Ada Temuan Kerugian Negara Rp200 Juta Tapi di-SP3, ‘Macuk’ Kah?
PALOPO, TEKAPE.co – Kejaksaan Negeri (Kejari) Palopo resmi mengumumkan penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan gedung rawat inap Puskesmas Sendana dan proyek Pedestrian di Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Wara Utara.
Pengumuman SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) itu dilakukan langsung Kajari Palopo, Agus Riyanto, dengan alasan penyidik tidak menemukan cukup bukti, Rabu 26 Januari 2022.
Padahal, akhir Oktober 2021 lalu, Kejari Palopo mengumumkan telah ada temuan dugaan kerugian negara sebesar Rp. 204.482.070.
Kejari Palopo juga telah menerima pengembalian uang negara yang diserahkan oleh Direktur PT Arkana Indonesia, Syam dan diterima langsung Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Palppo Antonius Bangun Silitonga, akhir Oktober 2021 lalu.
BACA JUGA:
Kejari Palopo Terima Pengembalian Uang Kerugian Negara dari Temuan Proyek Puskesmas Sendana
Keputusan SP3 itu menimbulkan spekulasi di ruang-ruang diskusi, utamanya di diskusi warkop-warkop di Palopo.
Banyak spekulasi pertanyaan dan kecurigaan, apakah ada praktek transaksi ‘macuk’ di balik SP3 kasus tersebut.
Praktisi hukum di Kota Palopo, Syafruddin Djalal SH, saat dimintai tanggapannya soal SP3 itu, Kamis 27 Januari 2022, menyebut, jika praktek SP3 memang dikenal dalam KUHAP, namun untuk kasus proyek Puskesmas Sendana, dapat menimbulkan tanda tanya besar dan menggelitik.
Betapa tidak, hasil audit BPK wilayah Sulsel dan Tim Inspektorat Pemkot Palopo, ada ditemukan kerugian negara.
“Artinya, dengan terbitnya kerugian negara itu, merupakan petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Apalagi, proses hukum sudah masuk pada tahap penyidikan, bukan lagi penyelidikan,” tandasnya.
Selanjutnya, kata dia, jika sudah pada tahap penyidikan, maka penegak hukum sudah harus menemukan siapa pelakunya.
“SP3 hanya boleh diterbitkan ketika penyidik telah menetapkan tersangka, sementara bukti belum cukup menurut KUHAP untuk menjeratnya,” jelas Djalal.
Tentu, kata Djalal, penetapan dimaksud setelah ada kajian, setelah penetapan tersangka.
“Maksud dari SP3 tidak terlepas dari durasi proses hukum (penanganan) sebuah peristiwa pidana yang secara rigid diatur dalam KUHAP,” jelas mantan Ketua Panwaslu Palopo itu.
Melewati batas waktu, jelas Djalal, bisa mengakibatkan tersangka harus dibebaskan dari proses hukum.
Djalal menjelaskan, dalam kondisi dimana telah dilakukan penetapan seseorg menjadi tersangka, namun ternyata dari hasil kajian disimpulkan bahwa masih dibutuhkan alat bukti lain lagi, yang membutuhkan waktu panjang untuk menemukannya, maka dalam situasi seperti itu, penyidik boleh menerbitkan SP3.
Djalal menegaskan, SP3 itu hanya bersifat sementara, dan dapat dilanjutkan, jika ditemukan bukti baru.
“Terlepas dari semua itu, kita semua harus tetap berprasangka baik terhadap penerbit SP3, tetapi bukan berarti kita mesti pula menerima begitu saja SP3 itu,” ujarnya.
Djalal mengatakan, penerbitan SP3 dalam kasus PKM Sendana, harus diuji melalui pranata hukum pra peradilan.
“Dengan begitu, proses hukum yang terjadi, membuka ruang bagi publik untuk berpartisipasi dengan cara yang lebih egaliter,” tandasnya. (usman)
Tinggalkan Balasan