OPINI: Krisis Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah, Bias Kebijakan Salah Kaprah
Oleh : Arifin Zainuddin Laila
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Nasional asal Palopo)
BEBERAPA bulan terakhir, beranda sosial media dipenuhi dengan beberapa unggahan gambar, video, maupun caption yang ramai mengeritik soal administrasi pelayanan rumah sakit maupun kebijakan pemerintah dalam menyikapi pandemi Covid – 19.
Berbagai spekulasi yang kemudian lahir, mulai dari hak pasien yang di langgar oleh rumah sakit sebab mebvonis pasien covid – 19, tanpa menunjukan document medis kepada pasien.
Bahkan, beberapa pekan yang lalu di sebuah pemberitaan televisi, jenazah pasien yang diduga terpapar covid tidak mendapatkan penanganan serius serta fasilitas (ambulance) dari RS maupun pemerintah setempat.
Sontak, kecaman publik begitu ramai ditujukan ke pemerintah.
Dalam situasi seperti saat ini tentu pekerjaan yang paling utama bagi pemerintah ialah bagaimana kemudian membangun kepercayaan publik agar penanganan virus covid – 19 dapat di tangani secara kolektif dan evektif.
Kepercayaan publik adalah modal utama eksekutif dalam menjalankan tugas fungsinya. ( Dunn & Schweitzer ) berpendapat bahwa kepercayaan adalah kesediaan untuk menerima kerentanan berdasar pada harapan-harapan positif tentang perilaku orang (Rottenberg, 2010).
Sejalan dengan hal tersebut, kepercayaan muncul dalam diri setiap individu yang terkait dengan hubungan dan karakteristik setiap masyarakat baik dalam ruang lingkup kecil maupun luas (Costa, 2004).
Dalam ranah sosial tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah adalah suatu indikator penting agar implementasi kebijakan dapat di terlaksana dengan baik dan demokratis.
Dari berbagai sumber literasi yang penulis rangkum. (Lembaga survei Indikator Politik) mencatat penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam penanganan COVID -19 Sangat menurun.
Indikator penurunan kepercayaan publik salah satunya disebabkan oleh tata kelolah pemerintahan dan perilaku birokrasi, serta produk regulasi yang tidak tepat sasaran.
Hal ini dapat di lihat dari ketiadaan infrastruktur hukum penanggulangan pandemi Covid-19 yang menjadi masalah fundamental sehingga penanganan wabah ini carut-marut.
Kebijakan yang kemudian lahir terkesan dipaksakan, dan tidak memiliki relevansi terhadap kondisi sosial, ekonomi masyarakat.
Imbasnya, kebijakan yang diharap mampu mengatur teknis prosedur penanganan pada Rumah Sakit, justru menjadi boomerang bagi pemerintah.
UU No.6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan harusnya bisa menjadi acuan atau rujukan pemerintah agar proses pencegahan dan penangan yang diterapkan tidak bersifat parsial.
Dalam konteks ini, leading sektor pemerintah yang memiliki fungsi pencegahan sangat perlu melakukan komunikasi risiko pandemi kepada publik secara benar dan “konsisten”.
Kemudian transparansi data sangatlah penting sebagai kerangka acuan dalam menyusun konsep serta regulasi secara partisipatif.
Sebab jika hanya melakukan pendekatan keamanan dalam penanganan pandemi hanya akan menggangu psikologis sosial masyarakat.
Kegaduhan dan pembangkangan masyarakat terhadap resiko Covid – 19 bisa jadi adalah buah dari kegagalan komunikasi dan koordinasi antara Rumah sakit dan seluruh instansi terkait.
Akhirnya publik semakin di buat bingung dalam menghadapi dan beradaptasi dengan situasi pandemi.
Sedikitpun penulis tidak menafikkan wabah covid – 19. Namun tentu kita juga harus mengakui bahwa terdapat berbagai kebijakan di masa pandemi Covid – 19 yang salah kaprah.
setiap hari terus berubah, bukan hanya kebijakan, bahkan termasuk istilah.
Publik pun bingung dengan peraturan-peraturan yang cenderung menyingkirkan akal sehat.
Dimana disatu sisi, diwajibkan pemakaiannya dari jenis apapun tidak dipermasalahkan, yang penting pakai, disangsi jika tidak digunakan, tapi disisi lain, ada klasifikasikasi yang boleh dan tidak dipakai.
pedagang kaki lima, UMKM di bubarkan dan di tutup dengan alasan potensi kerumunan padahal sudah sesuai protokol Covid, sementara pusat perbelanjaan dan warung makan yang mewah milik “pejabat” tertentu, justru dibiarkan beroperasi.
Belum lagi razia masker yang hanya menyisir masyarakat awam, di sisi lain para elite berkerumun namun tidak dibubarkan juga.
Serta beberapa tontonan ketika ada pejabat daerah yang bergoyang dangdutan pun tidak di bubarkan.
Pembangkangan terhadap kebijakan itu lahir karena emosi publik merupakan hal yang sering dilupakan oleh negara (Pemerintah).
Padahal, menjaga stabilitas emosi masyarakat ini ialah satu kebutuhan dasar yang substansial yang tidak boleh dikesampingkan agar pondasi negara terus berdiri di tengah pandemi COVID-19 ini.
Negara (Pemerintah) dan seluruh pihak terkait, tentu harus sadar bahwa kepanikan publik ialah ancaman bagi keamanan sosial dan juga bencana bagi stabilitas implementasi kebijakan pemerintah.
Dan yang paling krusial dan perlu diingat bahwa mereduksi krisis kesehatan hari ini dan mencegah kepanikan publik, ialah dua hal yang harus ditempatkan sama sejajar dan menjadi prioritas. (*)
Tinggalkan Balasan