OPINI: Pandemi Covid 19 Mengancam Konsolidasi Demokrasi Indonesia.
Oleh: Hasan Sufyan
(Ketua KPU Kabupaten Luwu)
Rezim pemerintahan Jokowi-Maruf lagi diuji daya tahannya oleh Covid 19. Mungkinkah kebijakan penanganan covid 19 pemerintahan Jokowi-Maruf akan meningkatkan legitimasi kekuasaannya atau justru nyunsep terkapar karena dianggap gagal merumuskan kebijakan penanganan Virus Corona ?.
Hari-hari ke depan kemungkinan akan ada peningkatan korban terpapar virus corona, kehadiran negara ditengah kepanikan warga akibat virus ini akan diuji, mampukah pemerintah menenangkan warga atau justru semakin membuat warga ketakutan.
Sinergitas pemerintah pusat dan daerah sepertinya belum menemukan titik strategis, seolah masing-masing bekerja sendiri dan bahkan sebagian kepala daerah dianggap diam tak bekerja, malah terkesan sembunyi dan gagap menghadapi virus ini.
Ada korelasi yang sangat kuat antara legitimasi kekuasaan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan covid 19 dan akan sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan konsolidasi demokrasi suatu negara. Kegagalan pemerintah merumuskan dan membuat kebijakan terkait covid 19 tentu akan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang dipimpinnya, sebaliknya jika pemerintah suatu negara baik level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sukses menangani penyebaran virus covid 19 tentu kepercayaan publik terhadap pemerintah juga akan meningkat.
Pemerintahan hasil pemilu 2019 dengan tingkat partisipasi pemilu yang sangat tinggi dengan 81% partisipasi pemilih, dihadapkan pada ujian terhadap demokrasi itu sendiri, mampukah pemerintahan hasil pemilu demokratis ini memuaskan keinginan publik, apakah kinerja rezim Jokowi-Maruf efektif menanggulangi covid 19 atau akan berakhir memunculkan ketidakpercayaan publik atas rezim yang berkuasa ini.
Salah satu ciri menguatnya konsolidasi demokrasi suatu negara, sebejat apapun rezim dimata publik, maka publik tetap menaruh harapan pada mekanisme yang demokratis, ditandai dengan tidak ada upaya menggembosi dan menyabotase kekuasaan dengan cara-cara yang tidak demokratis.
Contoh paling sederhana misalnya, membandingkan China dengan Italy, kedua negara ini berbeda dalam pengelolaan sistem pemerintahan, di awal-awal ketika China memberlakukan Lockdown, banyak pihak yang menganggap pemerintah China melanggar HAM dan melanggar kebebasan warga negaranya, dan China bisa efektif memberlakukan Lockdown karena pemerintahan bisa dijalankan secara komando ala komunis, tentu berbeda dengan Italy.
Sistem pemerintahan yang demokratis dan terbuka seperti Italy akan sulit menerapkan sistem komando terhadap warga negaranya disamping juga karena sistem pemerintahannya harus banyak kompromi dengan elit dan aktor politik diluar pemerintahan, warga Italy juga terbiasa hidup bebas tanpa kekangan dari aparatus negara, wajar jikalau diawal-awal pemerintah Italy sulit menertibkan warganya untuk menghadapi pandemi covid 19.
Lantas bagaimana dengan Indonesia ?, tentu sudah bisa dibayangkan, kalau pemerintah bersikeras memberlakukan Lockdown dan menutup semua pintu masuk dan keluar termasuk menangkap warga yang masih lalu lalang dan berkeliaran di area publik, maka gejolak penentangan kemungkinan juga akan dihadapi oleh rezim berkuasa, bukan saja akan dimamfaatkan oleh lawan politik Jokowi-Maruf tapi juga akan dilawan oleh warga yang terbiasa hidup bebas tanpa tekanan.
Gambaran diatas, memperlihatkan dua sistem pemerintahan yang berbeda dengan kebijakan yang sama-sama Lockdown menghadapi pandemi covid 19, namun hasilnya berbeda dan efek publik dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan juga berbeda.
Sepertinya rezim berkuasa Jokowi-Maruf masih menghitung semua kemungkinan sebelum mengambil kebijakan yang berdampak terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintahannya.
Hasil pemilu 2019 dengan partisipasi pemilih 81% hanya salah satu indikator menguatnya konsolidasi demokrasi Indonesia, kinerja rezim Jokowi-maruf hasil pemilu 2019 menghadapi pandemi covid 19 merupakan ujian terhadap ketahanan konsolidasi demokrasi Indonesia, apakah elit dan aktor politik, organisasi dan massa, akan bahu membahu menghadapi covid 19 tanpa upaya menyabotase kekuasaan yang terpilih secara demokratis ?
Apakah rezim yang berkuasa akan efektif memutuskan kebijakan dan publik akan puas atas kebiajakan tersebut dan menguatkan legitimasi kekuasaan pemerintahan, atau justru legitimasinya terkikis atau bahkan melorot jauh sehingga memunculkan antipati massa terhadap pemerintahan ?
Mari kita lihat hari-hari ke depan. Semoga pandemi covid 19 tidak memakan korban banyak dan tidak memakan demokrasi kita.
Amin Ya Robbal Alamin
Tinggalkan Balasan