OPINI: Pemkot Palopo Belum Siap Dalam Pencegahan Covid-19
Oleh: Muhammad Aswan Musa
(Mantan PERSBEM UM Palopo)
VIRUS corona (covid-19) telah mengukir namanya dalam catatan hitam sejarah perjalanan manusia di muka bumi, virus ini mampu menembus ruang dan waktu demikian cepat sehingga menimbulkan kepanikan global.
Kini seluruh negara telah berupaya untuk fokus mengkongkritisasi masalah ini dengan menghadirkan instrumen pencegahan covid-19 sesuai kapasitas yang dimiliki.
Menyikapi persoalan ini Pemerintah Indonesia telah mencetuskan berbagai kebijakan dan langkah taktis untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Seluruh himbauan dan kebijakan Pemerintah pusat hingga daerah menjadi catatan sendiri untuk ditelaah secara bersama, sehingga menghasilkan hipotesa terkait kesiapsiagaan dalam “penanggulangan covid-19”.
Pertanyaannya, Apakah pemerintah kita, terkhusus pemerintah Kota Palopo telah siap mengantisipasi penularan covid-19? Menjawab pertanyaan ini saya akan mendeskripsikan pengalaman empiris saya.
Riwayat perjalanan saya sebulan terakhir
Pada tanggal 12 maret 2020, saya melakukan perjalanan dari Kabupaten Kediri menuju ke Jakarta menggunakan jasa kereta api, dan menuju ke kota Depok.
Di kota Depok, saya tinggal selama empat hari. Tanggal 16 Maret, saya kembali melakukan perjalanan ke Yogyakarta dan berdomisili disana selama 3 hari, yang selanjutnya kembali ke Kediri, tepatnya di Kampung Inggris, Desa Tulung Rejo, Kecamatan Pare.
Kampung Inggris yang kita pahami sebagai tempat persinggahan sementara puluhan ribu pelajar telah sunyi, karena seluruh proses pembelajaran kursusan dihentikan, sesuai dengan kebijakan dan arahan pemerintah desa setempat.
Setelah tiba di kampung Inggris, saya diwajibkan untuk melakukan ‘isolasi mandiri selama 14 hari’ oleh pemerintah desa.
Pada saat menjalani isolasi mandiri, kondisi saya terus di pantau secara intens oleh aparat desa melalui kunjungan langsung maupun via phone selama masa isolasi, saya diberikan pengetahuan-pengetahuan dasar terkait pencegahan penularan covid-19 dan informasi berbagai jenis makanan yang bisa di konsumsi untuk menjaga imunitas tubuh.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah yang ada disana sungguh luar biasa bagi saya, karena mampu memberi edukasi kepada masyarakat dengan mengedepankan etika, sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman.
Walaupun tempat karantina belum disiapkan, tapi struktur pemerintah yang ada disana sangat solid dan memiliki metodologi untuk hadir di tengah-tengah masyarakat dalam perang melawan covid-19.
Empat hari kemudian, terdengar kabar bahwa ada korban covid-19 yang telah meninggal dunia di kampung Inggris, dan korban tersebut diketahui positif, setelah dua hari dimakamkan.
Dengan cepat pemerintah setempat mengeluarkan maklumat kepada seluruh warga yang ada di Desa Tulung Rejo, untuk tidak meninggalkan desa tersebut, tanpa melalui petunjuk tekhnis yang telah disiapkan oleh pemerintah setempat.
Seluruh orang yang disinyalir melakukan kontak langsung dengan korban covid-19 yang telah meninggal dunia tersebut, ditetapkan sebagai Orang Dalam Pantauan (ODP), dan status desa Tulung Rejo otomatis berubah menjadi zona merah.
Setelah melalui proses isolasi mandiri kurang lebih 20 hari saya memutuskan untuk melakukan mudik kekampung halaman.
Tanggal 12 April 2020 saya melakukan perjalanan menuju Kota Palopo, menggunakan travel ke bandara Juanda dan pesawat terbang sampai di kota Palopo.
Proses yang saya lalui di bandara terkait pencegahan covid-19 hanya dilakukan tes suhu tubuh, dan mencatat sendiri akan keluhan yang saya alami.
Setibanya di bandara Lagaligo (Kecamatan Bua, Luwu) puluhan penumpang pesawat langsung tersebar menuju ke tujuan masing-masing, tanpa melalui proses apapun terkait covid-19.
Saya dan beberapa penumpang lain menuju ke kota Palopo, saya melawati pos pintu masuk kota Palopo yang ada di Islamic centre.
Di tempat tersebut saya bisa saja lolos tanpa melalui prosedur, karena tidak disuruh singgah, namun karena kesadaran diri, saya berhenti dan mengikuti petunjuk petugas yang ada disana yaitu dicek suhu badan dan disarankan menggunakan masker. Hanya itu, dan langsung pergi.
Terkait posisi tempat pemeriksaan yang ada di Islamic centre kurang tepat, karena ada alternatif pilihan melalui jalur lain, sehingga bisa saja orang-orang yang tidak ingin melewati pos pemeriksaan melalui jalur alternatif tersebut.
Mengingat diri ini baru saja melakukan perjalanan dari daerah zona merah covid-19 dan belum ada jaminan apakah saya terpapar atau tidak.
Saya melakukan komunikasi kepada petugas medis terkait kondisi saya dan diarahkan untuk menuju Puskesmas Wara Utara, Selasa, 14 April 2020.
Di Puskesmas Wara utara, saya di-screaning oleh petugas medis, dan diberi status orang tanpa gejala (OTG). Lalu disarankan untuk isolasi mandiri.
Saya tanyakan kepada petugas tersebut “apa yang harus saya lakukan selanjutnya, karena saya memiliki rencana untuk menuju ke Kabupaten Luwu Timur?”
Menurut petugas tersebut, dengan pertimbangan riwayat perjalanan saya yang sangat beresiko, maka disarankan untuk “tidak meninggalkan kota Palopo sementara waktu, dan menunggu keputusan jajaran diatasnya, apakah dilakukan rapid test atau saya diberikan surat jalan menuju Kabupaten Luwu Timur. Dijanji, besoknya akan dikonfirmasi.
Tanggal 15 April 2020 hingga pukul 22.00 Wita, saya tidak mendapat konfirmasi dari petugas medis yang ada di Puskesmas Wara utara, berinisiatiflah saya untuk menghubungi Juru bicara penanggulangan Covid-19 kota Palopo, Dr Ishak Iskandar M.Kes. Beliau menghimbau untuk memberikan data saya kepada dia melalui pesan Whatsapp.
Tanggal 16 April 2020, saya mendapat kabar bahwa telah tersebar kabar terkait keberadaan dan kondisi saya di beberapa grup whatsapp, dimana kabar tersebut adalah pesan yang saya tulis sendiri dan kirimkan kepada Jubir penanggulangan covid-19 kota Palopo.
Pesan saya ditanggapi dengan berbagai bentuk ekspresi oleh netizen, yang pada akhirnya memaksa pemerintah setempat untuk mengunjungi saya dan menyarankan saya untuk berdiam diri di dalam kamar. Instruksi untuk berdiam diri juga dibahasakan oleh petugas keamanan dengan sedikit memaksa tanpa mengedepankan etika.
Kabar keberadaan saya terus tersebar dan membuat panik beberapa masyarakat, bahkan ada masyarakat yang mau mengusir saya dari tempat tinggal saya (Asrama IPMAL).
Pemerintah setempat kembali mendatangi saya dan menyampaikan saya akan dijemput oleh petugas covid-19, menggunakan ambulance untuk dibawa ke dinas kesehatan menjalani proses rapid test.
Ambulace yang menjemput saya dengan kelengkapan APD dari petugasnya tertangkap oleh kamera netizen dan tersebar luas di jagat maya, yang mengakibatkan kepanikan. Padahal bisa saja saya ditelfon dan disuruh datang sendiri ke tempat pemeriksaan rapid test.
Palopo Kurang Responsif
Realitas ini cukup menjadi dasar untuk membangun asumsi dan/atau hipotesis tentang Pemerintah Kota Palopo yang tidak responsif, lambat, bahkan kekurangan metodologi untuk memutus penyebaran covid-19 di Kota Palopo.
Proses yang saya lalui sampai pada tahap pemeriksaan rapid test, harus menghabiskan waktu selama empat hari.
Saya pun tidak akan diperiksa ketika bukan saya sendiri yang berinisiatif untuk melaporkan diri kepada petugas kesehatan.
Pertanyaannya, bagaimana dengan orang-orang yang tidak kooperatif dengan pemerintah?
Sudah banyak contoh orang takut menceritakan kondisinya kepada tenaga medis, karena pemahamannya akan covid-19 begitu menakutkan.
Kuantitas perpindahan masyarakat dari dan menuju kota Palopo cukup signifikan, kalau metodenya sama dengan yang telah saya deskripsikan diatas, hanya tinggal menunggu waktu Kota Palopo menjadi daerah yang terpapar covid-19.
Di sisi lain, aktifitas yang ada di Kota Palopo sangatlah jauh berbeda dengan yang pernah saya lihat di Pulau Jawa, tepatnya di kampung Inggris.
Masyarakat disana mengikuti segala himbauan pemerintah karena metode pendekatan pemerintah yang tersturktur, terukur dan efisien. Masyaraka hanya keluar rumah ketika urusan mendesak.
Di Kota Palopo sesuai dengan apa yang saya lihat, masyarakat tetap melakukan aktiftas seperti biasa tanpa mengindahkan himbauan pemerintah.
Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kebijakan dan pendekatan yang kurang tepat dilakukan oleh pemerintah.
Memang benar Pemerintah dan pihak terkait telah melakukan upaya menghentikan laju penyebaran COVID-19 baik dalam bentuk himbauan kepada masyarakat maupun langkah-langkah taktis pencegahan COVID-19.
Namun berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat baik sadar ataupun tidak sadar, bahkan mungkin karena terpaksa dengan keadaan ekonomi keluarga, sehingga masih belum dapat mengindahkan segala bentuk anjuran dari pemerintah.
Pemerintah harus sadar bahwa anjuran atau himbauan tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat dengan strata ekonomi kelas menengah ke bawah, apabila tidak didukung dengan kebijakan strategis yang berpihak kepada masyarakat.
Perkumpulan tetap ada, bahkan dibuat-buat
Perkumpulan olahraga bersama misalnya, bisa kita saksikan di Lapangan Gaspa atau perkumpulan ‘pa’sappeda’ yang melakukan olahraga dengan peserta puluhan orang.
Kita tentu sepakat kalau niat mereka berolahraga adalah untuk menjaga imunitas tubuh, tapi untuk berkumpul di suatu tempat dengan jumlah massa yang banyak merupakan hal yang tidak tepat dalam kondisi seperti ini.
Bahkan, aktifitas olahraga di luar rumah dicontohkan oleh publik figur, seperti Ketua KNPI Kota Palopo, Umar SE, dan Kepala Dinas BKPSDM, Farid kasim Judas. Sebagai publik figur wajar ketika yang mereka lakukan dicontoh oleh masyarakat. Lalu apa artinya hashtag #dirumah_aja?
Komunitas-komunitas sosial-pun sungguh luar biasa kuantitasnya di Kota Palopo, membagi masker, hand sanitizer dan lain sebagainya.
Suatu aktifitas yang sangat patut diapresiasi, namun saya melihat ada beberapa komunitas yang terjebak eksistensi, sehingga setelah melakukan aksi sosial langsung kumpul dan foto-foto bersama.
Apapun dalilnya, kumpul bersama dalam jumlah banyak merupakan kekeliruan fatal dalam kondisi seperti ini.
Secara sederhana, kita harus mengakui bahwa kita masyarakat kota Palopo belum paham secara holistik terkait covid-19.
Oleh karenanya sekali lagi dalam konteks ini Pemerintah harus hadir mengedukasi masyarakat dengan pendekatan yang tepat.
Semoga pemerintah bisa secara jeli melihat fenomena yang terjadi dilapangan dan mampu menghasilkan kebijakan yang solutif serta tepat sasaran, bukan mala terjebak pada soal surplus informasi, fakir metodologi dimana esensi dikalahkan oleh eksistensi.
Terakhir tolong jangan cari panggung di tengah wabah, sebagai inspirasi hal itu masih bisa di tolerir tapi kalau berlebihan esensi bantuan kemanusiaan yang kita lakukan bergeser subtansinya. (**)
*Tulisan ini adalah hasil eksperimen dan pengalaman pribadi penulis
Tinggalkan Balasan