OPINI: Kerugian di Balik Status Negara Maju
Oleh : St Rohaniyah
(Aktivis Mahasiswi Palopo)
Pada 10 Februari lalu, Amerika Serikat melalui USTR (United States Trade Refresentative) merevisi daftar katagori negara berkembang menjadi negara maju yang bertujuan untuk urusan perdagangan internasional.
Beberapa negara seperti china, Brazil, India, Afrika Selatan dan termasuk pula Indonesia kini naik kelas menjadi negara maju. Sebagaimana pengumuman USTR yang dikutip dari The Star pada 23 Februari 2020 lalu di lansir dari cnbcindonesia.com
Namun kebijakan ini membuat wakil direktur perwakilan china untuk WTO (World Trade Organization) di Beijing, Xue Rongjiu malah keberatan. Pasalnya, status ini dan upaya investigasi yang akan dilakukan adalah bukti bahwa negara adidaya tersebut meremehkan sistem perdagangan multilateral negara-negara lain cnbcindonesia.com
Bhima Yudhistira Adhinegara selaku Ekonom INDEF mengatakan, konsekuensi Indonesia ketika menjadi negara maju adalah bakal di hapuskannya Indonesia sebagai negara penerima fasilitas GSP (Generalized Syistem Of Preferences) atau keringanan bea masuk impor kenegara AS, dilansir dari kumparan.com
Jika fasilitas GSP ini di hapus maka ini akan mengakibatkan Indonesia akan kehilangan potensi ekspor yang besar ke AS.
Tak hanya itu, jika kita menelitik dengan seksama tujuan dari negara AS merevisi beberapa negara berkembang menjadi negara maju yang termasuk salah satunya adalah Indonesia maka tercium adanya bau penjajahan politik dan ekonomi.
Bagaimana tidak, perubahan status Indonesia menjadi negara maju atas restu AS ini menjadi sangat aneh. Karena AS menjadi inkonsisten dan double standar dengan kebijakannya sendiri.
Terlebih, status Indonesia sebagai ‘negara maju’ hanya berlaku di satu UU tapi tidak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan. Artinya, di satu sisi status Indonesia ibarat dilambungkan, namun di saat yang sama juga dijerumuskan.
Jadi jelas, perubahan status Indonesia menjadi negara maju atas restu AS ini tak ubahnya adalah tipu-tipu politik sang negara pertama dalam hal ini adalah AS untuk semakin menguatkan hegemoninya dalam mengendalikan perdagangan global.
Belum lagi dengan status Indonesia yang juga sebagai anggota WTO serta bakal calon anggota Dewan HAM PBB. Ini adalah upaya politis AS untuk mencoba meningkatkan reputasi Indonesia di mata internasional.
Tapi dalam hal ini ada konsekuensi yang akan di terima oleh Indonesia, bahwa jika Indonesia berani hengkang, maka itu sama saja dengan melawan kedigdayaan ideologi kapitalisme milik AS.
Oleh karenanya, kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negeri mayoritas umat muslim. Negara yang kayak akan sumber daya alamnya. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa begitu banyak perusahaan-perusahaan dari negeri paman sam (AS) berdiri kokoh di negeri ini. Tak heran jika AS masih menganggap penting Indonesia.
Maka dari itu, tidaklah juga mengherankan jika Indonesia “mendadak” berubah status, seolah tiba-tiba menjadi negara maju. Status ini tak lain adalah wujud menguatnya pengaruh AS di Indonesia.
Indonesia begitu polosnya memberikan jalan yang luas nan lebar bagi AS yang jelas-jelas kebijakannya ini hanya akan merugikan negeri ini sendiri.
Didalam islam, kita di larang untuk memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk mengausai orang-orang yang beriman.
Sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”(QS. Al-Nisâ’ [4]: 141).
Ayat ini sangatlah relevan untuk dijadikan dalil keharaman memberikan jalan kepada pihak asing (kaum kafir) dalam menguasai kaum mukmin. Namun makna ayat ini hanya dapat diwujudkan oleh sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah.
Sudah saatnya kita melengserkan sistem kapitalisme serta hegemoninya dari negeri ini. Sepatutnya kita sebagai mayoritas muslim di negeri ini berpegang teguh serta kokoh pada ideologi islam yang memiliki kesempurnaan dan daya saing global.
Sebab, hanya dengan ideologi islam inilah Indonesia layak meraih kepemimpinan berfikir (Qiyadah Fikriyah) untuk seluruh dunia. Dan dengan ideologi Islam di bawah naungan Khilafah pula, kehormatan politik dan ekonomi negeri ini bisa diraih sekaligus meruntuhkan ideologi kapitalisme AS. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Tinggalkan Balasan