OPINI: Cukup untuk PSU, Pertimbangan Melalui Prinsip Utilitarian
Oleh: Zulkifli Safri (Koordinator JIMM Palopo)
Semua orang dalam negara yang menganut sistem demokrasi, yakin bahwa demokrasi adalah jalan terbaik untuk menentukan pemimpin.
Demokrasi memberikan kebebasan dan kesetaraan, tanpa melihat latar belakang atau status sosial. Apakah dia seorang professor atau tukang bangunan ataukah ibu rumah tangga.
Orang-orang ini berhak memilih dan dipilih, demokrasi memang hanya melihat dari segi kuantitas bukan kualitas. Sehingga perolehan suara terbanyak dalam satu pemilihan umum akan keluar sebagai pemenang.
Hal ini pasti memunculkan persoalan, bagaimana dengan mereka yang kalah (minoritas)? Apakah akan menerima kekalahan? Pertama, kalau minoritas menerima kekalahan dalam kontestasi, konsekuensinya kebijakan dari mayoritas belum tentu berpihak ke minoritas.
Kedua, jika minoritas tidak menerima kekalahan dalam kontestasi, akan muncul konflik yang berlarut-larut. Point kedua, terkait konflik dalam perebutan kekuasaan (power struggle) sering di temui dalam sejarah.
Munculnya konflik disebabkan 2 hal yaitu kekuasaan dan pencarian kendali dalam masyarakat. Kasus konflik kadang berujung pada kontak fisik antar sesama pendukung. Misalnya kasus the Capets: Perang Seratus Tahun antara Perancis dan Inggris.
Paling dekat dengan ingatan masyarakat Palopo, saat massa membakar Kantor Walikota di tahun 2013.
Penting untuk dipahami, bahwa demokrasi memang memungkinkan ekspresi konflik.
Tetapi cara memandang konflik perlu dirumuskan ulang. Cantal Mouffe melihat hubungan konflik antara hubungan musuh (antagonisme) dan hubungan lawan (agonisme). Antagonisme membayangkan penghancuran.
Agonisme terjadi dalam aturan permainan yang efeknya dapat mengubah struktur dan hubungan kekuasaan yang ada bahkan sambil mempertahankan aturan permainan. Salah satu jalan penyelesaiannya melalui PSU Pemungutan Suara Ulang) yang diatur dalam undang-undang.
Pelaksanaan PSU sebelumnya belum memuaskan salah satu kandidat. Kandidat pasangan calon nomor urut 3 (Rahmat-ATK) mengajukan gugatan ke MK. Hal ini menandakan kemungkinan akan ada PSU untuk kedua kali.
Tidak ada yang salah dengan gugatan tersebut. Tetapi perlu melihat dengan cara berbeda. Bukan lagi konflik antar kepentingan para elit politik. Melainkan dampak konflik kepentingan terhadap masyarakat secara umum.
Pandangan utilitarianisme dalam politik dapat membantu mengurai persoalan yang muncul, sebagai pertimbangan bagi elit politik yang merasa sangat peduli dengan masyarakat.
Hasil pemilihan menunjukkan bahwa pasangan Naili-Akhmad berada di 50,54%. Hampir separuh masyarakat Palopo melalui pemilihan yang demokratis (secara formal) telah memilih Naili-Akhmad.
Karena dalam demokrasi kuantitas menjadi tolak ukur maka pasangan ini keluar sebagai pemenang. Hasil ini mencerminkan keinginan mayoritas warga Palopo untuk dipimpin oleh suara terbanyak.
Prinsip dasar utilitarian adalah utilitas terbesar bagi jumlah terbesar. Utilitas bisa dipahami sebagai kebahagiaan, kesenangan, ataupun sebagai kepuasan atas preferensi.
Kalau PSU tidak membawa utilitas untuk sebagian besar orang, maka hal itu dapat ditolak. Bahkan Jeremy Bentham mengatakan “kita harus mematuhi pembuat aturan undang-undang sepanjang keuntungan dari kepatuhan lebih besar dari kerugian yang timbul jika tidak mematuhinya”.
Tetapi ternyata kepatuhan kita untuk melakukan PSU (apa yang diatur oleh undang-undang), malah menimbulkan kerugian.
Kerugian itu dapat dipaparkan. Pertama, jika PSU terjadi lagi pemerintah daerah harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Hanya untuk memuaskan sedikit elit politik yang menuntut “keadilan” atau mungkin egonya.
Dalam laporan Kumparan News (27 Februari 2025) Kota Palopo salah satu daerah yang belum siap untuk melaksanakan PSU akibat tidak adanya dana. Walaupun pada akhirnya, Palopo tetap melaksakan PSU yang menelan biaya 15,9M.
Menurut PJ Walikota anggaran yang akan digunakan yakni dari pos biaya tak terduga (BTT) dan pos lain yang bisa dihemat” (dilansir dari Detik Sul-Sel, Kamis 13 Maret 2025). Angka 15,9M sangat fantastis, hanya untuk membiayai para elit untuk berebut kekuasaan.
Kedua, masyarakat merasa jenuh, harus melakukan pemilihan berulang-ulang. Perasaan jenuh kurang memancing motivasi untuk berangkat memilih, sehingga motivasi itu hanya bisa dipicu dengan uang.
Artinya cost besar perlu dikeluarkan oleh kandidat untuk memotivasi masyarakat ke bilik suara. Kalo para kandidat melihat cost yang keluar sebagai modal yang harus dikembalikan, bukankah potensi untuk korupsi juga semakin tinggi.
Ketiga, kekosongan kepemimpinan mempengaruhi kebijakan yang diambil dalam birokrasi pemerintahan. Terjadi kebingungan dalam pengambilan keputusan, karena kurang koordinasi dan arahan yang jelas.
Pada akhirnya, ini bukan lagi 01, 02, 03, atau 04 tetapi masyarakat Palopo. Masyarakat yang lelah dengan perebutan kekuasaan elit politik. Serta berharap sudah ada pemimpin baru di Palopo. Masih banyak cara lain dalam demokrasi untuk mengawasi dan mengkritisi pemimpin terpilih nantinya.
Tinggalkan Balasan