Debu-debu Itu Ditangkap Lalu Diolah Jadi Nikel
DEBU-DEBU yang beterbangan dari pabrik, tidak dibiarkan lolos mencemari udara. Ia ditangkap dengan mesin penangkap debu, yang disebut bag house. Debu yang masih mengandung nikel itu kemudian diolah kembali.
Laporan: Abd Rauf
* Sorowako, Luwu Timur
Suara bising pabrik, ditambah debu beterbangan menyambut kami di pabrik pengolahan nikel, Process Plant Site PT Vale Indonesia Tbk, di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel, akhir Maret 2019.
Debu-debu itu sesekali memenuhi area pabrik, namun durasinya tak lama, debu itu menghilang.
Sementara semua pekerja tampak terbungkus. Tak bisa dikenali. Dari ujung rambut sampai kaki terbungkus. Helm, kaca mata, masker, seragam, hingga sepatu khusus, membungkus sekujur tubuh.
Penampilan semacam itu juga berlaku bagi pengunjung, seperti kami, yang diundang melihat langsung proses pengolahan nikel milik PT Vale Indonesia.
Pabrik yang memproduksi nikel dalam matte itu sejak awal memiliki smelter, jauh sebelum pemerintah mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter.
Sesampai di dalam area pabrik, dua orang mendekati lalu memanggil masuk dalam ruangan kantor.
Dua orang itu adalah salah satu petinggi di Process Plant Site PT Vale Indonesia, Sudirman dan Gatot.
Di dalam ruangan, Sudirman kemudian menjelaskan proses pengolahan, dari bijih nikel atau ore, sampai menjadi nikel dalam matte siap ekspor ke Jepang.
“Untuk menghasilkan nikel matte siap ekspor, harus melewati empat proses di pabrik ini,” jelasnya, sambil menunjuk gambar slide yang terpampang.
Ia menjelaskan, besarnya tenaga listrik yang dibutuhkan. “Di pabrik ini, ada empat furnice, yang masing-masing membutuhkan tenaga listrik sampai 80 MW. Untuk menyuplai listrik, kita telah membangun tiga PLTA. Kita memang menghindari penggunaan bahan bakar batu bara. Untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan,” jelasnya.
Ia juga membeberkan produksi nikel matte tertinggi selama beroperasi. “Sejak berproduksi sejak 41 tahun silam, produksi nikel matte sempat mencapai angka 81 ribu ton nikel matte pada tahun 2015,” bebernya, sembari memperlihatkan histori produksi nikel matte sejak 1977 hingga 2018.
Untuk tahun 2019 ini, target produksi nikel matte 76 ribu ton. Sementara realisasi tahun 2018 lalu, hanya 75 ribu ton, dari target 77 ribu ton nikel matte, siap ekspor ke Jepang.
Sementara itu, agar debu yang dihasilkan dalam pabrik ini, kata dia, maka dibangunlah bag house, atau alat penangkap debu, dengan investasi yang lumayan besar, sekitar USD10 juta.
Usai mendapat penjelasan terkait proses pengolahan hingga menjadi nikel matte, rombongan kemudian diperbolehkan keliling melihat-lihat area pabrik. Dengan catatan harus mengenakan masker dan kelengkapan lainnya.
Jauh ke dalam area smelter, tampak jelas percikan cahaya. Sesekali debu beterbangan dan sekejap hilang.
Para pekerja tak banyak yang tampak lalu lalang. Hanya beberapa orang yang kelihatan, lengkap dengan sekujur tubuh terbungkus.
Saya yang baru memakai masker tambang itu, sesak. Sesekali melepas masker, di tengah kekhawatiran debu mengandung nikel itu terhirup.
Nikel matte yang dihasilkan pabrik itu disimpan dalam karung berukuran raksasa, yang kemudian dibawa ke kapal, untuk dikirim ke Jepang.
Saat ini, Jepang yang menjadi pasar paling besar dalam pembelian nikel matte.
* * *
Di lain kesempatan, Direktur Support and Site Servicess PT Vale Indonesia, Agus Superiadi, menegaskan pihaknya sangat konsen terhadap meminimalisir dampak terhadap lingkungan.
Salah satu yang paling urgen dan mengeruk kas perusahaan adalah alat penangkap debu.
“Kami berinvestasi hingga USD 10 juta untuk bangun bag house. Kami berani berinvestasi sejak 10 tahun lalu, sebagai bentuk komitmen kami menjaga lingkungan,” tegasnya.
Ia mengatakan, debu yang ditangkap bag house itu, diolah kembali menghasilkan untuk menghasilkan nikel. “Debu-debu itu kan masih mengandung nikel, makanya kita tangkap dan olah kembali,” terangnya.
Sementara soal limbah, pengolahan bijih nikel di pabrik itu menghasilkan dua, nikel dalam matte dan slag atau limbah.
“Untuk pemanfaatan slag ini, rencananya kita akan kerjasamakan dengan Pemda. Untuk saat ini, kita sudah mendapat izin pemanfaatan, yakni bisa untuk dipakai menimbun jalanan dalam area tambang,” jelas Agus.
Soal produksi, Agus mengakui, saat ini produksi berkurang, dampak dari perbaikan PLTA Larona. Namun pihaknya berharap di semester kedua 2019 ini, ketertinggalan produksi bisa dikejar, setelah perbaikan PLTA Larona selesai.
Selain itu, Ia menjelaskan, selama 50 tahun hadir di Indonesia, PT Vale telah berhasil mempertahankan eksistensi sebagai salah satu perusahaan pertambangan dan pengolahan mineral terbaik di Indonesia.
Sejak awal beroperasi, PT Vale telah membangun smelter dan tidak pernah mengekspor bijih nikel.
Dimulai dengan penjualan perdana nikel matte tahun 1978, tingkat produksi terus tumbuh dalam rentang waktu berikutnya.
Volume produksi tertinggi dicapai tahun 2015 sebanyak 81.777 Ton, dan hingga tahun 2022, PT Vale menargetkan volume produksi tahunannya menjadi 90.000 Ton.
Deputi CEO PT Vale Indonesia, Febriany Eddy, mengaku kini pihaknya tengah fokus efisiensi energi. Salah satu yang dilakukan adalah membenahi PLTA Larona, yang dibangun tahun 1979.
PT Vale Indonesia Tbk, yang dulu bernama PT International Nickel Indonesia Tbk (PT Inco), ini mengoperasikan tambang nikel open pit dan pabrik pengolahan di Sorowako, Sulawesi, sejak 1968.
“Sejak saat itu, sustainability terus ditingkatkan. Harapannya, tambang bukan pembawa bencana, tapi bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Saat ini, PT Vale merupakan produsen nikel terbesar di Indonesia dan menyumbang 5% pasokan nikel dunia. (*)
Tinggalkan Balasan