Tekape.co

Jendela Informasi Kita

OPINI: Generasi Milenial

Oleh: Rais Laode Sabania
*
Mantan Ketua PMII Cabang Palopo

Siapakah generasi milenial itu? Apakah semua kita mengerti akan sebutan itu, Yang dewasa ini menjadi topik yang cukup hangat di berbagai kalangan, mulai dari segi pendidikan, teknologi, politik, maupun moral dan budayanya.

Generasi milenial kadang disebut dengan generasi Y, sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an. Artinya generasi milenial adalah generasi muda yang berumur 17-37 pada tahun ini.

Generasi milenial dianggap special karena memiliki perbedaan yang cukup tajam dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal teknologi. Generasi milenial memiliki ciri khas tersendiri, mereka lahir pada saat TV sudah berwarna, handphone semakin canggih, serta fasilitas internet yang sudah massif diperkenalkan, sehingga tidak heran jika generasi milenial ini sangat mahir dalam teknologi.

Berbeda dengan generasi jaman old (X), yang lahir disaat TV masih masih layar hitam putih, internet belum massif, handphone belum ada, dan kalaupun ada, handphone masih layar kuning (baca; senter-senter), semua masih serba terbatas, sehingga bisa kita lihat tidak sedikit generasi jaman old yang gaptek kan….? Wkwkwk

Tapi saya kira bukan perbedaan-perbedaan itu yang hendak ditonjolkan melalui tulisan ini, sama sekali bukan. Melainkan, tulisan ini berupaya mengurai apakah tuduhan-tuduhan atas generasi milenial selama ini secara general bisa dibenarkan?

Ada beberapa hal yang seringkali disematkan kepada generasi milenial,  diantaranya; generasi milenial dianggap cenderung tidak peduli terhadap keadaan social disekitar mereka, seperti dunia politik ataupun perkembangan politik-ekonomi yang terjadi di bangsa ini.

Kebanyakan generasi milenial hanya peduli dan membanggakan pola hidup kebebasan dan hedonisme, yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kafé-kafé dan warung kopi, hanya untuk bermain game online, memamerkan HP baru, baju baru dan model rambut barunya.

Betulkah demikian? Apakah generasi milenial betul-betul tidak memiliki kepedulian social, betul-betul tidak memiliki kepedulian terhadap situasi ekonomi politik di Negeri ini?

Saya kira tidak, ada yang menarik dari generasi milenial, bahwa ditengah gempuran modernisme; perkembangan teknologi, dan mesin-mesin hasrat kota yang semakin massif, generasi milenial tidak hanya bisa berbicara mengenai tas baru, handphone baru, baju baru, game baru, aplikasi baru, tempat nongkrong baru, akan tetapi generasi milenial secara bersamaan berbicara mengenai isu-isu kerakyatan, perkembangan politik, berbicara mengenai korupsi yang semakin menggurita, masih bisa mengkritik keadaan negara.

Tentu, hal tersebut harus kita apresiasi, dan kita harus selalu optimis, bahwa tidak semua dan tidak melulu generasi milenial itu apatis dan menutup mata terhadap persoalan social-ekonomi-politik yang terjadi, kendatipun memang konteksnya berbeda, yang terkesan lebih elitis, diskusi di kafe-kafé, warung-warung kopi dan dimanjakan dengan segala fasilitas yang serba canggih.

Tapi apa hendak dikata, kenyataannya sudah seperti itu, Arus modernisasi tak terelakkan lagi, perubahan dan kemajuan terus terjadi. Dengan demikian, saya kira persoalannya sekarang bukan soal mereka nongkrong dimana, dimanjakan dengan fasilitas apa saja?

Tapi apakah semua itu membuat mereka menjadi tidak peduli? Faktanya tidak, mereka masih memiliki kepedulian, dan masih mau membincang masalah-masalah kerakyatan.

Memang, tidak semua kita bisa menerima begitu saja keadaan yang demikian itu, tidak semua orang terbiasa berdiskusi diwarung-warung kopi, ditempat-tempat mewah dan lain sebagainya, akan tetapi adakah diantara kita yang bisa terbebas dari kemajuan jaman? Adakah diantara kita yang sama sekali tak tersentuh dengan kecanggihan teknologi? Saya rasa jawabannya, tidak ada.

Jika kemudian, diantara kita ada yang berpendapat bahwa diskusi diwarung kopi, terkesan menjauhkan isu kerakyatan dari lingkungan kampus, saya rasa ada benarnya juga, apalagi dalam kenyataannya memang yang banyak menjadi peserta diskusi di kafé-kafé dan warung-warung kopi itu adalah aktivis mahasiswa, dan kelompok elit mengengah keatas.

Namun demikian, sesekali kita juga harus melihat jauh kebelakang, bahwa dalam catatan sejarah revolusi, Siapa sangka revolusi prancis yang termasyhur itu ternyata bermula dari sebuah kafe, sebuah kedai kopi?

Adalah seorang warga Italia bernama Francesco Procopio Dei Coltelli yang mendirikan kafe di Paris pada tahun 1686. Pada saat itu kafe belum begitu dikenal. warung kopi Procopio pun hanya menyediakan tempat mengobrol dan minum kopi.

Tradisi makan di luar juga relatif baru. Ia lalu menyewa sebuah rumah dan digunakan untuk berjualan tidak hanya kopi, tetapi juga minuman lainnya.

Seiring berjalannya waktu, Procopio kemudian mengganti namanya menjadi Francois Procope Cateau, dan kafenya diberi nama Le Procope.

Procope menjadi tempat untuk berbagi informasi hingga dikenal sebagai tempat untuk pencerahan, karena kalangan seniman dan intelektual pun berkumpul di tempat itu.

Bahkan beberapa seniman dan intelektual Paris seperti JJ Rousseau, Diderot, Voltaire, dan Pirot, menjadi pelanggan setia kafe tersebut.

Ketika memasuki abad ke-18 diskusi di tempat itu makin panas karena menyangkut soal pemisahan kekuasaan dalam negara. Hal ini terkait dengan perkembangan di Paris yang rakyatnya mulai mengkritik kekuasaan absolut raja pada saat itu.

Bahkan Voltaire menulis karyanya di tempat itu. Ia juga pernah berdiskusi dengan Benjamin Franklin di tempat yang sama. Kira-kira begitulah sejarah singkatnya, dan Ide-ide yang beredar dalam diskusi di kedai-kedai kopi pada akhirnya terakumulasi dalam peristiwa Revolusi Prancis.

Menyandingkan tradisi diskusi warung kopi kaum milenial sekarang ini dengan sejarah revolusi prancis mungkin terkesan sangat dipaksakan dan sedikit NgaNU, tapi bukan itu poinnya, yang ingin penulis sampaikan adalah bahwa kafé, kedai kopi ataupun warung kopi memiliki dimensi sosial, disana pengetahuan dan informasi penting beredar melalui proses dialogis.

Untuk itu kita berharap agar tradisi disksusi warung kopi kaum milenial juga bisa menemukan dimensi sosialnya, dan warung kopi tak sekedar rutinitas dan life style, tapi juga terlibat dalam banyak perubahan sosial politik di negeri ini, bisa memodifikasi tempramen generasi milenial untuk melakukan revolusi di negeri ini.

Term revolusi disini tentu tidak harus dibayangkan sebagai sesuatu yang berdarah-darah, akan tetapi perubahan yang sungguh-sungguh, yang bisa membidik akar-akar persoalan.

Dan sekali lagi, bukan soal merek handphonenya apa, gamenya apa, nongkrong dimana, dan menggunakan aplikasi apa, tapi apakah semua itu membuatmu menjadi tidak peduli? (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini