Ada di Sekitar Kita, Waspada Bahaya Polusi Senyawa PCBs
JAKARTA, TEKAPE.co – Pengelolaan Senyawa Polychlorinated Byphenyls (PCBs) perlu menjadi perhatian serius. Pasalnya, senyawa itu sangat rawan mencemari lingkungan, yang berdampak mengancam kesehatan manusia.
Hal itu terungkap dalam Webinar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama dengan United Nations Industrial Development Organization/UNIDO, dengan tema ‘Regulasi dan Pengelolaan Polychlorinated Byphenyls (PCBs) Berwawasan Lingkungan Guna Mitigasi Bahaya Pencemaran Terhadap Lingkungan dan Manusia,’ Selasa (27/7/2021).
Webinar ini bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya senyawa Polychlorinated Biphenyls atau yang biasa disingkat dengan PCBs, serta upaya yang telah pemerintah lakukan untuk memitigasi dampak negatifnya.
Dalam pembukaannya, Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3) KLHK, menjelaskan PCBs adalah salah satu jenis bahan pencemar organik yang persisten, bersifat racun, yang masuk dan mencemari lingkungan, serta terakumulasi di dalam rantai makanan.
Dia mengatakan, pencemaran lingkungan oleh PCBs yang umumnya terjadi ketika menangani peralatan yang menggunakannya, tidak disertai dengan penerapan prosedur yang benar.
“Senyawa ini sangat berbahaya bagi manusia, sifatnya akumulatif dalam jangka panjang, dan dapat menyebabkan terjadinya beberapa jenis penyakit degenerative. Di antaranya adalah kanker, hipertensi, diabetes, gangguan sistem reproduksi, penurunan daya tahan tubuh, peningkatan risiko penyakit jantung, dan gangguan sistem saraf,” ujar Rosa.
Berdasarkan catatan, PCBs telah memakan korban sejak lama, bahkan sebelum Deklarasi Stockholm tahun 1972 diterbitkan.
Pada tahun 1968 di wilayah utara Kyushu Jepang, tercatat sebanyak 15.000 orang menderita penyakit pigmentasi pada kulit, peningkatan angka kematian janin, serta tercatat sebanyak 400.000 kasus kematian ternak unggas.
Kejadian ini kemudian dikenal sebagai insiden “Kanemi Yusho”, yang penamaannya mengikuti nama perusahaan “Kanemi Company” yang memproduksi minyak beras yang diketahui terkontaminasi senyawa PCBs.
Tercatat juga sebanyak 1.843 kasus dengan gejala penyakit yang sama dengan insiden Yusho terjadi pada akhir tahun 1979 hingga 1980 di wilayah Taiwan Tengah. Kasusnya ditemukan terjadi pada kelompok usia 11 hingga 20 tahun.
Selain itu, terjadi kasus hiperpigmentasi atau bercak gelap pada kulit pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkontaminasi PCBs.
Sementara di Irlandia, kasusnya sedikit lebih ringan, dimana PCBs ditemukan pada sampel daging domba yang disembelih untuk dijual.
Temuan ini menyebabkan dilakukannya penyelidikan secara intensif oleh otoritas Negara tersebut.
“Ketiga contoh tersebut mengkhawatirkan kita semua karena membuktikan bahwa PCBs dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan,” ungkap Rosa Vivien.
Bahan PCBs banyak diaplikasikan pada peralatan listrik antara lain cairan dialektrik, transformer, kapasitor, serta alat-alat rumah tangga seperti oven microwave, pendingin udara / AC, motor listrik, rangkaian elektronik elektro magnet, tombol listrik, pemutus arus listrik otomatis, pompa vakum, kabel listrik bahkan pada tinta, pelumas, cat dan aspal.
PCBs hanya bisa terdeteksi keberadaannya melalui prosedur dan uji laboratorium dengan spesifikasi khusus.
Pencemaran air, tanah dan udara oleh PCBs dapat terjadi karena adanya kesalahan penanganan yang tidak sesuai prosedur dan protokol saat melakukan perawatan peralatan yang mengandung dan atau terkontaminasi PCBs pada industri.
Ia menjelaskan PCBs bersifat sangat stabil, memiliki flash point atau titik nyala pada suhu 380°C. Dan berdasarkan data, lebih dari 60% PCBs di Indonesia digunakan pada peralatan Trafo (atau Transformator) dan Kapasitor.
Kebocorannya yang mencemari lingkungan sangat mungkin terjadi, terutama apabila operator tidak memperhatikan aspek keamanan dalam menangani senyawa ini.
Dari beberapa survei lingkungan yang dilakukan di daerah aliran sungai, terutama di daerah yang banyak industrinya, pada beberapa titik pengambilan sampel, PCBs memang ditemukan.
Untuk itu, menurut Rosa Vivien, pemerintah memiliki kepentingan dan bertanggungjawab untuk menangani permasalahan ini.
Tahun 2008, Indonesia telah memiliki Rencana Implementasi Nasional untuk mengeliminasi dan mengurangi penggunaan Bahan Pencemar Organik, termasuk senyawa PCBs. Pada tahun 2009, Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Stockholm.
Tujuan dari konvensi ini adalah untuk melindungi manusia dan lingkungan dari dampak negatif senyawa-senyawa pencemar organik yang persisten melalui beberapa mekanisme, di antaranya pelarangan dan pemusnahan.
Konvensi Stockholm telah menetapkan dua global deadlines pada tahapan pemusnahan (phasing-out) PCBs.
Pertama, pada akhir tahun 2025, semua transformator dan kapasitor listrik yang beroperasi tidak boleh mengandung PCBs sama dengan atau lebih besar dari (≥) 50 ppm.
Kedua, pada akhir tahun 2028, semua bahan, limbah, transformator dan kapasitor yang dengan kandungan PCBs ≥50 ppm sudah harus dimusnahkan atau didekontaminasi.
Lebih lanjut Rosa Vivien menyatakan bahwa Indonesia telah melakukan pengembangan kebijakan dan peraturan terkait PCBs.
Hal ini merupakan upaya Indonesia dalam mengembangkan dan mengimplementasikan Sistem Pengelolaan dan Pemusnahan PCBs Berwawasan Lingkungan sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Stockholm.
“Langkah-langkah dan tahapan Pengelolaan PCBs Berwawasan Lingkungan diatur lebih teknis melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 29 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Polychlorinated Biphenyls, yang telah diundangkan sejak 30 Desember 2020 lalu,” ujar Rosa Vivien.
Untuk itu, diperlukan upaya edukasi guna meningkatkan pemahaman dan pengelolaan yang baik agar akibat buruk dari PCBs dapat dihindari. Peningkatan edukasi masyarakat pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya menjadi sasaran utama kegiatan webinar kali ini.
“Kegiatan webinar ini menjadi penting sebagai media penyampaian informasi mengenai bahaya PCBs serta langkah-langkah apa saja yang telah pemerintah Indonesia lakukan untuk memitigasi dampak negatifnya,” tegas Rosa Vivien.
Esam Alqararah, UNIDO Representative for Indonesia and Timor Leste mengatakan bahwa UNIDO mendukung upaya Indonesia dalam menghapuskan serta mengurangi penggunaan PCBs sejak tahun 2013.
“Inisiatif yang kami jalankan berfokus pada pengenalan pengelolaan PCBs berwawasan lingkungan, inventarisasi sumber PCBs dan juga pemusnahan PCBs yang teridentifikasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, pihaknya berupaya mengusung teknologi pengolahan PCBs yang ramah lingkungan, dan mampu mengubah karakteristik PCBs hingga pada level aman sesuai dengan standar Konvensi Stockholm.
“Hal ini penting untuk diperhatikan sebagai tindakan kolektif yang dapat berkontribusi pada penghapusan PCBs dan juga pencapaian SDG di Indonesia,” ujar Esam.
Pada akhir sambutannya, Esam Alqararah mengajak masyarakat untuk mulai memulihkan ekosistem di sekitar kita dengan bertindak secara bertanggung jawab serta menghidari pencemaran lingkungan dari bahan kimia berbahaya.
“Harta yang paling berharga adalah lingkungan hidup kita, jangan menunggu sampai besok, mari kita mulai memulihkan ekosistem dari hari ini,” pungkas Esam. (hms)
Tinggalkan Balasan