OPINI: Corona, Anak dan Tahun Ajaran Baru
Oleh: Ummi Maksum M, S.Pi., M.Si
(Dosen di Palopo)
IKATAN Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah memberitakan kasus anak dan balita yang meninggal karena wabah covid-19.
IDAI mengungkap sejumlah 3.324 anak di RI berstatus PDP covid-19. Dari data tersebut, 129 anak berstatus PDP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif covid-19 dan 14 anak meninggal karena covid-19.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa tidak benar anak tidak rentan terhadap covid-19 ataupun anggapan bahwa anak-anak relatif aman dari wabah ini.
Setelah beberapa bulan melakukan social/phisycal distancing untuk memutus penyebaran covid-19, nampaklah kegagalan langkah ini.
Sebenarnya hal ini sudah bisa ditebak, mengingat langkah social/phisycal distancing memang bukanlah langkah yang disuarakan oleh para ahli epidemiologi, virus dan kesehatan untuk memutus penyebaran virus ini.
Sejak awal munculnya wabah ini, para ahli hingga masyarakat biasa sudah seringkali menyuarakan untuk melakukan lockdown dalam rangka memutus penyebaran virus ini, namun demikian pemerintah seakan menutup mata dan telinga terhadap seruan-seruan tersebut.
Bahkan ditemukan berbagai statemen yang seakan-akan menyepelekan wabah ini hingga akhirnya sebagaimana yang nampak terjadi, pemerintah malah mengambil kebijakan yang bertentangan dengan apa yang disuarakan oleh para ahli.
Beberapa bulan menjalani social/phisycal distancing serta berbagai protokol kesehatan yang pada akhirnya tidak mampu memutus penyebaran virus ternyata tidak membuat para pemangku kebijakan sadar akan kesalahan yang dilakukan.
Bukannya segera mengambil langkah yang benar sesuai dengan petunjuk para ahli yakni melakukan lockdown, malah kembali mengambil kebijakan yang tidak mampu diterima oleh akal sehat yakni hidup berdampingan atau berdamai dengan corona. Kebijakan yang dipaksakan dan tidak logis ini, dibuat seolah-olah sesuatu yang menakjubkan dengan melabelinya dengan nama “new normal”.
Berdasarkan kebijakan new normal ini maka kegiatan belajar mengajar yang sejak munculnya wabah ini dilakukan di rumah secara online, akan mulai untuk dilakukan secara tatap muka di sekolah pada pertengahan juli mendatang dalam rangka memulai Tahun Ajaran Baru. Kebijakan ini tentunya menuai pro kontra.
Betapa tidak, alih-alih takut tertular virus, berbagai masalah lain bermunculan dalam proses belajar mengajar online. Meskipun kegiatan belajar di rumah saat ini dirasakan adanya berbagai kendala, namun demikian hal tersebut sebaiknya tetap dilakukan mengingat bahaya yang ditimbulkan jika tertular virus ini.
Seruan untuk tetap melakukan kegiatan belajar bagi anak dan remaja dalam bentuk jarak jauh atau online juga merupakan saran dari IDAI.
Sungguh adanya wabah covid-19 ini menelanjangi sistem yang saat ini diterapkan di negara ini dan di seluruh dunia, hingga nampaklah kerusakannya bagi orang-orang yang mau berpikir.
Kerena itu, sejatinya cukuplah berbagai problematika yang menimpa negara ini dan dunia membuat manusia sadar akan keterbatasan dan kelemahan dirinya dalam upaya mengatur kehidupannya. Dan kesadaran ini membuatnya kembali kepada Allah SWT Pencipta Yang Maha Kuasa, disertai ketundukan total terhadap segala aturan-aturan-Nya.
Islam merupakan agama yang sempurna yang mampu untuk mengatur dan menyelesaikan semua problematika, sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS. Al-Nahl ayat 89 yang artinya “Dan Kami Turun kepada kamu kitab ini untuk menerangkan semua perkara”.
Menyikapi wabah, dalam islam sangat jelas solusinya yang sejalan dengan ilmu pengetahuan, sebagaimana yang disuarakan para ahli yakni lockdown.
Rasulullah Saw bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).
Apalagi terkait nyawa manusia, Rasulullah Saw bersabda, “Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An-Nasa’i).
Apalagi nyawa anak-anak. Anak adalah amanah yang harus dijaga dan akan dipertanggungjawabkan. Anak-anak saat ini juga merupakan generasi penerus yang akan membangun peradaban. Karenanya, islam sangat memperhatikan kebutuhan anak baik bagi jasmani, rohani hingga akalnya.
Upaya pemenuhan tesebut dimulai sejak sebelum anak lahir hingga anak tersebut tumbuh dan mampu mandiri.
Dalam rangka pemenuhan hak pendidikan anak, islam memulai dasarnya pada pendidikan di rumah oleh orang tua terutama ibunya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR Muslim).
Demikianpun, Ayah sebagai pemimpin dalam rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya mulai dari sandang, pangan dan papan juga pendidikan anggota keluarga. Meski demikian, negara wajib hadir untuk mengkondusifkan suasana agar keluarga mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya.
Misalnya negara harus menguatkan perekonomian demi memastikan sang ayah mendapatkan pekerjaan untuk menafkahi keluarga, menjaga lingkungan agar anak terjaga dari hal-hal yang memungkinkannya terjerumus dalam kemaksiatan, dan lain sebagainya.
Memahami kembali peran keluarga dalam memberikan pendidikan dasar di awal hidupnya, maka dalam menghadapi situasi pandemi saat ini, kiranya menjadi ajang bagi para orang tua untuk kembali menerapkan aturan islam dalam proses pemenuhan pendidikan dasar anak.
Sekali lagi perlu untuk mengambil hikmah atas wabah ini untuk mengembalikan semuanya kepada perannya. Dilema mengembalikan aktifitas belajar di sekolah di tengah wabah sebaiknya dihilangkan dengan menjalankan peran keluarga sebagaimana islam telah mengaturnya.
Karena sejatinya dalam Islam, pendidikan dasar bagi anak adalah pembentukan karakter Islamnya. Oleh karena itu, mari memenuhi kebutuhan anak tersebut melalui proses belajar di rumah bersama orang tua dengan keteladanan yang pasti membekas dalam ingatan anak. Dengan pendidikan dasar pembentukan karakter islam ini maka dengan izin Allah SWT, anak-anak akan memiliki kesadaran pribadi untuk mencintai proses menuntut ilmu dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Adanya kesadaran dan kecintaan terhadap proses menuntut ilmu dan ilmu itu sendiri akan meringankan beban para pendidik di masa depan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama tentang pentingnya mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Tinggalkan Balasan