harus terjadi ?.
Bagi pemilih rasional, tolak ukur calon pemimpin diukur dari seberapa visonernya seorang pemimpin, kira-kira masa depan kota Palopo seperti apa dikepalanya sebagai calon pemimpin.
Apa programnya ?,bagaimana cara mengatasi kemiskinan dan pengangguran, apakah para calon walikota dan wakil walikota terbiasa membaca indeks kemiskinan dan pengangguran yang dikeluarkan oleh BPS tiap tahun ?, baimana cara mengatasi konflik sosial berkepanjangan di wilayah barat dan Utara Kota Palopo ?, bagaimana cara meningkatkan indeks jumlah pengusaha lokal ?, Bagaimana cara mengatasi KKN jabatan dan proyek APBD ?, Apakah setiap calon kepala daerah tidak akan cawe-cawe APBD, fee kontraktor dan jual beli proyek? Apa rencana calon walikota terhadap gerakan mahasiswa, pers dan ormas pemuda dan ormas keagamaan ?.
Hampir sebuah pertanyaan ini tidak pernah disuguhkan ke ruang publik, bahkan tidak ada calon walikota yang berani berdebat sesama calon walikota di ruang publik, baik seminar, sarasehan, dan bahkan debat publik di media sosial, atau minimal debat program antar para pendukung.
Hampir sebagian besar pemilih di kota Palopo tidak mengetahui isi kepala para kandidat calon walikota dan wakil walikota, justru yang banyak tersuguhkan adalah kampanye negatif, kampanye hitam, fitnah dan flexing kekayaan antar para pendukung.
Bahkan sialnya, para pendukung intelektual dan preman pendukung sulit dibedakan, sama-sama dengan pola yang sama, sama-sama saling menjelekkan kandidat di media sosial, bukan menegasi dan menguji program masing-masing kandidat. Ataukah memang program masing-masing kandidat sebenarnya sama dan tidak jauh beda, sama-sama hanya berharap cawe-cawe APBD ?
Realitas politik Kota Palopo, yang terlihat amburadul dan tanpa masa depan yang cerah, sedang diuji oleh semesta. Pemilihan suara ulang (PSU) menjadi wadah ujiannya. Rakyat pemilih memiliki kesempatan untuk terlibat menata dan memperbaiki, mewujudkan pemerintahan yang beradab, peka terhadap realitas yang terjadi di tengah masyarakat kota Palopo.
Diperlukan kelompok gerakan sipil demokratik seperti gerakan mahasiswa, kelompok kaum muda, kelompok intelektual kampus, kelompok marginal kaum miskin kota, organisasi buruh dan nelayan, bahu membahu menciptakan ruang dialektika intelektual di seluruh ruang public sphere, termasuk ruang media sosial, ramai-ramai menguji, mendebat dan mempertanyakan isi kepala setiap calon kepala daerah.
Karena hanya dengan langkah tersebut, massa pemilih bisa di didik dan meningkat menjadi pemilih rasional, sekaligus langkah ini menjadi metode mendidik calon penguasa membenahi perilaku politik pragmatisnya.
Tinggalkan Balasan