OPINI: Hari Kemenangan, Merindukan Pemimpin Dambaan
Oleh : Ginna Sanita
(Penggerak Sahabat Hijrah Bandung)
HARI RAYA Idulfitri tahun ini kita rayakan dengan cara yang berbeda. Pandemi Covid-19 membuat budaya mudik dan silaturahmi dengan sanak saudara kini tidak bisa dilakukan.
Walaupun berat, namun demi keselamatan bersama, semua rela berkorban. Saat ini, kesehatan menjadi prioritas yang teratas.
Presiden RI pun mengimbau rakyat negeri ini untuk menerima kondisi ini dengan ikhlas, takwa dan tawakal.
Beliau percaya, keikhlasan, ketakwaan dan tawakal akan membawa keberkahan, hikmah, rizki juga hidayah. Ungkapan serupa dinyatakan pula oleh Bapak wakil presiden.
Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, sikap ikhlas menerima cobaan juga telah Baginda Rasulullah ajarkan kepada kita melalui sabdanya:
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً
“Tidak ada satupun musibah (cobaan) yg menimpa seorang muslim berupa duri atau yg semisalnya, melainkan dengannya Allah akan mengangkat derajatnya atau menghapus kesalahannya.” [HR.Muslim]
Maka hadirnya pandemi bagi seorang muslim yang takwa tidak akan membuatnya berlama-lama dalam kesedihan atau sampai berputus asa. Ia pun secara individu tidak akan semata berdiam diri—pasrah tanpa usaha.
Bersikap optimis menghadapi masalah telah diterangkan dalam al-qur’an bahwa ujian sesungguhnya datang dari Allah swt. Dan Allah senantiasa akan menyertainya dengan kemudahan.
Hanya saja, kemudahan yang Allah janjikan akan dapat diraih jika jalannya benar: sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Dengan berpegang teguh pada perintah dan larangan Allah dan RasulNya, segala musibah di negri ini—termasuk pandemic covid 19—pun akan mampu ditanggulangi.
Ibnu katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir mengatakan, dari Anas Ibnu Malik pernah menceritakan bahwa Nabi SAW duduk dan di hadapannya terdapat sebuah batu, maka beliau bersabda:
“Seandainya kesulitan datang, lalu masuk ke dalam batu ini, niscaya kemudahan akan datang dan masuk ke dalamnya, lalu mengusirnya. Dan Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (Alam Nasyrah: 5-6).
Pesan mendalam yang disampaikan oleh RI1 tentang bersikap takwa dan tawakal sesuai dengan tujuan puasa Ramadhan yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 183.
Hanya saja, bagi umat Islam, pengertian takwa tidak bisa secara serampangan kita ta’wil. Namun harus merujuk kepada para mufassir yang terpercaya.
Thalq bin Habib, seorang Tabi’in, salah satu murid Ibnu Abbas ra mengatakan, “Takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah SWT berdasarkan cahaya-Nya dengan mengharap pahala-Nya dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya-Nya karena takut terhadap azab-Nya.” (Tafsîr Ibnu Katsîr, I/2440).
Makna taqwâ itu sendiri, yang berasal dari kata waqâ yang artinya, melindungi. Kata tersebut kemudian digunakan untuk menunjuk pada sikap dan tindakan untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah SWT, yaitu dengan menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Totalitas ketakwaan harus terwujud dalam segala aspek kehidupan—termasuk dalam bermasyarakat dan bernegara, bukan pada tataran individual semata.
Iman dan takwa inilah yang akan menjadi kunci keunggulan masyarakat Islam. Dengan iman dan takwa, Rasulullah saw. dan para Sahabat ra. mampu mengubah masyarakat Arab Jahiliah menjadi masyarakat Islam yang unggul. Sehingga segala persoalan hidup mampu diatasi.
Pegaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan landasan Islam hanya akan dapat dilaksanakan dalam sistem pemerintahan Islam, bukan yang lain.
Islam akan memberlakukan syariah-Nya secara kaffah dalam semua aspek kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, sosial, dsb).
Diterapkannya syariah Islam akan mendatangkan keberkahan berlimpah-ruah yang memenuhi langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat (TQS al-Araf [7]: 96).
Sikap tawakal yang diamanahkan oleh RI 1 juga harus kita pahami berdasarkan firman Allah dan sabda rasulNya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang” (HR Ahmad (1/30), at-Tirmidzi (no. 2344), Ibnu Majah (no. 4164), Ibnu Hibban (no. 730) dan al-Hakim (no. 7894), dinyatakan shahih oleh, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani.
Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengisyaratkan bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).
Dalam kondisi pandemi ini,seorang muslim yang berusaha menjaga diri dan kaum kerabat dari pandemi ini adalah sebuah bentuk tawakal yang harus dilakukan untuk meraih qadha Allah yang terbaik.
Terlebih bagi seorang muslim yang di pundaknya ada amanah sebagai penguasa. Maka penyelesaian dan penanganan pandemi ini menjadi tanggung jawab dirinya.
Penguasa muslim akan mengoptimalkan perannya untuk memikirkan jalan keluar terbaik bagi kemaslahatan umat—Bukan bagi konstituen pemilihnya dan pengusaha yang mendukungnya semata.
Luasnya wilayah negeri ini dan banyaknya jumlah penduduk negeri ini tidak bisa menjadi alasan untuk tidak melakukan upaya maksimal menghadapi wabah ini.
Keprihatinan yang terucap dalam lisan para penguasa harus dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk kesadaran penguasa menyandarkan pengurusan negeri ini berdasarkan Syariah Islam. Begitupun kebijakan yang ditetapkan penguasa muslim akan bersumber dari Syariah Islam.
Penguasa Islam tidak akan berlepas diri dan menggantungkan upaya pada peran dan empati masyarakat terhadap sesama belaka.
Bukti dari ketawakalan itu tak bisa hanya dituntaskan dengan kesabaran yang pasif. Sangat disayangkan jika ajakan bersikap takwa dan tawakal kepada masyarakat tidak di barengi dengan sikap penguasa yang takwa dan taat: Menjalankan roda pemerintahan berdasar atas dasar aturan Allah SWT.
Dengan kepemimpinan berdasarkan Islam ini, penguasa muslim akan menjadi “sosok pemimpin yang bertakwa yang dirindukan umat”.
Sosok kepemimpinan seperti ini akan menghantarkan kepada kemenangan hakiki seorang penguasa dan menjadi wasilah datangnya keberkahan di dunia dan di akhirat. Sosok penguasa muslim yang menjalankan sistem Islam pada hakikatnya adalah kemenangan yang nyata bagi umat.
Pada saat itulah kaum Muslim bergembira atas pertolongan Allah SWT sebagaimana firman-Nya, “Pada saat itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa saja yang Dia kehendaki. Dia Mahakuat lagi Maha Penyayang.” (QS ar-Rum [30]: 4).
Marilah kita akhiri beragam bencana yang menimpa negeri dan dunia dengan segera bertobat kepada Allah SWT.
Segenap komponen bangsa: rakyat juga termasuk para penguasa dan pejabat negaranya harus segera bertobat dari dosa dan maksiat serta ragam kezaliman terbesar: tidak berhukum dengan hukum Allah SWT.
Padahal Allah telah berfirman, “Siapa saja yang tidak memerintah/berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan, mereka adalah para pelaku kezaliman.” (TQS al-Maidah [5]: 5).
Dengan pengaturan berdasar hukum Allah, akan sirna segala kesedihan, bersinar ketenangan dalam diri dan di tengah masyarakat.
Karena masyarakat teriayah dalam segala urusan kebutuhan hidup, keamanan, kesehatan dan keselamatannya. Wallahua’lam bishshawab. (*)
Tinggalkan Balasan