Kesenjangan dan Intimidasi di Lingkar Tambang PT Vale, Catatan Webinar Peta Pertambangan
PALOPO, TEKAPE.co – Kehadiran perusahaan tambang, sejatinya membawa anugerah, tapi kadang juga menjadi petaka bagi masyarakat di wilayah sekitar konsensi.
Kehadiran perusahaan dengan nilai investasi triliunan rupiah, sejatinya berdampak baik bagi kesejahteraan masyarakat sekitar.
Hanya saja, di banyak tempat, mereka yang berada di sekitar tambang banyak yang makin terpuruk.
Salah satu penyebabnya, karena lahan mereka yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah, kini tak lagi bisa digarap. Mereka juga terpaksa menerima konsekuensi air dan lingkungan yang tak lagi sehat.
Kondisi ini dibahas dalam Webinar bertema ‘Peta Jalan Pertambangan di Tana Luwu’ Sabtu 31 Juli 2021, yang digagas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu.
Diantara banyak masalah yang dibahas adalah pemenuhan hak-hak masyarakat adat di lingkar tambang, yang kerap terabaikan, dan bahkan kadang diintimidasi.
Keynote speaker dalam Webinar ‘Peta Jalan Pertambangan di Tana Luwu’, Wakil Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia, Prof Dr Aswanto SH MSi DFM, di akhir pemaparannya, menekankan beberapa poin penting untuk pemerintah dan pelaku pertambangan yang ada di tana kelahirannya, Tana Luwu.
“Pemerintah harus hadir sesuai amanat UUD Pasal 33, selain itu bilamana ada kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh tambang sebaiknya Negara harus selektif memberikan ijin tambang,” tegas Prof Aswanto.
Bahkan, lebih lanjut prof Aswanto memberikan gambaran tentang masyarakat harusnya lebih sejahtera setelah ada tambang.
“Seharusnya, Masyarakat yang ada pada lingkar tambang lebih sejahtera pasca adanya tambang di wilayahnya, bukan menghadirkan kesengsaraan, bahkan konflik masyarakat dan tambang,” tandasnya.
Kesenjangan dan Konflik di Masyarakat Adat Karunsie
Sementara itu, Pembicara lainnya, Ketua BPH Aman Tana Luwu, Bata Manurun, memberikan pemaparan soal Masyarakat Adat di sekitar Tambang. Menurutnya, kesejahteraan masyarakat begitu sangat penting untuk diperhatikan.
“Wilayah-wilayah konsesi tambang yang ada di Tana Luwu adalah sebagian besar adalah wilayah yang didiami oleh Masyarakat Adat, misalkan PT Vale yang sebelumnya PT Inco, sampai detik ini masyarakat adat yang tanahnya dirampas atas nama tambang, masih terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka,” ungkap Bata Manurun.
Bata Manurun menceritakan, di perkampungan masyarakat adat Karunsie Dongi, terjadi kesenjangan yang cukup tinggi.
Ia menggambarkan, terdapat rumah penduduk yang mirip gubuk, yang tak jauh dari lokasi lapangan golf PT Vale. “Anak-anak di sana, sering ikut memungut bola golf,” kata Bata Manurun.
Sedangkan konflik di wilayah adat adanya saling klaim tanah antara perusahan dan masyarakat adat.
Selain itu, kata Bata Manurun, pada masalah ekonomi, di masyarakat adat Karunsie, sekitar 18 persen masyarakatnya tidak punya pekerjaan, hanya 35 persen menjadi buruh perusahaan, petani 22%, dan lain-lain 25%.
Bata mengatakan, Masyarakat Adat menunutut hak untuk ‘menguasai’ (memiliki, mengendalikan) dan mengelola (menjaga, memanfaatkan) tanah dan sumberdaya alam di wilayah adatnya.
“Juga hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat. Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/kelembagaan adat, dan hak atas identitas, budaya, sistim pengetahuan (kearifan tradisional) dan bahasa asli,” terangnya.
Bata Manurun meminta, agar negara segera hadir di tengah-tengah masyarakat adat melalui Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (PPMHA).
“Di Tana Luwu ini tersebar 145 Komunitas Masyarakat Adat, bahkan ada potensi bisa bertambah. Ini artinya Pemerintah harus lebih cermat dan cepat seperti Kabupaten Luwu dan Luwu Utara menetapkan Perda PPMHA, karena dimasa akan datang Garda terdepan penjaga Kawasan Adat seperti Budaya, Lingkungan Hidup dan Hutan adalah mereka (masyarakat Adat),” tegas Bata Banurun.
Sedangkan penanggap dalam Webinar itu, Eryanti Zain SS MHum, mengatakan, hak masyarakat lokal di sekitar Dana Mahalona, sudah hampir hilang.
Hal itu karena kondisi lingkungan sudah rusak, jumlah spesies di danau Mahalona, turun drastis. Akibatnya, ketika situasi pandemi saat ini, karena sumber daya alam sudah rusak, tangkapan ikan di danau sudah sangat berkurang.
“Hasil analisis situasi 2016-2019, yang telah kami serahkan ke PT Vale, menunjukkan kondisi lingkungan danau Mahalona. Anak sungai telah menjadi daratan. Seperti di Sungai Timbala, terdapat sidementasi 5-7 meter. Sedangkan Gunung Sumbita, yang menjadi satu-satunya sumber mata air Sungai Timbala, kabarnya akan ditambang. Jika itu terjadi, maka hak masyarakat lokal akan benar-benar hilang. Sebab air sungai itu dipakai untuk mengaliri sawah,” tandasnya.
Sementara kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat lokal, ketika bendungan Petea belum tercemar, tangkapan nelayan bisa sampai 20 tandang per hari, sekarang sisa 2 tandang per hari.
“Data 2018, terdapat 60 KK status keluarga miskin di sekitar Danau Mahalona. Kebanyakan dari mereka sama sekali tidak mengecap pendidikan. Ini cukup kontras, perusahaan dengan nilai investasi besar, namun tak berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat di lingkar tambang,” tandas Eryanti Zain.
Pembangunan Ekonomi Inklusif Lutim Tertinggal
Keberadaan PT Vale Indonesia Tbk, tak memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan ekonomi inklusif di Kabupaten Luwu Timur (Lutim).
Dari data Bappenas, pembangunan ekonomi inklusif, menunjukkan Lutim berada di urutan kedua terakhir dari 24 kabupaten/kota di Sulsel. Lutim masih sangat jauh tertinggal, dari segi pembangunan ekonomi inklusifnya.
“Ini menunjukkan kegiatan atraktif pertambangan, tidak berkolerasi dengan sektor lain,” jelas Direktur Celebes Development Center, Afrianto, S.Pd., M.Si, dalam materinya pada Webinar Peta Pertambangan Tana Luwu.
Afrianto, yang juga ekonom muda Tana Luwu, berharap, output dari perusahaan tambang dapat berdampak ke lapangan usaha lainnya.
“Karena ini kekayaan yang tidak dapat diperharui, maka harusnya didesain agar bisa berdampak ke lapangan usaha lainnya, yang dapat terus diperbaharui,” katanya.
Dari sisi penyerapan tenaga perusahaan tambang, kata Afrianto, masih sangat kecil.
“Kondisi masyarakat kita memang, dari segi tingkat pendidikan, tidak bisa terserap, karena banyaknya masyarakat tingkat pendidikannya yang rendah, mayoritas hanya sampai SMP,” katanya.
Catatan Komnas HAM; Intimidasi PT Vale di Masyarakat Adat Karunsie Dongi
Narasumber lainnya dalam Webinar Peta Pertambangan itu, Anggota KOMNAS HAM, Sandrayati Moniaga. Dia menceritakan, pihaknya sempat turun ke perkampungan Karunsie Dongi, Luwu Timur.
Dalam catatan Inkuiri Komnas HAM, Konflik Agraria, 2016 halaman 427, Sandrayati menceritakan adanya intimidasi pihak tertentu dalam masalah lahan.
Bentuk intimidasinya, yaitu mereka mengatakan; “Bapak jangan tinggal di sini, karena ini adalah tanahnya PT Inco (PT Vale).”
Warga setempat, Husain (60), lalu menjawab, “sebagai orang bodoh, saya mengatakan, tidak pernah melihat PT Inco (PT Vale) membawa tanahnya datang ke sini, dan menempelkan di tanah adat kami di sini.”
“Pihak perusahaan mengatakan telah membeli lahan ini. Lalu saya menjawab, kalau PT Inco (PT Vale) telah membeli tanah ini, siapa yang menjual dan kepada siapa uangnya diberikan? Kemudian mana buktinya, sampai sekarang kami belum pernah diperlihatkan,” ujar Husain.
“Kalau bapak atau orang Karunsie Dongi punya tanah ini, dimana sertifikatnya?”
Husain pun menjawab; “Kalau saya yang berumur 60 tahun ini tidak mengenal yang namanya sertifikat. Sertifikat kami adalah orang mati. Tidak ada binatang yang punya kuburan. Tidak ada binatang yang tanam kelapa, yang buat kampung, dan tidak ada binatang yang buat sawah dan kampung. Jadi sertifikat adat kami adalah kuburan, bekas kampung, situs-situs lain berupa kuburan batu. Itulah sertifikat kami. Tidak ada yang ditulis seperti pemerintah.”
Anggota KOMNAS HAM, Sandrayati Moniaga, menjelaskan, potensi pelanggaran HAM pada setiap tahapan pertambangan.
Dia menjelaskan, pada tahap eksplorasi, pada saat fase pengumpulan data, sampel dan sosial, isu Hak Asasi Manusia (HAM) yakni hak atas informasi, hak berpatisipasi, dan hak atas rasa aman.
“Kemudian pada tahapan eksploitasi, saat pembangunan sarpras penambangan, masyarakat berhak menerima informasi, kekayaan, hak pekerjaan, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak khusus masyarakat adat, perempuan, anak, dan disabilitas, dan sebagainya,” terangnya.
Selanjutnya, pada tahapan pemrosesan hasil tambang, pembuangan dan pemrosesan limbah, masyarakat berhak atas informasi, kekayaan, hak atas lingkungan yang baik dan sehat, dan hak atas kesehatan, dan seterusnya.
Begitu juga saat tahapan penutupan. Masyarakat tetap mempunyai hak dasar dari perusahaan.
Sementara itu, Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi, dalam materinya, mengungkapkan jika hingga saat ini, masyarakat adat terus mengalami perampasan wilayah adat, yang diikuti dengan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.
Dia mengatakan, perampasan wilayah adat banyak dilakukan perusahaan tambang. Wilayah adat dihabisi wilayah konsesi, seperti yang di Kabupaten Paser, Kaltim.
Rukka Sombolinggi juga memaparkan dampak dari keberadaan PT Vale Indonesia. Dari sisi lingkungan, PT Vale telah membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih, membuat lingkungan berdebu, terutama saat musim kemarau.
“Sedangkan dari sisi ekonomi, keberadaan Vale membuat hilangnya sumber pencarian. Kampung yang dulunya lumbung padi, menjadi tidak produktif. Ini membuat masyarakat adat Karunsie Dongi tidak bisa bertani,” terangnya.
Kemudian dari segi sosial budaya, terjadi konflik horizontal, karena aktivitas PT Vale menggunakan politik uang (ganti rugi, buruh vs non buruh. Dari segi budaya, rusaknya pranata sosial masyarakat adat Karunsie Dongi.
Pengangguran Meningkat di Lutim, Vale Sumbang 20% APBD
Bupati Luwu Timur, Drs Budiman Hakim MPd, yang berbicara terkait kontribusi pertambangan terhadap pendapatan daerah dalam Webinar itu, mengatakan, PT Vale Indonesia, dulu PT Inco, telah ada 53 tahun beroprasi di Lutim.
“PT Vale telah menyumbang pendapatan dari segi PAD, BPHTB, PJU, pajak reklame, dan retribusi IMB dan tower, hibah listrik, dan sumber pendapatan lainnya,” jelasnya.
Budiman mengatakan, APBD Lutim saat ini hanya Rp1,5 triliun, padahal punya potensi besar. Dari total APBD Lutim, PT Vale telah menyumbang Rp375 miliar, atau 20 persen terhadap APBD.
“Saat ini, terdapat penurunan kemiskinan di Lutim, namun angka pengangguran juga meningkat. Untungnya, PT Vale selama pandemi ini, belum ada PHK, namun malah ada perekrutan karyawana baru,” ujar Budiman.
Budiman juga menyampaikan, dahulu luas wilayah konsesi PT Vale Indonesia seluas 118.017 hektar, setelah direvisi, tersisa 70 ribu hektar.
“Kami telah melakukan berbagai upaya agar Lutim bisa terus meningkat. Salah satunya kami telah menyurati PT Vale. Ada 11 isu strategis yang kami sampaikan. Ini bagaimana agar pendapatan daerah meningkat, hak masyarakat adat diperhatikan, termasuk peningkatan SDM dengan pemberian beasiswa kepada anak-anak kita,” katanya.
Juga, kata Budiman, salah satu poin dalam 11 poin surat ke PT Vale adalah divestasi saham PT Vale, agar bagaimana Pemda juga mempunyai saham. Terkait hal itu, 9 Agustus nanti, diagendakan pertemuan dengan PT Vale.
“Kami juga mendorong kontraktor nasional yang ada di PT Vale, agar membantu membangun ruang terbuka hijau (RTH). Ada 11 perusahaan yang telah bersedia, dan 6 diantaranya telah teken MoU,” ujarnya.
Budiman juga mengatakan, pihaknya juga telah berupaya agar bagaimana masyarakat adat ikut menikmati keberadaan perusahaan.
“Saya tahu, Komnas HAM pernah masuk ke wilayah adat Dongi, agar bagaimana ada listrik dan fasilitas publik diberikan. Saat almarhum bupati Husler, telah memperjuangkan itu. Namun saat ini, di kampung Dongi, di Wasuponda, ada kendala akses air bersih di kawasan hutan. Ini kami berharap ada pembebasan status kawasan hutan lindung dari KLHK,” kata Budiman.
Sementara itu, Penanggap dalam Webinar itu, Bachrianto Bachtiar, yang juga akademisi Unhas, memuji terobosan Bupati Budiman, yang telah secara terbuka menyurat ke PT Vale.
“Terobosan bapak Budiman ini luar biasa. Barusan ada kepala daerah yang menyurat ke PT Vale dan disampaikan secara terbuka. Ini bagaimana agar aktivitas tambang lebih bermanfaat,” katanya.
Senada juga disampaikan penanggap dari Praktisi Pertambangan, yang juga mantan petinggi PT Vale, Dr. Sawedi Muhammad, S.Sos., M.Sc. Dosen sosiologi Unhas ini juga mengapresiasi langkah berani yang diambil Bupati Lutim Budiman.
“Saya rasa, ini sebuah langkah kongkrit. Kepemilikan saham Pemda di PT Vale saya rasa penting, agar perusahaan dapat melibatkan langsung pemda, dalam pengambilan kebijakan strategis bagaimana kontribusi perusahaan terhadap daerah,” katanya.
Seminar online yang dipandu Moderator Isnul Ar Ridha itu menghadirkan Pemerintah, Pakar, Ahli, Akademisi, Aktivis dan Masyarakat Sekitar Tambang.
Hadir sebagai Keynote speaker ada Prof. Dr. Aswanto, SH., M.Si., D.F.M (Wakil Ketua MK), Dr. Ir. Bambang Hendroyono (Sekjen KLHK RI), Dr. H. Basmin Mattayang., M.Pd (Bupati Luwu) diwakili asisten I Rudi Dappi, Hj. Indah Putri Indriani, S.IP., M.Si (Bupati Luwu Utara), dan Drs H. Budiman Hakim, M.Pd (Bupati Luwu Timur).
Sementara narasumber, ada Sandrayati Moniaga (Anggota KOMNAS HAM), Rukka Sombolinggi (Sekjen Aman), Merah Johansyah Ismail (Jatam), Baso SH (Masyarakat Adat Sekitar Tambang), Bata Manurun (Ketua Aman TL), dan Afrianto Nurdin, S.Pd., M.Si (Direktur Celebes Development Center).
Sedangkan Penanggap dari akademisi Unhas Ir. Bachrianto Bachtiar, M.Si, dan mantan petinggi PT Vale Indonesia (dulu PT Inco), Dr. Sawedi Muhammad, S.Sos., M.Sc. dan Eryanti Zain SS MHum. (*)
Tinggalkan Balasan