OPINI: Pemilu Selesai, Rebutan Kue Kekuasaan Kemudian
Oleh: Desi Novianti
(Aktivis Dakwah Kampus)
PASCA putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Sandi dalam sengketa perselisihan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) terdapat tugas berat yang akan dihadapi oleh pasangan Capres dan Cawapres Jokowidodo-KH Ma’ruf Amin dalam membentuk cabinet presidennya. Hal ini menjadi berat karena koalisi pendukung Presiden Jokowi mencapai sekitar 10 partai.
Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin datang bersama Ketua-Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB seluruh Indonesia. “Mengucapkan selamat kepada beliau secara langsung karena teman-teman inilah yang selama ini bekerja total di masing-masing daerahnya untuk pemenangan pasangan Pak Jokowi dan Kiai Haji Ma’ruf Amin, sehingga teman-teman ini merasa pekerjaannya sudah tuntas dan mengucapkan selamat kepada Pak Presiden,” tutur Cak Imin di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta.
Ketika ditanya mengenai jumlah ideal kursi menteri untuk PKB, Cak Imin yakin usulan partainya akan mendapatkan perhatian khusus. Cak Imin menyebut setidaknya sepuluh kursi bagi PKB di kabinet, dilansir dari SindoNews.com.
Partai Nasdem tidak ingin kalah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang meminta jatah sepuluh menteri di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem, Tengku Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya akan meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Hal itu dikarenakan jumlah kursi Nasdem di DPR lebih banyak ketimbang PKB, JawaPos.com.
Menanggapi hal tersebut, Wasekjen Golkar Maman Abdurrahman mengatakan bahwa permintaan terkait jatah kursi merupakan hal yang biasa. Ia menyerahkan komposisi menteri sepenuhnya kepada Joko Widodo sebagai presiden terpilih.
Ia menyebut komposisi menteri merupakan hak prerogative Jokowi. Namun demikian, Maman tetap memberikan catatan bahwa semua harus dipertimbangkan dengan proporsional dan melihat berbagai macam pertimbangan.
Salah satu pertimbangannya adalah perolehan kursi di parlemen dan komitmen Golkar mendukung Jokowi, jauh sebelum Pilpres 2019 digelar.
Sebagaimana diketahui, Golkar adalah peraih suara terbesar ketiga dan peraih perolehan kursi terbanyak kedua setelah PDIP di Pileg 2019 ini, Kumparan.
Di tengah posisi tawar-menawar mengenai siapa yang merasa paling berhak, khususnya di kalangan partai koalisi, meminta jatah menteri kepada penguasa adalah hal yang biasa terjadi.
Hal ini dikarenakan sejak awal meminta dukungan terhadap parpol, ada transaksi politik yang akan mengikat kedua belah pihak dalam satu kepentingan.
Dalam hal ini, partai politik menjadi jembatan yang bisa mengantarkan mereka meraih berbagai jabatan publik secara bebas di pemerintahan.
Semua orang berhak andil dalam pemerintahan. Semua akan dipandang sama seperti yang dikehendaki oleh Demokrasi yaitu persamaan di muka hukum.
Tergantung siapa yang memiliki kekuasaan pada saat itu yang akan menentukan siapa saja yang berhak berada di kursi menteri. Sehingga kekuasaan hanyalah ajang bancakan dalam setiap pesta demokrasi.
Mereka hanya akan saling ancam untuk memperebutkan kursi menteri. Ketika tidak mendapatkan jatah menteri, nantinya juga ngambek dan seolah tidak sepaham dengan pemerintah dan alih-alih bahkan menjatuhkan pemerintah.
Tapi ketika diberikan jatah menteri, langsung sepaham dengan pemerintah bahkan membela pemerintah mati-matian.
Itulah wajah demokrasi. Demokrasi yang telah menghabiskan dana triliunan rupiah dan ratusan korban jiwa serta memunculkan orang-orang yang haus akan kekuasaan.
Sebenarnya yang menjadi akar masalah disini adalah masih tertanamnya paham sekuler kapitalisme dalam bingkai demokrasi. Sistem demokrasi yang hanya akan mengenyangkan para penguasa dan pemilik modal yang mementingkan kepentingan pribadinya sendiri dibanding kepentingan rakyat kecil.
Pemegang kekuasaan dalam demokrasi adalah sekelompok minoritas yaitu para kapitalis, elit politik dan elit partai. Sehingga kebijakan yang dihasilkan hanya untuk menyenangkan penyokong kemenangan mereka akan kekuasaan pasca pemilu.
Maka tidak heran, kepentingan elit lebih diutamakan dibanding kepentingan rakyat.
Namun, apa kabar dengan rakyat? Apakah pemerintah akan memikirkan nasib rakyatnya? Tidak akan! Padahal terpilihnya mereka di kursi kekuasaan tidak lain dan tidak bukan adalah rakyat.
Rakyat akan terus dibohongi dan dikhianati dengan janji-janji manis yang dikeluarkan penguasa saat kampanye. Janji tersebut ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Itulah demokrasi. Demokrasi yang tak seindah teorinya.
Jargonnya “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang kenyataannya jauh panggang dari api. Demokrasi yang secara ilmiah terbukti telah menjadi biang kerok kerusakan bangsa ini.
Berbeda dalam islam, partai politik yang ideal adalah partai yang berjuang dalam penerapan aturan islam secara menyeluruh dengan menjadikan aqidah islam sebagai pondasinya. Islam mengatur kekuasaan sebagai wasilah dalam menerapkan syariat dimana kedaulatan ada di tangan Syara’.
Kedaulatan secara mutlak dipegang oleh Syara’ dalam hal ini Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum. Maka sekalipun manusia yang menjalankan kekuasaan tersebut adalah manusia, namun harus tetap berada di bawah kendali hukum syariat.
Islam sebagai satu-satunya agama yang sempurna yang telah mengatur akan hal kepemimpinan, dimana pemimpin adalah sebagai pelayan umat yang bertugas mengurusi rakyatnya sesuai hukum syariat islam. Kesempurnaan ajaran Islam mampu melahirkan sosok pemimpin hebat yang sangat didambakan umat saat ini.
Tersebut dalam sejarah ketika sang Khalifah penuh rahmah, Umar bin Abdul Aziz. Beliau diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, menggantikan khalifah sebelumnya Sulaiman bin Abdul Malik.
Saat diumumkan di depan publik sebagai pengganti khalifah sebelumnya, seluruh hadirin serempak menyatakan persetujuannya. Namun, tidak dengan Umar sang khalifah menangis terisak-isak. ia terkejut, bahkan mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rojiun saat terpilih.
Jika pada masa ini, banyak pejabat berpesta ria saat memenangkan kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah banjir air mata karena takut pertanggungjawabannya kepada Allah kelak di hari kiamat tak mampu dipikulnya.
Demikianlah harusnya kekuasaan digunakan, amanah jabatan harusnya dipandang sebagai kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan manusia tapi juga di hadapan Allah SWT. (*)
*( Opini ini diterbitkan atas kerjasama Komunitas Wonderful Hijrah Palopo dengan Tekape.co. Isi dan ilustrasi di luar tanggungjawab redaksi.
Tinggalkan Balasan