OPINI: Politik Uang Vs Politik Takwa
Oleh: Dian Mutmainnah
(Member Wonderful Hijrah Palopo dan Aktivis Dakwah Kampus)
PENELITIAN yang dilakukan peneliti psikologi politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mendapatkan, keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal: diketahui, dikenal, dan disukai.
Cara tercepat agar seorang calon mendapatkan ketiga syarat itu adalah dengan tatap muka dalam bentuk apa pun, disengaja ataupun tidak disengaja, dan memberikan bantuan.
Dengan dua cara ini, konsep diketahui, dikenal, dan disukai, akan semakin melekat pada calon. Tapi ada cara instan untuk mendapatkan suara tanpa harus bersusah payah mengejar tiga syarat di atas.
Dalam kesempatan wawancara dengan program AIMAN, Profesor Hamdi Muluk mengungkapkan, hanya dengan politik uang seorang caleg bisa menembus kontestasi dan menjadi pemenang.
Ini masuk akal karena di antara sekian banyak jumlah caleg yang dipampang tentu hanya sedikit yang diingat. Paling banter diingat kalau tidak saudara ya tetangga.
Namun, banyak orang yang tidak mengenal siapa caleg di wilayahnya. Persoalan ini dipecahkan dengan memberikan “sesuatu” kepada para pemilih. Hanya 5 km dari pusat Ibu Kota. (Kompas.com)
Peneliti DPP Fisipol UGM, Wawan Mas’udi mengatakan, kesimpulan itu didapatkan dari analisis terhadap 7.647 percakapan terkait varian politik uang di sosial media. Analisis dilakukan 2-12 April 2019.
“Secara geografis, Jawa Barat menjadi daerah dengan densitas percakapan tertinggi terkait politik uang dengan 433 percakapan yang terjadi di Bandung, Bogor dan Bekasi,” kata Wawan, Senin (15/4).
Setelah itu, ada DKI Jakarta dengan 358 percakapan, dan Jawa Timur sebanyak 222 percakapan. Tiga daerah itu merupakan daerah dengan jumlah percakapan mengenai politik uang tertinggi.
Sebab, percakapan di daerah-daerah lain masih berada di bawah 100 percakapan. Tapi, walau percakapan politik uang disebut menumpuk di Jawa, perbincangannya melebar ke timur Indonesia.
“Hal ini menunjukkan kalau masyarakat kita cukup perhatian dengan persoalan politik uang,” ujar Wawan.
Dari 7.647 percakapan, cuma 1.817 yang lokasinya terdeteksi dengan amplop menjadi kata kunci sentral di antara kata-kata lain. Percakapan politik uang capai puncak 11 April 2019 dengan 2.291 percakapan.
Hal itu disebabkan percakapan yang mengarah kepada tuduhan salah satu pasangan calon pilpres dan laporan-laporan sporadis. Utamanya, yang menyampaikan adanya praktik jual-beli suara kandidat legislatif. (republika.co.id)
Sudah menjadi rahasia umum pada saat pelaksanaan pemilu diwarnai dengan kecurangan dan politik uang, fakta memperlihatkan tidak sedikit yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
Politik uang, money politics, vote buying, serangan fajar, apapun istilahnya umumnya dilakukan para simpatisan parpol, kader dan bahkan pengusung parpol itu sendiri menjelang pemlihan umum dilangsungkan, untuk memperoleh suara terbanyak, sehingga tercapainya tujuan menduduki suatu jabatan atau kekuasaan tertentu yang diinginkan.
Dalam politik demokrasi, permainan persaingan politik uang memang merupakan keniscayaan, bukan hal yang mengherankan sistem politik demokrasi ini memang tidak mengenal halal dan haram.
Politik bahkan hanya didefenisikan sebagai cara meraih kekuasaan dan kekusaan adalah puncak kebanggaan sekaligus saranah meraih materi keduniawian.
Sejatinya sistem demokrasi memiliki semboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat dengan berpangkal pada sekularisme. Sejak awal sekularisme menolak campur tangan agama mengurusi kehidupan.
Sekularisme inilah biang masalah munculnya berbagai kecurangan, politik uang dan penghalalan berbagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sangat berbeda dengan Islam dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap”. [HR. Ahmad]
Politik dalam Islam dibangun berdasarkan sikap takwa berdiri di atas keimanan. Kekuasaan atau jabatan adalah amanah kepemimpinan dalam konteks negara, digunakan untuk mengurusi urusan umat berlandaskan syariat Allah SWT.
Maka sikap takwa penguasa dan menerapkan peraturan berdasarkan hukum Allah SWT. Sangat menentukan. Sebagimana firman Allah SWT.
“Apakah hukum jahiliah yang kamu kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin. (TQS al-Maidah [5]:50)
Ditegaskan dengan sabda Rasulullah Saw. “Imam (pemimpin) itu pengurus yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia urus” [HR. al-Bukhari dan Ahmad]
Untuk mempertanggung jawabkan setiap tindakan akan senantiasa merasa diawasi dan takut kepada Allah.
Hal ini muncul dari keimanan dan ketakwan yang kuat. Tentunya dengan kembali berhukum kepada Allah SWT dalam naungan Khilafah Islamiyyah.
Maka politik uang akan dapat ditiadakan dan kecurangan untuk meraih kekuasaan dapat dihilangkan. Sebab kekuasaan bukanlah tujuan melainkan sarana untuk menerapkan aturan Ilahi dalam kehidupan, bukankah itu yang terbaik? Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
* Opini ini diterbitkan atas kerjasama Komunitas Wonderful Hijrah Palopo dengan Tekape.co. Isi dan ilustrasi di luar tanggungjawab redaksi.
Tinggalkan Balasan