OPINI: Nilai-nilai Budaya Sebagai Marwah Pilkada Damai
Oleh: Haeril Al Fajri
(Direktur Macca Indonesia Foundation-MIND)
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) yang akan dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia tanggal 9 Desember 2020 mendatang adalah salah satu momentum demokrasi yang akan menjadi sejarah baru kepemimpinan di masing-masing daerah.
Namun, ada hal yang memiriskan setiap pilkada bahkan menjadi jejak buruk.
Pilkada sering kali menimbulkan perpecahan dan konflik sosial ditengah masyarakat.
Perbedaan pilihan yang tidak disikapi secara dewasa adalah awal terjadinya disharmonisasi dalam kelompok sosial masyarakat.
Disharmonisasi ini semakin dipertajam dengan munculnya kampanye negatif (negatif campaign) dan kampanye hitam (black campaign) yang memanaskan tensi politik pilkada.
Kandidat kepala daerah dan tim pemenangan sebagai formulator kampanye diharapkan mampu mengedukasi pendukungnya untuk tidak melakukan hal-hal yang provokatif dan dapat menimbulkan konflik pilkada.
Pemilihan diksi dalam penyampaian informasi kepada publik harus berhati-hati agar tidak menimbulkan interpretasi negatif bagi masyarakat, karena hal ini adalah salah satu pemicu utama terjadinya gesekan antara pendukung dan dapat berimbas secara luas.
Maka dari itu, kita perlu menyatukan persepsi dan landasan berfikir yang universal untuk menjaga pilkada tetap berjalan damai, harmonis dan bermartabat.
Sebagai sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Maka salah satu cara untuk menjaga pilkada berjalan damai, harmonis dan bermartabat dengan menjadikan nilai-nilai luhur budaya sebagai sebuah pijakan dalam melakukan aktifitas politik pilkada.
Di Sulawesi Selatan kita sangat familiar dengan budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi yang dapat menjadi marwah pilkada damai, tidak hanya dapat diterapkan di pilkada Sulawesi Selatan bahkan dapat diterapkan secara nasional.
Tiga nilai budaya ini pun telah penulis promosikan pada komunitas perdamaian dunia dalam program Peace & Literacy Campaign berbasis budaya.
Bagaimana menjaga perdamaian dunia dengan menerapkan nilai-nilai budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi.
Jika diartikan dalam bahasa Indonesia Sipakatau dapat dimaknai saling menghargai, Sipakainge dimaknai saling mengingatkan dan Sipakalebbi dimaknai saling memuliakan.
Nilai-nilai luhur ini harus terus dijaga dan dikampanyekan ditengah-tengah masyarakat, sehingga pilkada tidak menjadi ajang caci maki, fitnah dan provokasi.
Bagaimana sikap Sipakatau (saling menghargai) atas perbedaan pilihan calon kepala daerah dinilai sebagai bentuk toleransi dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Sikap Sipakainge’ (saling mengingatkan) sebagai upaya untuk selalu menghadirkan sikap mawas diri dan saling menjaga walau pun berbeda pilihan, agar tidak mudah terprovokasi dan tidak menjadi bagian dari provokator.
Sikap Sipakelebbi (saling memuliakan) bagaimana kita tampil saling menyejukkan, menjadi telaga kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan.
Menyadari bahwa semua calon kepala daerah adalah putra putri terbaik bangsa.
Sebagaimana kata Gus Dur:
Bahwa yang lebih penting dri politik adalah kemanusiaan.
Jika nilai-nilai budaya Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi menjadi marwah pilkada maka pilkada damai adalah sebuah kenyataan.
Pilkada damai tidak hanya di ukur dari tidak adanya konflik secara fisik tapi juga dapat dimaknai harmonisnya hubungan masyarakat dalam perbedaan pilihan baik saat pilkada mau pun setelah pilkada.
Tapi jika calon kepala daerah dan pendukungnya mengabaikan nilai-nilai Sipakatau, Sipakainge, dan Sipakalebbi demi menghalalkan segala acara untuk meraih kemenangan maka perpecehan adalah salah satu konsekuensi yang harus diterima.
Ketika terjadi perpecahan saat pilkada maka masyarakatlah yang akan mendapatkan kerugian besar.
Konsolidasi pasca pilkada bukanlah perkara mudah butuh waktu yang lama, energi bahkan materi yang besar.
Kontestasi Pilkada yang diwarnai perpecahan layaknya pepatah: menang jadi arang, kalah jadi abu. (*)
Tinggalkan Balasan