OPINI: APBD dan Sikap Kritis DPRD
Oleh: Afrianto
(Direktur Celebes Development Center)
PASCA pelantikan anggota DPRD baru, mereka langsung diperhadapkan dengan berbagai tugas berat yang harus dirampungkan sesegera mungkin.
Pembentukan fraksi, penetapan pimpinan defenitif dari peraih kursi terbanyak, alat kelengkapan dewan dan persiapan pembahasan APBD pokok tahun 2020.
Sementara itu, komunikasi pembentukan fraksi masih menjadi perbincangan alot di partai politik.
Komunikasi intens para anggota DPRD dan pengurus partai terus dibangun untuk menguatkan koalisi partai dalam pembentukan fraksi sebagai kekuatan untuk pengambilan keputusan kedepannya.
Kita tahu bahwa fraksi sebagai perpanjangan tangan partai politik tentu akan mewarnai dinamika politik di tingkat alat kelengkapan dewan dan lobi-lobi di luar kelembagaan DPRD.
Mengingat fraksi tidak sekedar wadah berhimpun anggota partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat di DPRD, tapi juga erat kaitannya dengan pilihan sikap dan keputusan yang diambil dalam proses politik pemerintahan secara keseluruhan.
BB chawdry dalam bukunya modern pholitical theory (Moammad fahmi ; 2012) mengatakan bahwa Pola partisan perwakilan politik yang dijalankan DPRD, dapat menciptakan dilema bagi anggota DPRD untuk menjalankan hak-haknya.
Dilema itu terkait dengan peranannya sebagai wakil rakyat di satu sisi dengan kewajiban sebagai wakil dari partai politik yang menaungi dirinya di sisi lain.
Sistem pemilu yang masih membuka ruang bagi campur tangan elit partai untuk menentukan nomor urut di tengah peluang popularitas suara yang diperoleh oleh calon wakil rakyat, merupakan peluang campur tangan elit partai melalui fraksi kepada anggota terpilih.
Dalam konteks hegemoni ketergantungan ini, kalau terjadi pembangkangan terhadap garis kebijakan fraksi yang telah ditetapkan, akan mendorong lahirnya sanksi tertentu dari fraksi terhadap anggota bersangkutan.
Melalui hegemoni semacam ini menguatkan konsep kekuasaan (power) sebagaimana diteorikan oleh kalangan elit kelas Posisi fraksi yang strategis ini juga menentukan proses pembahasan agenda di DPRD tentang rencana kebijakan pemerintah daerah, salah satunya terkait pembahasan RAPBD.
Pada bulan juli-agustus lalu, pemerintah daerah telah mengajukan Rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas dan Platform Anggaran Sementara (PPAS) yang selanjutnya akan ditetapkan dengan nota kesepakatan antara PEMDA dan DPRD. Ini berdasarkan PERMENDAGRI 13/2006. Nota kesepakatan antara pemda yang disetujui oleh DPRD yang lalu mestinya sudah harus ditelaah dengan baik oleh anggota DPRD yang baru saja dilantik.
Rancangan APBD yang sedianya akan diserahkan oleh pemda di minggu pertama bulan oktober ini perlu untuk melihat detail program dan kegiatan yang disusun di Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) tiap SKPD, sinkronisasi KUA-PPAS dan RKA tiap SKPD harus menjadi pengamatan cerdas oleh anggota DPRD. Dan paling penting yang mesti dilihat oleh DPRD adalah trend belanja PEMDA dari tahun ke tahun pada bagian belanja, nilai anggaran dan kegiatan.
Kenapa penting? karena ini menyangkut progress dan pencapaian visi – misi pemerintah daearah. Misalnya, grafik belanja birokrasi dari tahun ke tahun yang mencakup belanja pegawai, barang dan jasa, apakah terjadi kenaikan cukup tinggi dari tahun ke tahun.
Data ini penting dipahami oleh anggota DPRD untuk membandigkan data peningkatan dari ketiga belanja di atas dengan belanja publik yang meliputi belanja modal, subsidi dan bantuan sosial, yang notabenenya belanja ini akan berdampak pada kehidupan dari masyarakat secara langsung.
Ini juga menjadi bahan evaluasi bagi DPRD sebagai lembaga pengawasan melihat komitmen dan kehendak politik pemerintah daerah.
Analisis kebijakan fiskal ini perlu dibahas bagi setiap anggota DPRD, karena
pengalokasian belanja yang di dorong oleh pemda diharapkan bekerja ke arah positif kinerja perekonomian daerah.
Pola hubungan antara variable fiskal dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, pertumbuhan PDRB, penurunan tingkat kemiskinan dan pengurangan pengangguran.
Tentunnya untuk menelaah ini, perlu bagi DPRD untuk mencermati data – data sebelumnya guna melihat progress kebijakan pemda dengan alokasi belanja yang disediakan tiap tahunnya.
Kementrian keuangan telah menyoroti pemda beberapa kali Karen belanja modal pemerintah daerah yang hanya mencapai 19 %, pemda masih mengutamakan anggaran belanja pegawai dibandingkan dengan allokasi belanja infrastuktur.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan per Juli 2018, dari anggaran belanja daerah sebesar Rp 1.153 triliun, sekitar 36% atau Rp410,6 triliun dialokasikan untuk belanja pegawai.
Belanja barang dan jasa sebesar Rp 270,6 triliun atau 23 %, sedangkan belanja modal hanya sebesar Rp 223,6 triliun atau 19% dari total belanja Pemda, (kata data).
Dalam konteks ini, fungsi anggaran dalam APBD memiliki beberapa aspek yang patut diperhatikan oleh pemda dan DPRD, diantaranya; alokasi anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan peningkatan kemampuan Sumber daya manusia, distribusi anggaran memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan dan fungsi stabilisasi untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi daerah.
Mereka yang telah diberi mandat oleh rakyat yang baru saja dilantik, tentu ini mejadi pertarungan sikap atas keberpihakannya pada rakyat atau mereka hanya sekedar membangun “komitmen politik” untuk kepentingan indvidu dan partai.
Semoga potret buruk yang dialamatkan pada DPRD selama ini bisa ditepis dengan menunjukkan sikap kritis mereka terhadap kebijakan anggaran pemda, kontrol kritis bagi pemda yang juga selama ini “dianggap” memainkan anggaran rakyat.
Tentunya, koalisi yang dibangun dalam bentuk fraksi adalah sebuah upaya untuk menguatkan legitimasi mereka dalam mengontrol kebijakan pemerintah daerah. (*)
Tinggalkan Balasan