OPINI: Impor Menggila di Saat Wabah
Oleh: Nurfadhilah Anshar Naim
(Aktivis Mahasiswi di Palopo)
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…” Begitulah bunyi syair lama yang menggambarkan betapa suburnya negeri kita yang tercinta.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, bagaimana tidak, kekayaan alam mulai dari kekayaan laut, darat, bumi dan kekayaan lainnya yang terkandung di dalam bumi Indonesia tercinta ini tak terhitung jumlahnya.
Akan tetapi, negeri yang subur ternyata tidak selamanya makmur dan sejahtera. Hal ini nampak jelas dari jumlah impor yang setiap tahunnya terus meningkat.
Di tengah tingginya kebutuhan pangan di Indonesia, khususnya dalam masa pandemi Covid-19 Indonesia masih saja mengimpor bahan-bahan pangan dengan klaim bahwa produksi lokal turun.
Jangan heran, sebab kebiasaan impor sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh pemerintah di system kapitalis ini. Apatahlagi ditengah pandemi Covid-19 impor barang seketika melonjak dari tahun sebelumnya.
Sebagaimana dilansir oleh Kompas (25/05), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur- sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara Rp 11,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.700 per dollar AS).
Tak hanya sayuran, ternyata Indonesia juga mengimpor bawang putih dan bawang bombai, dikutip Katadata (23/04), Kementerian Perdagangan telah melakukan relaksasi impor sementara untuk bawang putih dan bawang bombai mencapai 48 ribu ton sudah masuk ke tanah air.
Ironisnya, ada 28 ribu ton tanpa Persetujuan Impor (PI) dan 20 ribu ton memakai persetujuan impor (PI).
Di masa pandemi ini, impor semakin meningkat dan salah satu jalan untuk memudahkannya melakukan impor sebab jokowi menertbitkan Perpres No.58 Tahun 2020, yang berisi mengatur penyederhanaan impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku.
Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa ketentuan impor bawang bombai dan bawang putih dikecualikan dari Persetujuan Impor dan Laporan Surveyor. Namun, kebijakan ini diberlakukan sementara, yaitu hingga 31 Mei 2020.
Maka dari sini nampak jelas mencerminkan importasi bawang putih dapat dilakukan dengan mudah. Ironisnya pemerintah memberikan peluang kepada para kapitalis dibanding menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Sistem kapitalisme yang mencengkram negeri ini. Kapitalisme yang mengubah negeri agraris ini menjadi negeri importir pangan.
Di sisi lain, Kementerian perdagangan dan pertanian berbeda sikap dalam soal impor di masa wabah. Jelas ini bagai panggang jauh dari api. Hal ini menegaskan bahwa tidak adanya kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat.
Karenanya rencana swasembada/kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor.
Dalam mengambil kebijakan betapa birokrasi dan struktur kerja antar institusi pemerintah pengelola begitu minim komunikasi dan koordinasi.
Mereka terlihat bekerja tanpa visi bersama serta adanya ketidaksinkronan kebijakan impor antara kementerian perdagangan dan kementerian pertanian. Maka tidak heran jika kebijakan yang dilahirkan hanya mengedepankan keuntungan dan manfaat belaka. Yang hanya menyengsarakan rakyat bukan lagi menjadikan kepentingan rakyat.
Hilangnya peran negara dalam urusan pangan ini telah membuahkan kecarutmarutan. Disatu sisi para petani lokal yang mengalami banyak kerugian bahkan bisa mematikan usaha mereka. Ujung-ujungnya rakyat makin sengsara dan menderita.
Sejatinya pemerintahlah yang abai mengurusi pangan sebab kebutuhan ini seharusnya mampu diproduksi sendiri dalam negeri justru kini kebanyakan melalui jalan impor.
Sebagai satu-satunya agama yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan umat manusia. Termasuk problem impor mengimpor.
Dalam Islam, kebijakan perdagangan internasional tidak diperbolehkan apabila kebijakan tersebut merugikan rakyat dan menyebabkan rakyat makin sengsara, khususnya para petani.
Kepala negara memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat, rakyat tidak boleh diabaikan begitu saja hingga memberlakukan kebijakan zholim yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat.
Sebagaimana dalam riwayat hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa fungsi pemerintah adalah laksana penggembala, beliau bersabda: “Imam (kepala negara) laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Hadist ini menjelaskan bahwa khalifah memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat termasuk persoalan impor, yang harus sesuai hukum syara’ serta menyediakan kebutuhan dasar masyarakat dengan harga terjangkau dan ketersediaan yang mudah. Maka tentu negara akan mengusahakan pertanian dalam negeri agar mampu memenuhi kebutuhan pasar.
Jika masih belum bisa memenuhi, barulah dipertimbangkan untuk melakukan impor dengan catatan, impor ini tidak membuat negara bergantung pada pasokan luar negeri, sebab akan berdampak seperti kondisi sekarang ini.
Negaralah yang berperan untuk menjamin ketersediaan segala kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk pangan, daulah islam memaksimalkan hasil sumber daya alam secara merata hingga pemenuhan kebutuhan hidup rakyat secara keseluruhan terpenuhi. Tentunya hal ini dapat dirasakan kesejahteraan dan menjadi rahmatan lil alamin jika ada institusi negara yang melaksanakannya.
Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT.
Hal ini tidak akan kita jumpai kecuali dalam sistem Islam, satu-satunya sistem yang telah terbukti memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Wallaahu a’lam bi ashshawab. (*)
Tinggalkan Balasan