OPINI: Kampanye Gerakan Kurva Landai, Akankah Kehidupan Kembali Normal Pasca Covid-19?
Oleh : Ustadzah Rahmawati, S.Pd
(Guru di Palopo)
PEMERINTAH mengkampanyekan “Gerakan Kurva Landai”. Ini merupakan seruan agar kasus positif virus corona bisa berkurang dan tak menularkan ke orang lain.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan gerakan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kasus dengan cara memastikan tidak menularkan orang lain begitu juga sebaliknya.
“Caranya ubah perilaku, jaga jarak, cuci tangan, pakai masker, dan menjaga imunitas. Gerakan bersama masyarakat di Indonesia, Kalau kita bersama, virus tak akan menulari,” ujarnya saat video conference di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (9/5/2020). (cnbcindonesia.com)
Dalam kondisi Pandemi seperti saat ini, tentu satu hal yang sangat kita harapkan adalah agar wabah segera mereda dan masyarakat bisa kembali pada kehidupan normal seperti sedia kala.
Oleh karena itu, kampanye “Gerakan Kurva Landai” yang diserukan oleh pemerintah menjadi angin segar yang membawa harapan yang besar. Hanya saja, kampanye ini ternyata banyak mendapatkan kritik dari para ahli.
Ahli biostatistik Eijkman Oxford Clinical Research Unit, Iqbal Elyazar menilai kurva yang dimiliki oleh pemerintah belum sesuai dengan standar ilmu epidemiologi.
“Kurva epidemiologis atau kurva epidemi jadi basic dari semua ini (kasus Covid-19). Ini sangat penting untuk melihat apakah klaim melambat atau landainya kasus, itu terpenuhi atau tidak,” katanya dalam diskusi “Mengenal Kurva Epidemi Covid-19”, Jakarta, Sabtu (10/5/2020).
Iqbal menyebutkan, sampai saat ini pemerintah Indonesia hanya menampilkan kurva yang terdiri dari pertambahan kasus dan tanggal pelaporan pada masyarakat.
Seharusnya, secara umum kurva epidemi menggambarkan jumlah kasus baru dari waktu ke waktu.
Kurva tersebut menjadi alat visualisasi standar untuk menjelaskan perjalanan wabah, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas intervensi. (Kompas.com)
Sejalan dengan itu, pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani berkata kesimpulan bahwa kurva penularan COVID-19 telah menurun tak bisa didasari hanya pada penambahan kasus di 2-3 hari terakhir. Kurva penularan COVID-19 turun harus dilihat dalam jangka waktu satu minggu hingga satu bulan.
“Jika terburu-buru relaksasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) maka hasilnya nanti tidak efektif dan bisa menyebabkan pelonjakan kasus kembali,” kata Laura kepada Tirto, Minggu (10/5/2020).
Sayang, sekalipun banyak mendapatkan kritik dari para pakar Pemerintah nampaknya tak bergeming. Jokowi, melalui akun resmi twitternya, menyerukan agar masyarakat bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan.
Jokowi menyadari perang melawan virus yang telah menjadi pandemi dunia itu harus diikuti dengan roda perekonomian yang berjalan.
Oleh sebab itu, dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat ini, masyarakat pun masih bisa beraktivitas meski ada penyekatan pada beberapa hal.
Maka tak heran saat beberapa pemerintah daerah sedang mengajukan pemberlakuan PSBB dengan segala konsekuensi yang lebih besar ditanggung daerah, beberapa pelonggaran justru dilakukan oleh pemerintah pusat dengan membuka kembali operasi transportasi udara maupun darat.
Kampanye “Gerakan Kurva Landai” disosialisasikan untuk menunjukkan keberhasilan pemerintah menekan sebaran virus dan menjadi legitimasi kesehatan untuk melonggarkan PSBB untuk kepentingan ekonomi.
Jelas ini adalah sebuah kebohongan publik. Adalah hal yang menyakitkan bagi rakyat karena harus mendapati penguasanya berlepas tanggungjawab menjamin keselamatan jiwa rakyat.
Keselamatan dari ancaman ganas virus dikembalikan pada ikhtiar individu rakyat untuk menjaga jarak dan kebersihan diri serta meningkatkan imunitas.
Alasan kemandegan ekonomi atau produktifitas yang selalu menjadi alasan mengemuka juga bukan ekonomi untuk rakyat (jelata).
Kepentingan ekonomi di bawah cara pandang kapitalisme identik dengan terus beroperasinya mesin-mesin industri dan berpacunya sektor perbankan dan bursa efek demi bagi segelintir elit kapitalis.
Atas dasar apa golongan ini lebih diutamakan? Jelas karena peran besar mereka menyokong naiknya rezim ke tampuk kekuasaan.
Pandangan ini bukan tanpa alasan. Publik bisa mencermati bahwa sinyalemen pelonggaran menguat seiring sanksi penutupan 176 diantara 1019 perusahaan yang melanggar ketentuan PSBB.
Penanganan Wabah dalam Konsep Islam
Berkebalikan dengan prinsip-prinsip Islam yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan Islam.
Islam memerintahkan penguasa menjadi penjamin keselamatan jiwa dan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu rakyat.
Islam tidak membolehkan penguasa abai terhadap keselamatan jiwa apa pun alasannya.
Di dalam Islam terdapat prinsip tegas ‘dar’ul mafasid muqaddam ala jalb al mashalih’. Menolak atau menjauhkan diri dari kerusakan (mafsadat) lebih didahulukan dibanding mengejar kemaslahatan.
Lebih lanjut, Islam menggariskan ukuran mafsadat dan maslahat berdasarkan ketentuan syariat yang jauh dari konflik kepentingan. Diantara mafsadat adalah ancaman kerusakan fisik, jiwa dan kehormatan.
Maka kebijakan Negara di masa wabah semestinya berorientasi tertinggi menyelamatkan nyawa dan menghentikan kesengsaraan orang yang sakit maupun semua pihak yang terdampak.
Bukan mengejar ‘maslahat’ pertumbuhan ekonomi, apalagi bila alasan itu terbukti ditunggangi nafsu kerakusan segelintir elit kapitalistik.
Penanganan wabah memang bukan hanya beban pemerintah, semua komponen masyarakat harus ikut andil menjadi bagian dari solusi. Namun, Pemerintah harus bersikap sebagai raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggungjawab) untuk menangani masalah wabah ini.
Rakyat tidak boleh dibiarkan mencari solusi sendiri-sendiri. Jika rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri-sendiri, maka hasilnya adalah kekacauan.
Hoax bertebaran di mana-mana ,mulai dari temulawak, telur rebus sampai isu virus corona sebagai rekayasa manusia dan merupakan senjata biologis bertebaran di media sosial.
Rakyat menjadi bingung dan semakin bingung dengan ketidaksinkronan antara pemerintrah pusat dan daerah.
Pemerintah daerah seolah bekerja sendiri-sendiri, maka di sinilah dibutuhkan seorang pemimpin yang kredibel, pemimpin yang dapat memberikan komado yang cepat dan tepat ,pemimpin bermental negarawan.
Tapi tak cukup hanya pemimpin yang hebat, juga tentu harus ada sistem yang mumpuni, sistem yang benar, yang datang dariZat yang Maha benar.
Para penguasa muslim pada masa lalu, seperti Rosulullah Saw, khalifah Umar bin Khattab, telah mencontohkan bagaimana seharusnya penguasa bertanggungjawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya, termasuk dalam menghadapi wabah penyakit. Rosulullah bersabda :
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
“Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhan dan kepentinganya (pada Hari Kiamat)”. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Islam memberikan aturan menyeluruh kepada manusia mulai dari makanan, pakaian, tata pergaulan, ekonimi, politik dan pendidikan, dll.
Tugas kita hanya satu, yaitu taat, agar membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat.
Banyak hikmah yang kita petik dari kejadian virus corona ini, satu hal yang pasti bahwa taat syariat itu mendatangkan berkah, karena keberkahan itu ada pada syariatNya. Wallahu’alam bishshawab. (*)
Tinggalkan Balasan