oleh

Indikasi Gagalnya Wacana Penundaan Pemilu 2024 Menguat, IPO: 3 Ketum Parpol Tidak Miliki Kekuasaan Penuh

JAKARTA, TEKAPE.co – Usulan penundaan Pemilu 2024 yang dihembuskan oleh Menteri di kabinet Joko Widodo hingga sejumlah Ketua Umum Partai Politik dinilai pengamat politik akan layu sebelum berkembang.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, indikasi gagalnya wacana untuk menunda Pemilu 2024 semakin menguat dalam beberapa waktu belakangan.

Sebab, ia menilai, satu-persatu dalih yang digunakan pihak pengusung wacana penundaan Pemilu 2024, salah satunya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sudah mulai lemah dan terbantahkan.

Dedi mencatat, setidaknya ada tiga celah yang dimanfaatkan Parpol pengusung agar wacana penundaan Pemilu 20224 dapat benar-benar terealisasikan.

Ketiga celah tersebut merupakan, anggaran Pemilu 2024 yang belum disahkan, pelantikan anggota KPU-Bawaslu yang belum terealisasi, serta rencana amandemen UUD 1945 untuk perpanjangan masa jabatan presiden.

Akan tetapi, Dedi menilai celah tersebut saat ini telah tertutup. Pasalnya, Komisi II DPR RI mengaku telah sepakat dengan usulan anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp86 triliun, sementara Kantor Staf Presiden sudah memastikan pelantikan anggota KPU-Bawaslu akan dilaksanakan pada April mendatang.

Di sisi lain, menurutnya MPR juga sudah memberikan gelagat penolakan amandemen UUD 1945 untuk perpanjangan masa jabatan presiden. Oleh sebab itu, Dedi menilai, kans wacana penundaan Pemilu 2024 benar-benar terealisasi sangatlah kecil.

“Wacana ini sejak awal hanya menguji respon publik, dan hanya sedikit elit yang benar-benar menginginkan adanya penundaan Pemilu 2024,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat 18 Maret 2022

Dedi mengatakan, hal tersebut juga bisa dilihat dari tokoh-tokoh sumber wacana penundaan pemilu yang dinilai tidak memiliki relasi cukup kuat dengan politik. Semisal Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Luhut.

Sedangkan untuk tokoh Ketua Umum partai seperti Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar dan Zulkifli Hasan, Dedi berpendapat, ketiganya tidak memiliki kekuasaan penuh terhadap Parpolnya sendiri.

“Jadi situasi sudah terbaca, jika wacana penundaan pemilu hanya akan jadi wacana. Layu sebelum berkembang,” tuturnya.

Kemungkinan tersebut, kata dia, juga semakin menguat ketika wacana penundaan Pemilu 2024 mendapatkan penolakan keras tidak hanya dari kubu oposisi Demokrat dan PKS. Melainkan juga dari internal koalisi yakni PDI Perjuangan dan NasDem.

Padahal, selama ini koalisi pemerintah selalu kompak terhadap isu ataupun rencana kebijakan yang dilemparkan kepada publik.

“Ini menguatkan jika wacana penundaan pemilu itu hanya dihembuskan oleh oknum penguasa saja,” jelasnya.

Di sisi lain, Dedi menduga kuat bahwasanya wacana penundaan pemilu yang disampaikan ketiga Ketum Parpol tersebut tidak murni berasal dari internal partai.

Menurutnya, baik Airlangga, Cak Imin, atau Zulhas mendapatkan tekanan dari sosok tertentu untuk mendukung wacana tersebut. Pasalnya ketiga sosok tersebut tidak memiliki kekuasaan penuh di partainya.

Kontras dengan sosok Ketum Parpol koalisi yang menolak yakni Megawati, Prabowo, dan Surya Paloh yang juga merangkap sebagai pemilik atau pendiri partai.

“Itulah sebabnya, tiga tokoh ini tidak gegabah dan latah mendukung, karena mereka sulit ditekan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Dedi mengatakan, ketiga Parpol yang mendukung isu penundaan Pemilu tersebut kini juga harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk untuk kehilangan sumber suara.

Sementara bagi trio Ketum Parpol tersebut untuk di “depak” dari partai juga sangat terbuka. Sebagai langkah “cuci tangan” bahwasanya isu penundaan pemilu bukanlah keputusan dari Parpol.

“Tiga tokoh ini sama-sama tidak memiliki kekuasaan penuh terhadap Parpolnya, artinya jika terjadi guncangan di internal, bukan tidak mungkin terjadi gejolak yang dapat menghentikan langkah ketiganya sebagai ketua umum,” ujarnya.

Kendati demikian, Dedi menilai, kans penundaan Pemilu 2024 tidak sepenuhnya hilang. Mengingat situasi politik cenderung dinamis dan memungkinkan adanya perubahan.

Apalagi pada pemerintahan Jokowi yang kedua ini, partai koalisi sangat mendominasi ruang kekuasaan. Karenanya, ia menila peluang amandemen UUD 1945 untuk memperpanjang masa jabatan presiden masih tetap ada.

“Celah tetap ada mengingat pemerintahan kali ini mendominasi ruang kekuasaan. Tetapi jika tidak mendapat restu dari Parpol dominan, terutama PDIP dan Gerindra, tidak akan terjadi penundaan,” tuturnya.

Hanya saja, Dedi menilai, ongkos untuk mendukung wacana penundaan pemilu terlampau besar bagi kedua Parpol tersebut. Gerindra menurutnya, dapat kehilangan momentum untuk mengusung Prabowo sebagai Capres apabila Pemilu 2024 harus diundur selama 2 tahun.

“Jadi memang sudah kehabisan jalan untuk meneruskan wacana,” jelasnya.

Pendapat serupa juga disampaikan Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Jati. Wasis menilai, meskipun pelbagai argumentasi penundaan pemilu telah terbantahkan, wacana tersebut masih akan tetap berkembang.

Sebab, belum ada komitmen politik secara konkret dari Parpol untuk benar-benar tidak melakukan amandemen UUD 1945 untuk isu perpanjangan masa jabatan presiden.

“Meskipun berbagai argumentasi telah membantah wacana penundaan pemilu, saya pikir wacana tersebut akan tetap berkembang. Salah satu celahnya adalah proposal amandemen ke V UUD 45,” tuturnya.

Menurutnya, situasi yang terjadi saat ini hanyalah siasat dari para inisiator sambil menunggu gejolak politik sedikit mereda di publik usai melempar isu panas tersebut.

Karenanya ia menilai, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan masyarakat adalah dengan terus menyuarakan penolakan terhadap wacana penundaan pemilu.

“Terlebih lagi dinamika isu yang berkembang terkadang membuat publik alpa terhadap penundaan pemilu tersebut,” pungkasnya. (*)

Komentar

Berita Terkait