Dunia VUCA: Ketidakpastian dan Kecepatan Perubahan
Oleh: Busri
(Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Fisip Unismuh Makassar)
TULISAN ini lahir dari pengalaman penulis ketika magang di Puslatbang KMP LAN dan berkesempatan menyimak paparan materi kepemimpinan digital pada pelatihan Revolusi Mental bagi ASN.
Seperti yang kita ketahui bersama, sepanjang tahun 2020 dan kini kita sudah menghidupi beberapa waktu di tahun 2022, tema besar dari hidup kita adalah ‘ketidakpastian’.
Tidak ada yang mengira di awal tahun 2020, hidup kita akan berubah seperti ini. Itu karena virus COVID-19.
Memang sekarang sudah ada vaksin. Tapi kita juga tidak tahu kapan vaksinasi akan benar-benar selesai? Kapan pandemi ini bisa benar-benar kita kendalikan? Jadi, nampaknya kita masih akan terus hidup dalam ketidakpastian.
Ada satu terminologi yang awalnya muncul dari ranah militer untuk memetakan, mengidentifikasi tantangan-tantangan dalam hidup. Terminologi ini disebut dengan VUCA.
Kali ini kita akan mencoba membahasnya: melihat apa itu VUCA, bagaimana kita hidup di dalam dunia yang mendapatkan karakteristik VUCA ini, Dan seperti apa kita mesti menganggapi. VUCA (4 huruf V U C dan A).
Pertama, V = ‘Volatility’. Sesuatu disebut dengan ‘volatile’, karena ia bergejolak. Jadi ‘volatility’ adalah terkait dengan sifat, dinamika, dan kecepatan perubahan, gaya, dan katalis perubahan itu sendiri.
Nah, apa tantangan dalam situasi yang ‘volatile’ ini? Apa tantangan dalam keadaan yang dipenuhi atau berada dalam keadaan yang bergejolak ini? Kecepatan perubahan lebih cepat dan pesat dibandingkan kemampuan untuk merespon atau menanggapi.
Jadi, meningkatnya kecepatan perubahan menuntut percepatan pengambilan keputusan. Perubahan terjadi dalam skala yang besar dan seketika. Karena itu respon yang dituntut bersifat segera.
Dalam keadaan seperti ini, pemimpin biasanya gelagapan, tertekan, gelisah, tidak siap memimpin dengan efektif. Karena itu struktur komando dan kontrol biasanya juga tidak berfungsi dalam lingkungan yang terdisrupsi dan berubah cepat.
Tantangan bagi pemimpin dalam keadaan ini adalah untuk merespon dan mengelola perubahan dengan lebih efektif. Bergeser dari ‘reaktif’ terhadap perubahan, menjadi lebih ‘proaktif’ menanggapi perubahan.
Berikutnya, U = ‘Uncertainty’. ‘Uncertainty’ atau ketidakpastian adalah keadaan di mana tidak ada prediktabilitas, bahkan atas kemungkinan adanya kejutan; tidak ada kesadaran dan pemahaman tentang masalah dan peristiwa yang terjadi.
Dalam keadaan yang ‘uncertain’ ini, dalam keadaan yang tidak pasti ini, sulit untuk mengerti, apalagi mengambil kendali, atas apa yang sebenarnya tengah terjadi. Terlalu banyak ‘noise’ informasi, tapi tidak cukup banyak ‘signal’.
Sulit untuk memahami rangkaian kejadian atau peristiwa –‘connecting the dots.’ Sulit itu untuk dilakukan, untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Apalagi mengantisipasi apa akibatnya nanti.
Dalam keadaan seperti ini, pemimpin dituntut untuk bertindak atas dasar informasi yang tidak mencukupi atau tidak lengkap. Karena itu pemimpin biasanya mengandalkan pada hal-hal yang dulu berhasil di masa lalu –dalam situasi ketidakpastian yang lain. Itu jadi referensi untuk tindakan yang sekarang.
C = ‘Complexity’. ‘Complexity’ atau kompleksitas didefinisikan sebagai sebuah keadaan di mana ada kondisi rumitnya gaya/penentu, rancunya masalah, kekacauan serta kebingungan yang dialami sebuah entitas.
Bisa organisasi, bisa keluarga, bisa kelompok, apapun. Seperti apa tantangan dalam situasi yang diwarnai dengan ‘complexity’ ini?
Pertama, kesulitan dalam bertindak dan mendorong perubahan yang diperlukan untuk menanggapi kaitan-kaitan kompleks atas berbagai masalah apalagi kekhawatiran. Kompleksitas yang meningkat membuat makin sulit kita mengetahui dari mana harus mulai mendorong perubahan itu sendiri.
Itu tantangan paling mendasar dalam situasi yang kompleks, dalam ‘complexity’ ini. Tindakan mitigasi tidak mengatasi akar masalah, tapi hanya ‘mengobati gejala’.
Dalam keadan yang diwarnai dengan ‘complexity’ semacam ini biasanya pemimpin kehilangan –atau tidak punya– waktu untuk sungguh bisa merefleksikan kerumitan yang ada. Akibatnya apa? Lalu ia akan bertindak terlalu cepat.
Pemimpin tergoda untuk bertindak dan mengimplementasikan solusi jangka pendek dan berlebihan mengandalkan ‘quick wins’. Pemimpin ada dalam bahaya terjebak dalam ‘kelumpuhan analisis’ dan akhirnya bisa juga terlalu lambat bertindak. Ini adalah tantangan-tantangan dalam bertindak yang diwarnai oleh ‘complexity’.
Terakhir A = ‘Ambiguity’. ‘Ambiguity’ atau kemenduaan sebenarnya adalah sebuah keadaan dimana realitas-realitas itu kabur. Potensi salah memahami itu terjadi karena bercampurnya realitas tadi.
Bercampurnya makna dari situasi. Bingung melihat sebab-akibat. Inilah karakteristik situasi yang ambigu. Dalam keadaan seperti ini, seringkali yang terjadi adalah kegagalan kita memahami pentingnya sebuah peristiwa.
Ada resiko yang tinggi untuk salah atau keliru dalam menterjemahkan dan memahami kejadian-kejadian. Akibatnya tanggapan atau respon tidak memadai meski terlihat efektif.
Dalam keadaan yang diwarnai oleh ‘ambiguity’ ini, pemimpin biasanya terlalu jauh ‘terlempar’ dari sumber dan konteks berbagai peristiwa. Maka ia akan bertindak berdasarkan pemahaman yang terbatas atas kejadian-kejadian dan makna atau arti yang bisa ia pahami.
Nah, lantas mengapa penting kita memahami VUCA ini? Setidaknya ada dua konteks: Pertama adalah konteks global.
Kedua adalah konteks nasional. Dalam konteks global, kita tahu bahwa dunia kita sedang bergejolak di mana-mana. Krisis sosial, politik, lingkungan, ekonomi terjadi. Apalagi ditambah lagi dengan pandemi ini. Itu konteks pertama.
Konteks kedua adalah munculnya apa yang selama ini disebut dengan revolusi industri ke-empat (Industrial Revolution 4.0). Bahkan megatrend global saat ini memunculkan tren baru masyarakat atau Society 5.0.
Kemunculan teknologi ini membawa perubahan bukan hanya pada corak interaksi manusia, tapi bagaimana manusia berproduksi, bagaimana manusia menjalankan fitrahnya sebagai makhluk hidup di dunia ini.
Harvard Bussiness Review menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan.
Peningkatan produktivitas karena teknologi ternyata tidak seiring dengan tumbuhnya lapangan pekerjaan. Memang ada resiko bahwa teknologi yang makin canggih menghapus sejumlah pekerjaan manusia. Meskipun tentu saja ada banyak peluang lain juga yang muncul di sana.
Konteks yang lain adalah urbanisasi. Dunia kita makin meng-urban, suka atau tidak suka. Dan urbanisasi ini akan mengubah cara manusia hidup. Dampak yang terkait langsung adalah pemanasan global, perubahan iklim.
Manusia sudah bekerja, membangun selama ini. Tetapi caranya membangun sudah melampaui kapasitas bumi, sudah pada tahap yang membahayakan.
Karena itu konteks terakhir adalah munculnya ‘Sustainable Development Goals’ atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
SDGs ini mau mengkoreksi cara kita membangun. Kalau dulu dalam MDGs (‘Millennium Development Goals’) kita tahu ada tiga pilar –sosial, ekonomi dan lingkungan– dalam SDGs ada lima dimensi.
Bukan hanya pilar, tapi dimensi. Dimensi itu adalah: 1. ‘People’/manusia. 2. Planet. 3. ‘Prosperity’ – kesejahteraan, bukan hanya ‘profit’. 4. ‘Peace’ – perdamaian. 5. ‘Partnership’.
Bagaimana dengan konteks nasional? Di Indonesia saat ini kita punya 270 juta penduduk. Kita membangun dengan amat baik. Setidaknya sebelum krisis karena pandemi COVID-19 kita tumbuh dengan stabil sekitar 5%.
Pengangguran bisa ditekan di bawah 5%. Inflasi bisa kita tekan di bawah 3%. Kemiskinan bisa kita tekan untuk pertama kalinya dalam sejarah di bawah 2 digit: sekitar 9,3-9,5%. Capaian pembangunan kita beragam. Infrastruktur, kesejahteraan, dan lain-lain.
Memang pandemi COVID-19 lalu memporak-porandakan hasil pembangunan tersebut. Kemiskinan kembali meningkat, pengangguran meningkat, dan berbagai hal-hal lain. Ini adalah konteks nasional. Dan kita tahu persis, ada kesenjangan yang masih perlu dijambatani antara Jawa-luar Jawa, antara daerah yang menikmati kue pembangunan lebih banyak dibandingkan yang belum.
Selama lima tahun pertama periode pemerintahan Bapak Jokowi, sudah dicoba untuk membangun dengan lebih adil dengan paradigma Indonesia-sentris, bukan lagi Jawa-sentris. Ini semua adalah konteks nasional.
Kita tahu bahwa apa yang sudah dibangun sekian lama bisa berantakan kalau kita tidak waspada, kalau kita tidak sadar bahwa aspek ketidakpastian mewarnai hidup ini.
Jadi, itulah dua konteks besar mengapa kita perlu memahami VUCA. Konteks global, yang kedua konteks nasional. Barangkali kalau ingin ditelaah sedikit lebih jauh dalam konteks ini, juga konteks teknologi. Bahwa teknologi digital, teknologi informasi saat ini, sudah amat mempengaruhi cara hidup.
Hal terakhir mengapa kita perlu memahami VUCA, saya kira apa yang bisa saya sampaikan di awal tadi. Saat ini Anda dan saya tengah hidup bersama, atau melawan, pandemi COVID-19 ini. Pandemi ini makin dekat rasanya, makin personal, makin ‘proximate’.
Lantas ke mana ini membawa kita? Ada beberapa hal yang mesti kita pikirkan baik-baik. Pertama, nampaknya kita mesti memperjelas tujuan apa yang mau kita raih. Kita perlu mengambil waktu untuk merumuskan kembali apa yang sungguh-sungguh penting bagi kita. Dan apa yang sebenarnya pilihan saja.
‘We need to really take the time to define what is really important to you and to me, and what is optional.’ Tidak semua hal di muka bumi ini penting. Tidak semua hal di muka bumi ini mesti dilakukan. Ada yang ‘optional’. Itu yang pertama.
Yang kedua, kita mesti punya peta. Kita mesti punya gambaran ke mana kita akan melangkah. Agar kita gak tersesat ketika pergi ke suatu arah, kita pergi ke satu daerah, yang kita tidak tahu sebelumnya.
Masa depan adalah daerah yang kita belum tahu. Karena itu kita perlu punya peta. Seperti apa kita melangkah di masa depan nanti.
Ketiga, kita mesti berani. ‘Be brave’. Karena rahasia untuk ada di sana lebih dulu dari yang lain adalah berani memulai. Berani memulai lebih dulu. Keempat, kita nampaknya mesti mulai melatih diri untuk belajar menjelajah ke area-area yang kita belum tahu sebelumnya.
Cara terbaik untuk mengatasi ketakutan menjelajahi apa yang kita tidak tahu, sebenarnya adalah: bertindak. Ambil langkah pertama untuk bertindak. Dan Anda akan melihat bahwa sebenarnya area yang tidak kita ketahui itu tidak sebegitu menakutkannya.
Kelima, fokus. Harga yang harus kita bayar dengan seluruh kemajuan ini adalah kedangkalan. Anda, kita semua makin heboh menggunakan teknologi, menikmati hidup dan kita lalu tidak tahu apa yang penting. Fokus. Kita mesti bisa berfokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Seringkali kita sibuk menanggapi hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Jangan terobsesi atas apa yang mungkin terjadi. Tetapi fokus pada hal yang bisa Anda lakukan atau Anda kendalikan.
Langkah selanjutnya: terbukalah dengan kejutan-kejutan. Kejutan itu terjadi kapan saja. Kejutan itu terjadi di mana saja sebenarnya. Bersiap, bersikap positif. Dan kalau Anda siap dan bersikap positif, Anda akan melihat bahwa banyak hal yang Anda alami itu akan terjadi. Bahkan Anda akan mengalami hal-hal yang selama ini mungkin belum pernah Anda mimpikan.
Terakhir, terimalah resiko. Resiko memang ada untuk diambil, untuk diterima. Biasanya sesuatu yang makin besar resikonya, juga makin besar hal yang Anda dapatkan.
Tapi, penting untuk berfikir lebih mendalam, bahwa dengan menerima resiko itu sebenarnya meminimalisir dan menerima apa yang Anda tidak bisa hilangkan dalam hidup.
Satu hal penting menghidupi VUCA adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Di luar kolaborasi, yang lebih mendasar sebenarnya karena kita semua punya, atau menghidupi, atau menghadapi, ketimpangan resiko.
Dalam satu tajuknya, Wall Street Journal tahun lalu menulis, “We are not in the same boat. We are in the same storm’. Storm-nya apa? COVID-19. Iya. Sebenarnya kita tidak ada pada perahu yang sama. Tetapi bukanlah kita sama-sama di Indonesia?
Ada yang punya kemewahan untuk tetap bisa bekerja dari rumah, tapi ada banyak saudara kita yang terpaksa harus keluar rumah untuk bekerja. Jadi saya kira benar apa yang ditulis oleh Wall Street, “We are not in the same boat.” Kita tidak berada pada perahu yang sama.
Tapi kita menghadapi badai yang sama: dunia yang dikarakteristikkan dengan VUCA tadi, yang bergejolak, yang tidak pasti, yang kompleks, yang penuh dengan kemenduaan ini.
Sehingga, dalam keadaan seperti ini, tidak ada jalan lain kecuali membangun rasa senasib sepenanggungan sebagai sesama warga negara Republik Indonesia ini. Bahkan lebih luas lagi, sebagai sesama warga dunia.
Dunia atau hidup yang diwarnai dengan VUCA ini adalah keniscayaan. Tetapi bagaimana kita menghidupinya adalah pilihan. (*)
Tinggalkan Balasan