OPINI: Kebijakan Zonasi, Solusi Prematur
Oleh: Firda Rampean
(Member Komunitas Wonderful Hijrah Palopo)
PENERIMAAN Peseta Didik Baru (PPDB) tahun 2019 dengan sistem zonasi menuai banyak masalah. Diantaranya, aksi protes yang dilakukan oleh para wali murid, seperti yang terjadi di Lampung. Mereka mempertanyakan sistem zonasi, prestasi dan kuota yang tersedia di sekolah tujuan. (Republika.co.id, 20/06/19).
Bagaimana tidak, anak-anaknya yang berprestasi tidak dapat masuk ke sekolah favorit hanya karena rumahnya tidak masuk dalam zonasi.
Sedangkan anak-anak yang prestasinya biasa-biasa saja bisa masuk sekolah favorit karena rumahnya dekat dengan sekolah tersebut.
Selain itu, jika lokasi rumah masuk dalam zonasi sekolah namun daya tampung sekolah telah melampaui batas maka orangtua harus mencari alternatif sekolah lain bahkan harus beralih ke sekolah swasta.
Sayang sekali, protes tersebut tidak mendapatkan tanggapan serius. Pihak sekolah menyatakan hanya menjalankan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
Tak hanya itu, dilansir dari iNews.id, Seorang siswa lulusan SD yang sarat prestasi di Kota Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng), nekat membakar belasan piagam penghargaan atas prestasi yang pernah diraihnya selama ini.
Aksi itu dilakukan karena kecewa tidak bisa masuk ke sekolah impiannya akibat sistem zonasi ini.
Dia terpaksa memilih sekolah lain, yakni sekolah swasta di SMP Muhamadiyah 1 Kajen. Kekecewaan yang dialami membuatnya enggan keluar kamar dan berpengaruh pada kondisi kesehatannya.
Atas hal ini sang ayah, Sugeng meminta agar sistem zonasi dikaji ulang “Katanya kan sistem zonasi ini untuk pemerataan mutu pendidikan. Harusnya kalau mau meratakan mutu, siapkan dulu infrastrukturnya, gedungnya, gurunya, semuanya dibagusin, baru sistem penerimaan diubah,” Ujarnya.
Diterapkannya sistem zonasi ini juga berdampak pada kejanggalan (baca: Kecurangan) pada proses pendaftaran dalam PPDB.
Dewan Pendidikan Kota Kediri mencurigai banyaknya kartu keluarga (KK) titipan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA/SMK di Kota Kediri. Akibatnya, anak warga asli Kota Kediri gagal masuk zona sekolah dekat rumah mereka.
“Kuat dugaan warga yang punya anak masih SMP, setahun atau dua tahun sebelum masuk SMA/SMK titip KK pada keluarga yang domisilinya dekat dengan sekolah,” ungkap Heri Nurdianto, Ketua Dewan Pendidikan Kota Kediri kepada KOMPAS.com, Jumat (21/6/2019).
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Sekjen Kemendikbud) Didik Suhardi menyatakan bahwa sistem zonasi bertujuan untuk mengatasi persoalan ketimpangan kualitas pendidikan.
Dengannya itu diharapkan tidak ada lagi sebutan sekolah favorit dan non favorit agar siswa yang pintar merata di semua sekolah.
Sekilas tujuan ini cukup baik. Namun faktanya kondisi sekolah yang ada saat ini belum merata baik dari segi infrastruktur, kualitas guru serta sarana dan prasarananya.
Contoh realnya antara sekolah yang ada di desa dan di kota. Sekolah yang berada di perkotaan cenderung memiliki fasilitas yang lengkap, guru-guru yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai.
Sehingga menjadi sasaran utama saat PPDB tiap tahunnya. Jadi ketidakmerataan penyebaran peserta didik ini disebabkan karena faktor internal sekolah.
Jika demikian maka, solusinya bukan pada penerapan sistem zonasi melainkan perbaikan kualitas internal sekolah.
Sistem pendidikan yang ada hari ini tegak atas sistem kapitalis sekuler sehingga yang menjadi tolak ukur keberhasilannya adalah pencapaian nilai (angka) yang tinggi. Bukan pada akhlak dan kepribadiannya.
Sehingga generasi yang tercetak memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan kecerdasan spiritual yang justru merosot.
Di luar soal kurikulum, akar problem pendidikan adalah pemerataan pembangunan bidang infra dan suprastruktur pendidikan. Sehingga solusinya adalah memperbaiki paradigma pendidikan dan implementasinya.
Carut marutnya dunia pendidikan akibat kebijakan zonasi ini adalah bukti ketidaksiapan sistem ini diterapkan. Berbeda dengan sistem pendidikan yang berasaskan Islam.
Islam memandang pendidikan sebagai hak dasar yang wajib diberikan Negara kepada rakyatnya tanpa terkecuali dan secara cuma-cuma (baca: gratis).
Oleh karenanya Negara dalam hal ini menerapkan sistem pembelajaran yang berkualitas, menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana yang merata di semua sekolah, serta tenaga pengajar yang juga profesional.
Sebagaimana telah diukir oleh sejarah kegemilangan Islam, Outputnya sekelas Imam As-Syafi’e yang menjadi ulama sejak usia dini, Muhammad Al-Fatih penakluk konstantinopel dan ilmuwan-ilmuwan yang setara dengannya.
Keberhasilan mereka tidak lepas dari dukungan ketiga hal diatas yakni sistem pembelajaran yang berbasis Islam, sarana dan prasarana yang memadai serta dorongan dan didikan dari guru-guru yang luar biasa.
Untuk mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan yang terjadi hari ini adalah dengan menjadikan Islam sebagai sistem pendidikan bukan sistem zonasi yang telah terbukti cacat dan justru menimbulkan permasalahan baru.
Hanya penerapan Islam Kaffah yang mampu mewujudkan pendidikan yang adil merata dengan output generasi paripurna dalam naungan Khilafah.
Sebab sistem Demokrasi-Kapitalis tidak akan memberikan ruang bagi sistem pendidikan Islam diterapkan. Wallahu’alam bi ash-shawab. (*)
*( Opini ini diterbitkan atas kerjasama Komunitas Wonderful Hijrah Palopo dengan Tekape.co. Isi dan ilustrasi di luar tanggungjawab redaksi.
Tinggalkan Balasan