OPINI: Perang Dagang AS – Cina, Dunia Mengalami Kekosongan Adidaya, Saatnya Islam kembali Memimpin Dunia
Oleh: Dewi Balkis Uswatun Hasanah, S.Pd
Rabu, 2 April 2025 Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan bea ad valorem atau bea masuk tambahan pada barang impor dari semua mitra dagang Amerika Serikat. Kebijakan ini membuat dunia terbelalak. Bagaimana tidak, kebijakan yang disampaikan Trump dalam pidatonya ini berisi tentang tarif impor baru yang berlaku secara global bagi negara-negara yang menjalin hubungan dagang dengan Amerika.
Tarif Trump ini merupakan persentase pajak yang dikenakan terhadap nilai suatu barang yang diimpor dari negara lain. Trump memberlakukan tarif timbal balik atau “tarif pembalasan” (resiprokal) dimana besaran tarif ditentukan sesuai pungutan moneter setiap negara terhadap produk impor dari AS, serta hambatan perdagangan non-moneter, seperti regulasi yang menyulitkan produk AS masuk pasar.
Laman resmi Gedung Putih menuliskan, tarif resiprokal atau tarif timbal balik Trump dilakukan untuk menyeimbangkan kembali arus perdagangan global. Menurut Trump, kebijakan ini merupakan representasi dari kemerdekaan ekonomi AS yang bertujuan untuk membebaskan AS dari ketergantungan impor dan memproteksi produk lokal AS dari serbuan produk impor.
Kronologi
Sebanyak puluhan negara yang terlist dalam catatan tarif resiprokal Trump. Trump mengancam kepada negara yang melakukan balasan tarif kepada AS dengan ganjaran yang lebih besar. Puncaknya tanggal 2 April 2025 Trump mengumumkan tarif “timbal balik” yang dijanjikannya. Trump mendeklarasikan pajak dasar sebesar 10 persen atas impor dari semua negara, serta tarif yang lebih tinggi untuk puluhan negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS.
Di antara pungutan yang lebih tinggi tersebut, Trump mengatakan AS sekarang akan mengenakan pajak sebesar 34 persen atas impor dari China, pajak sebesar 20 persen atas impor dari Uni Eropa, 25 persen atas Korea Selatan, 24 persen atas Jepang, dan 32 persen atas Taiwan. Tarif baru tersebut merupakan tambahan atas pungutan yang telah diberlakukan sebelumnya, termasuk pajak sebesar 20 persen yang diumumkan Trump atas semua impor dari China awal tahun ini. Indonesia sendiri di kenakan tarif 32% setelah mengenakan tarif 32% pada produk etanol yang di impor dari Amerika.
Sebelumnya, Trump yang menang pada pemilu pada 5 November 2024 dan dilantik pada 20 Januari 2025, memang telah mengkampanyekan kebijakan tarif pajak dan berkali-kali menegaskan kebijakan tarifnya setelah dilantik. Hingga pada 1 februari 2025, Trump mengumumkan tarif 25% terhadap Kanada/Meksiko dan tarif 10% terhadap Tiongkok yang diberlakukam sejak 4 Februari.
China membalas pada hari yang sama dengan mengumumkan serangkaian tindakan balasan, termasuk mengenakan bea baru yang besar-besaran atas berbagai barang Amerika dan penyelidikan antimonopoli terhadap Google. Tarif Tiongkok sebesar 15 persen pada batu bara dan produk gas alam cair, serta pungutan sebesar 10 persen pada minyak mentah, mesin pertanian, dan mobil bermesin besar yang diimpor dari AS, mulai berlaku pada 10 Februari. Kemudian menaikkan lagi tarif bea terhadap barang-barang AS sebesar 85%
Bukan hanya Cina yang bereaksi terhadap Tarif Trump ini. Tanggal 12 Maret 2025, Kanada juga mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif resiprokal pembalasan senilai $29,8 miliar Kanada ($20,7 miliar) pada impor AS, yang diberlakukan keesokan harinya. Namun rencana tersebut harus kandas setelah Trump mengancam akan mengenakan tarif sebesar 200 persen pada anggur, sampanye, dan minuman beralkohol Eropa jika Kanada merealisasikan ancamannya tersebut.
Sementara itu, menindaklanjuti balasan tarif dari Cina kepada AS, Trump kemudian mengumumkan tarif balasan kepada Cina sebesar 104%, lalu naik menjadi 125% kemudian berubah lagi menjadi 145% ketika tarif baru ditambahkan ke tarif yang sudah ada, pungutan pada beberapa barang China bisa mencapai 245%.
Cina tidak tinggal diam, Presiden Xi Jinping kemudian melakukan serangan balasan dengan menaikkan tarif bea kepada AS sebesar 125% dan mengumumkan pembatasan ekspor tujuh elemen tanah jarang (rare earth elements) serta produk magnet penting yang digunakan di sektor pertahanan, otomotif, dan energi.
Trump mengharapkan agar Cina mengambil tindakan seperti negara-negara lain yang mendatangi Trump untuk bernegosiasi. Namun sampai saat ini, Cina tidak memperlihatkan keinginan untuk berunding.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, dalam konferensi pers pada Rabu (16/4/2025), meminta media agar mengonfirmasi langsung rincian tarif kepada pemerintah AS. Ia menegaskan bahwa perang dagang ini dimulai oleh Washington, dan bahwa tindakan balasan dari Beijing bertujuan melindungi kepentingan nasional. “China tidak ingin berperang, tetapi juga tidak takut untuk berperang,” ujar Jubir Kemenlu Cina.
Dampaknya Bagi Lokal dan Global
Sebagai negara berpenduduk paling banyak ke tiga didunia, Amerika menjadi pasar besar yang menjadi tujuan ekspor negara-negara di dunia. Termasuk juga Indonesia.
Berdasarkan data UN Comtrade Database, komoditas ekspor unggulan Indonesia ke Amerika meliputi produk-produk seperti mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak hewan atau nabati, alas kaki, dan produk hewan air. Pada 2022, total nilai ekspor Indonesia ke Amerika sebesar US$ 28,2 miliar kemudian di tahun berikutnya nilainya menurun menjadi US$ 23,3 miliar.
Dengan asumsi bahwa tarif yang dikenakan sebesar 20 persen, maka mesin dan peralatan listrik asal Indonesia yang masuk pasar Amerika diperkirakan akan mendapat pajak sebesar US$ 635 juta. Komoditas tersebut merupakan produk Indonesia dengan nilai ekspor tertinggi pada 2022 dan 2023.
Kebijakan biaya masuk itu diperkirakan akan berpengaruh terhadap ekspor Indonesia ke Amerika. Padahal komoditas unggulan yang diekspor Indonesia ke AS sebagian besar merupakan produk industri pengolahan, yang memiliki jumlah pekerja relatif besar. Terdapat 13,28 persen pekerja Indonesia yang bekerja pada sektor tersebut pada 2023.
Jika tarif resiprokal ini diterapkan, maka sudah barang pasti, industri-industri ini akan terancam kebangkrutan karena harga komoditinya akan lebih mahal di pasar Amerika dibandingkan negara lain yang tarif beanya lebih rendah dari Indonesia. Ini berarti ancaman PHK massal tidak dapat terelakkan.
Selain itu, harga bahan baku bagi komoditi ekspor Indonesia ke Amerika juga akan terancam anjlok. Imbasnya, tentu saja akan merugikan pengusaha sektor bawah yang notabene adalah rakyat kecil.
Di Jambi, misalnya, ada lebih dari 2 juta petani dan pekerja kebun sawit dan karet, dengan total luas lahan yang mencapai hampir 2 juta hektar. Harga tandan buah segar sawit dan harga getah karet terancam jatuh karena pengusaha berpotensi menekan harga panen untuk mengompensasi beban tarif.
Pengusaha kemungkinan besar akan melimpahkan beban tarif kepada petani. Ini bisa terjadi melalui pengurangan harga beli dari kebun, yang akan langsung memangkas pendapatan rumah tangga petani. Penurunan harga panen akan sangat memukul mengingat petani menggantungkan penghasilan harian dari hasil panen tersebut. Situasi ini bisa menyeret jutaan keluarga ke dalam kesulitan ekonomi yang nyata.
Sementara itu, kebijakan tarif resiprokal Trump pada hakikatnya mengkhianati ideologi kapitalisme yang diusung Eropa dalam hal kebebasan ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalisme memandatkan bahwa negara tidak boleh menetapkan tarif pada seluruh komoditas perdagangan. Harga barang-barang ditentukan oleh kondisi permintaan dan penawaran.
Selain itu, bayang-bayang inflasi juga akan mengancam ekonomi AS jika perang dagang ini tidak menemui jalan tengah. Akibatnya suku bunga akan tetap tinggi. Tentu, ini juga akan mempengaruhi kondisi ekonomi di seluruh dunia. Pasalnya, mata uang dunia saat ini masih dikendalikan oleh mata uang dollar Amerika.
Paralel dengan hal tersebut, Cina yang digadang-gadang sebagai duel AS dalam pertarungan tarif ini, tentu akan mencari pasar baru selain AS sebagai tujuan ekspornya. Dan Indonesia akan menjadi pasar ekspor baru bagi Cina mengingat hubungan diplomatik Cina-Indonesia yang terbilang erat. Ini berarti, secara otomatis akan sangat mengancam eksistensi pengusaha lokal yang komoditasnya serupa dengan barang-barang pasokan dari Cina.
Kapitalisme Gagal Vs Stabilitas Ekonomi Cina yang Meragukan
Dikutip dari laman Kumparanbisnis (25/4), Indeks utama saham Amerika Serikat (AS), Wall Street, melemah pada penutupan perdagangan Kamis (25/4). Hal ini disebabkan oleh kondisi pasar dikejutkan oleh data yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih lambat dari perkiraan dan inflasi yang terus-menerus. Diperparah lagi dengan Data menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap Trump anjlok, bahkan menjadi yang terendah dalam 100 hari pertama masa kepresidenan dibanding presiden sebelumnya.
Sementara itu, spekulasi yang mengatakan Cina sebagai negara yang digadang-gadang akan menggeser Amerika sebagai raja ekonomi dunia juga masih sangat meragukan. Dari laman CNBCIndonesia yang bertajuk Dunia Pesimistis Ekonomi China Mampu Geser AS (15/10/2023) menuliskan, dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2023 menjadi 5% dari 5,2%.
Dengan krisis properti yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menghambat aktivitas ekonomi dan membebani kepercayaan rumah tangga, IMF juga memangkas perkiraan tahun 2024 menjadi 4,2% dari 4,5%. Pemangkasan tersebut membuat banyak pihak pesimis jika Sang Naga bakal mampu menggeser Amerika Serikat (AS) sebagai raksasa paling kuat di bidang ekonomi.
Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa sektor real estate utama di negara ini umumnya menyumbang sekitar seperempat dari PDB (Produk Domestik Bruto). Namun industri ini telah berpindah dari satu krisis ke krisis lainnya dalam beberapa tahun terakhir, dengan perusahaan-perusahaan besar yang lumpuh karena tumpukan utang.
Kondisi miris dua negara raksasa tersebut menjadikan dunia saat ini mengalami kekosongan adidaya. Kecarut-marutan kondisi ekonomi global akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis ditambah tidak stabilnya kondisi perpolitikan dunia akibat penerapan sistem demokrasi harusnya mampu mengarahkan pemikiran masyarakat dunia untuk mengganti sistem politik dan ekonomi global saat ini menggunakan sistem ekonomi dan politik Islam yang pernah terbukti keberhasilan selama berabad-abad.
Saatnya Islam Kembali Memimpin Dunia
Islam memiliki seperangkat sistem untuk seluruh sektor kehidupan manusia. Sistem Islam akan menurunkan regulasi yang senantiasa selaras dan saling mendukung antara satu sektor dengan sektor yang lain. Misalnya saja, dalam sistem politiknya, pemilihan dan pengangkatan kepala negara dalam hal ini Khalifah tidak akan melalui proses yang berliku dan berbelit-belit serta tidak membutuhkan dana yang sangat banyak seperti halnya pemilihan dalam sistem demokrasi.
Hal ini akan menghindarkan Khalifah terpilih dari kebergantungan terhadap penyokong modal yang akan mempengaruhi kebijakan maupun konstelasi perpolitikan negara. Karena sejatinya pengambilan hukum dalam Islam hanya berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas saja bukan dari hawa nafsu dan kepentingan manusia.
Tidak di pungkiri, kondisi politik di suatu negara akan sangat mempengaruhi nuansa ekonomi di negara tersebut. Apatahlagi jika negara tersebut merupakan negara adidaya yang memiliki pengaruh atas negara-negara yang lebih lemah. Bagai timur dan barat, politik ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan nuansa politik ekonomi dalam sistem kapitalis ala Barat maupun sistem kapitalis ala China yang hanya memuaskan kepentingan oligarki (pengusaha dan penguasa) semata meski harus mengorbankan masyarakat biasa bahkan mengkhianati ideologi sendiri.
Oleh karena itu, wajar saja jika pergulatan kedua negara raksasa dunia ini tidak akan mempertimbangkan kondisi negara-negara lain maupun masyarakat kelas menengah kebawah yang ikut terdampak oleh pertarungan dagang ini. Segala kebijakan yang diambil oleh kedua negara penyokong sistem ekonomi kapitalis ini hanya semata mengamankan kepentingan pengusaha-pengusaha besar di negaranya masing-masing.
Dalam Sistem politik ekonomi Islam, segala aturan yang ditetapkan oleh Khalifah, seluruhnya hanya berdasarkan syariat yang telah diturunkan Al-Khalik Allah Subhana wa ta’ala sebagai satu-satunya Dzat yang berhak menetapkan hukum. Mustahil aturan tersebut membawa kerugian ataupun mendzolimi rakyat. Dalam hal eksport import misalnya, Allah menetapkan Negara Khilafah hanya boleh melakukan import hanya jika penyedia komoditas import dalam negeri tidak memenuhi permintaan pasar dalam Negara Khilafah. Begitupun dengan aktifitas eksport, hanya akan dilakukan jika komoditas eksport telah memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negri.
Selain itu, untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan melindungi ummat dari pengaruh asing yang merusak, maka hubungan dagang dengan negara lain terjalin berdasarkan status negara tersebut. Jika negara tersebut berstatus Harbi fi’lan (negara yang terang-terangan memerangi Negara Khilafah) maka tidak boleh dilakukan hubungan dagang dengannya.
Jika negara tersebut berstatus sebagai negara harbi hukman (negara yang berstatus sebagai musuh tapi tidak melakukan perlawanan yang dapat mengancam kedaulatan negara Khilafah) dan negara mu’ahid (negara yang terikat perjanjian damai dengan Negara Khilafah) maka boleh melakukan hubungan dagang atau perjanjian kerjasama kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa Negara Khilafah tidak melakukan hubungan dagang secara bebas dan tanpa batas dengan negara lain melainkan tetap terikat dengan hukum syariat.
Disamping itu, dalam sistem ekonomi Islam, Negara tidak diperbolehkan untuk menentukan harga barang secara paksa. Harga barang-barang akan ditentukan oleh mekanisme pasar alami selama tidak ada manipulasi dan praktek yang merusak. Namun, jika negara lain menetapkan cukai terhadap barang import dari Negara Khilafah, maka Negara Khilafah dapat memberikan tarif cukai balasan terhadap negara tersebut dengan tarif yang setimpal. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kedaulatan dan martabat ummat dalam percaturan ekonomi global.
Negara Khilafah juga akan memberikan ruang kepada individu yang melakukan aktifitas perdagangan asal sesuai dengan ketentuan syari’at. Bahkan, dalam sistem Islam Negara diwajibkan untuk mendorong dan memfasilitasi setiap laki-laki untuk bekerja.
Seluruh mekanisme di atas menunjukkan bahwa Sistem ekonomi Islam menjunjung tinggi prinsip stabilitas dan keadilan ekonomi bagi seluruh pihak. Oleh karena itu, terbukti hanya sistem Islam sajalah yang mampu menyelamatkan dunia dari ketidak pastian ekonomi dunia saat ini. Selayaknya seluruh ummat muslim memperjuangkan niscayanya konstitusi pelaksana sistem Islam ini, yakni Daulah Khilaf agar janji Allah akan bangkitnya kembali segera terwujud.(*)
Tinggalkan Balasan