Intip Suasana Desa Batu Alang, Kampung Kakao di Luwu Utara
SABBANG, TEKAPE.co – Usai sarapan pagi, puluhan petani bergegas berangkat ke kebun.
Di kolong rumah, mereka menyiapkan peralatan pendukung untuk memetik buah kakao.
Mereka adalah para petani kakao di Desa Batu Alang, Kecamatan Sabbang, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
“Ini hari libur, jadi banyak yang ke kebun mau petik coklat (buah kakao),” kata petani kakao di Batu Alang, Abdul Rauf, Sabtu (31/3/2018).
Tahun 2017, desa berjarak 35 kilometer dari Masamba arah selatan, ibu kota Luwu Utara ditetapkan sebagai Kampung Kakao oleh pemerintah setempat.
Penetapan itu diikuti dengan pemasangan gerbang selamat datang di Kampung Kakao di perbatasan desa yang berdiri sejak 15 tahun silam.
Peredikat itu terbilang wajar, pasalnya terdapat 427,08 hektar kebun kakao di Batu Alang atau sekitar 90 persen dari luas wilayah.
Mustamin (46), kepala desa setempat adalah orang pertama yang mengagas Kampung Kakao tahun 2013.
Kala itu, Pupus, panggilan akrab Mustamin dari masyarakat baru saja terpilih melalui Pilkades.
“Setelah terpilih, saya berfikir di Batu Alang ini banyak kebun kakao, makanya saya mengusulkan supaya dijadikan sebagai Kampung Kakao,” terang Pupus di teras rumahnya.
“Baru pada tahun 2017, master plan-nya disusun dan Batu Alang resmi ditetapkan jadi Kampung Kakao,” Pupus menambahkan.
Kepada Tekape.co, Pupus lalu menceritakan kondisi tanaman kakao di desa yang ia pimpin.
Penduduk Batu Alang yang sebagian besar merupakam keturunan dari Sidrap mulai menanam kakao awal tahun 80-an, ketika itu Batu Alang masih bagian dari Desa Kalotok.
Wilayah Batu Alang yang dilintasi Sungai Rongkong, sungai terbesar di Luwu Utara jadi lokasi yang subur untuk tanaman kakao.
“Dulunya Batu Alang ini rawa-rawa sehingga tanahnya subur dan cocok untuk tanaman kakao,” ujar kepala desa yang senang dunia seni.
Pada pertengahan tahun 2000-an, tanaman kakao di Batu Alang mulai menua dan terserang berbagai macam penyakit.
Sebagian besar terserang hama penggerek buah kakao (PBK) atau conophomorpa cramerella, nama ilmiahnya.
Serangan hama PBK tersebut berdampak pada produktivitas buah kakao di Batu Alang yang menurun hingga 70 persen.
“Ketika saya sudah kepala desa, saya mengajak masyarakat kembali meremajakan tanaman kakao mereka. Alhamdulillah, sudah banyak yang meremajakan,” katanya.
“Jadi saat ini tanaman kakao seluas 427,08 hektar di Batu Alang terdiri dari tanaman belum menghasilkan, tanaman menghasilkan, dan tanaman tua,” jelas Pupus.
Guna mendukung keberdaan Kampung Kakao, pemerintah Luwu Utara pada tahun 2017 memberikan bantuan ke kelompok tani 40.800 bibit kakao jenis klon M45 atau MCC 02.
“Bantuan itu diperuntukan untuk peremajaan di lahan seluas 50 hektar,” katanya.
“Sayang tahun ini tidak ada lagi bantuan bibit kakao untuk Batu Alang. Semoga tahun depan ada lagi, karena masih banyak kebun yang mau diremajakan,” tuturnya.
Sekedar untuk diketahui, hingga awal 2018, penduduk Batu Alang sebanyak 1.020 jiwa, terdiri dari 200 kepala keluarga (KK).
“Hampir semua warga Batu Alang ada kebun kakaonya. Mulai dari 1 sampai 5 hektar per KK,” paparnya.
Sementara itu, produksi biji kakao kering di Luwu Utara sepanjang tahun 2017 mencapai 26.274 ton.
Itu berdasaekan data Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Luwu Utara.
Kepala TPHP Luwu Utara, Agussalim Lambong menyebut, luas tanaman kakao Luwu Utara mencapai 39.410 hektar.
Terdiri, 7.511 hektar tanaman belum menghasilkan, 26.540 tanaman menghasilkan, dan 5.358 tanaman tua.
“Rata-rata produktivitas tanaman kakao di Luwu Utara adalah 990 kilogram biji kering per hektar dalam setahun,” tuturnya.
Petani kakao Luwu Utara mencapai 28.020 KK.
Di Luwu Utara, terdapat pula Tugu Kakao di persimpangan jalan lingkar utara-selatan dan poros Trans Sulawesi, Kecamatan Masamba.
Tugu ini merupakan simbol sekaligus ikon Luwu Utara sebagai daerah penghasil kakao.(ch/jsm)
Tinggalkan Balasan