Tekape.co

Jendela Informasi Kita

Sumpah Adat ‘Penyatuan Isi Perut,’ Damaikan Kelompok Bertikai di Palopo

SUDAH setahun ini, tak pernah lagi ada kabar pertikaian antar kelompok pemuda di Kelurahan Mancani, Kecamatan Telluwanua, Kota Palopo, Sulawesi Selatan.

******

Dulu, Jalan Trans Sulawesi, Kota Palopo, tiap bulan, bahkan mingguan, terjadi bentrok antar kelompok pemuda di Jalan Dr Ratulangi Palopo tersebut. Setiap bentrok, arus lalulintas pasti macet total.

Mereka tampak adu ketangkasan menggunakan senjata rakitan buatan mereka sendiri. Sebagian mereka memang pintar merakit papporo, senjata rakitan terkenal sejak dulu di Tana Luwu. Selain papporo, mereka juga lihai menggunakan busur.

Konflik antar kelompok pemuda Lingkungan Uri dan Batu, Kelurahan Mancani, Kecamatan Telluwanua, Kota Palopo, ini cukup terkenal sejak puluhan tahun silam.

Konflik itu sudah terwariskan dari generasi ke generasi. Tak ada yang tahu pasti kapan mulai dan apa penyebab awal terjadinya konflik antar kampung tersebut.

Namun sejak 28 Oktober 2016, bentrok antar warga ini tidak lagi pernah terdengar hingga 30 September 2017 ini.

Itu semua setelah ritual adat di Jumat malam, 28 Oktober 2016, bertepatan hari sumpah pemuda, menjadi hari penting bagi dua kelompok warga Kelurahan Mancani, Lingkungan Uri dan Batu.

Malam itu, di Istana Kedatuan Luwu, dua kelompok yang diwakili para tetua, disumpah adat di hadapan Sri Paduka Datu Luwu, Andi Maradang Mackulau Opu To Bau.

Dengan mengenakan pakaian adat kebesaran masing-masing, perwakilan warga ini ditutup kain putih. Mereka mengucap sumpah adat, siapa yang memulai lebih dulu, maka dia akan tertimpa marabahaya.

Mereka mengucap sumpah adat Sigaruang Telli. Sumpah ini mengandung arti menyatukan isi perut secara lahir dan batin dalam bingkai ‘maseddi siri’ (menyatukan rasa malu).

Ritual tersebut mempersembahkan tuak manis, dicampur dengan telur. Satu persatu telur tersebut diinjak, tak sampai pecah.

Lalu terakhir, telur itu dipecahkan dan dimasukkan ke dalam wadah tuak manis, diaduk dan diperhadapkan kepada Datu Luwu XL. Ritual ini berarti seluruh masyarakat adat Tana Luwu telah bersatu.

Ritual itu dipimpin langsung Sri Paduka Datu Luwu Andi Maradang Mackulau Opu To Bau. Datu Luwu mempertemukan masyarakat Adat Uri Rongkong, dengan masyarakat adat Batu. Dua kelompok warga yang tak pernah rukun sejak puluhan tahun silam.

Para pemangku adat ini membicarakan secara kekeluargaan terkait perdamaian kedua belah pihak. Perwakilan kedua pihak berkonflik itu mengucapkan sumpah adat, untuk menjaga kedamaian antara kedua pihak.

“Setelah sumpah adat ini, jika ada salah satu yang memulai, maka sumpah yang diucapkan, akan kembali menimpa mereka sendiri,” ucap Datu Luwu.

Pasca ritual sumpah itu, sejak 28 Oktober 2016, hingga kini, kabar konflik di kelurahan itu tak pernah lagi terdengar.

Padahal, api konflik antar kelompok pemuda di Kelurahan Mancani, antara lingkungan Uri dan Batu Rante, sudah puluhan tahun tak pernah padam.

Sebelum sumpah adat itu, berbagai cara telah dilakukan pemerintah bersama aparat kepolisian untuk mendamaikan mereka. Hanya saja, selalu gagal. Mulai dari pengucapan ikrar perdamaian. Bahkan ritual pemotongan kerbau juga kerap dilakukan.

Sejak periode HPA Tenriadjeng hingga HM Judas Amir menjadi Wali Kota Palopo, bahkan sebelum Palopo menjadi daerah otonom pada 2002 silam, api konflik itu tak pernah padam. Dalam sebulan, pasti ada gesekan dan pertikaian antar kedua kelompok pemuda itu.

Pasca pengucapan sumpah itu, Tokoh Adat Uri, Fadli Patanduk, menceritakan, jika sumpah adat tersebut benar-benar manjur. Jika ada yang ingin memulai bentrokan, mereka akan merasakan gatal-gatal.

Ia menceritakan, sumpah adat itu sangat sakral dan benar-benar terjadi. Pernah kejadian, ada mau datang menyerang, saat baru saja perwakilan warga selesai disumpah adat di Istana Kedatuan Luwu, salah satu kelompok pemuda hendak menyerang kelompok lainnya, tiba-tiba tersambar mobil.

Kemudian saat salah seorang diantara mereka menembakkan papporo, mereka merasakan gatal dan seakan ada anak-anak datang mencakar. Ada bekas cakaran di tubuh anak itu. Keduanya kemudian harus dilarikan ke rumah sakit.

“Mereka seakan termakan sumpah adat yang telah diucapkan perwakilan antar kedua kelompok. Pasca kejadian itu, hingga sekarang sudah tidak pernah lagi ada bentrok antara pemuda,” ujar pria kelahiran 1969 itu, Kamis 28 September 2017.

Sementara itu, salah seorang tokoh muda Rongkong, Zulfikar Rapang, mengapresiasi upaya perdamaian ini. Ia berharap, dengan adanya upaya dari Kedatuan Luwu, bisa terus menjaga persaudaraan dan kedamaian.

“Sependek pengetahuan saya, telah beberapa kali dilakukan demi meretas konflik. Namun kelemahannya adalah rekonsiliasi damai ternyata hanya menyasar para tokoh masyarakat, bukan para pemuda yang notabene dari merekalah perselisihan paham sering terjadi,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Zulfikar menambahkan, rekonsiliasi terbukti menjadi anti klimaks. Tetapi hal tersebut bukanlah serta merta menegasi upaya damai yang dilakukan kali ini.

“Terima kasih yang tak terhingga kepada YM Datu Luwu La Maradang Mackulau atas upaya memediasi penyelesaikan konflik yang selama ini terjadi di wilayah kelurahan Mancani,” ujarnya.

Perdamaian ini sudah lama diharapkan. Hal ini terlihat dari keharuan yang ditunjukkan Datu Luwu La Maradang Mackulau usai mendamaikan dua kelompok yang sering berkonflik.

Sejarah dan Pemicu Masalah

Batu dan Uri adalah dua kampung yang jaraknya tak berjauhan. Batu dihuni penduduk asli. Sementara Uri ditempati orang yang berasal dari Rongkong, Kabupaten Luwu Utara.

Meski ada isu antara penduduk asli dan pendatang, namun kedua kelompok yang sering bertikai ini, masing-masing mengakui jika akar masalah dari pecahnya bentrok itu biasanya dipicu oleh minuman keras (miras). Tidak ada persoalan SARA.

Tokoh Adat Uri, Fadli Patanduk, menceritakan, awal masuknya orang Rongkong ke Uri. Ia tampak mengingat-ingat sejarah pindahnya orang Rongkong ke Uri. Pria kelahiran 1969 itu adalah asli Rongkong, yang telah turun temurun tinggal di Uri sejak 1957.

“Awalnya, di Rongkong terjadi pembantaian besar-besaran. Maka saat itu, karena Rongkong masih daerah Datu Luwu, maka beliau mencarikan tempat di Palopo, sekira tahun 1957 silam,” kisahnya.

Awalnya Datu Luwu menunjukkan wilayah di Lalong, namun kemudian diputuskan untuk ditempatkan di Uri. Pasca konflik di Rongkong, sebagian mereka kemudian menetap dan ada juga yang pulang dan tersebar ke beberapa tempat lainnya.

Fadli mengaku, konflik dipicu kelompok anak muda yang mengonsumsi miras. Ketemu di luar, lalu saat ada ketersinggungan sedikit, mereka pulang lalu saling memprovokasi.

Ia membantah adanya isu agama. Sebab di Uri, 65 persen beragama Islam, selebihnya Kristen. Sehingga mayoritas sesama Islam.

“Kalau ada bentrok, kita sesama orang Rongkong pasti bersatu. Tidak melihat dia agama apa. Sebab prinsip kita, solidaritas sesama Rongkong. Prinsipnya begitu. Jadi tidak persoalan antar agama,” ujarnya.

Terpisah, Ketua RW 6 Kelurahan Mancani, Drs Habir, mengaku, sejak dirinya tinggal di Uri tahun 1991, kerusuhan biasanya terjadi tiba-tiba. Ia mengaku tak tahu apa penyebab utamanya. Sebab langsung meledak dengan sendirinya.

“Pemicu konflik, biasanya antar pemuda. Kalau anak muda kan biasalah, mudah tersinggung. Biasanya terjadi karena terjadi kesalahpahaman. Misalkan ketika sudah minum ballo dan lain-lainnya,” ujarnya.

Ia mengaku, sudah beberapa penyelesaian konflik, mulai dari era Wali Kota Tenriadjeng, hingga Judas Amir, dan terakhir ini di Kedatuan Luwu.

“Masa Tenriadjeng, penyelesaian konflik itu hanya sekali dilakukan di SD Mancani. Kemudian era Judas juga sudah dilakukan pemotongan kerbau,” ujarnya.

Ia menuturkan, di Uri, ada banyak suku. Ada Bugis, Toraja dan Jawa. Namun mayoritas Rongkong, yang sudah ada tahun sejak tahun 1950-an, yang dulu dikenalkan sebagai bumi Rongkong.

Sementara itu, ditemui terpisah, salah seorang tokoh agama di Lingkungan Batu, Ustaz Juheri, juga menceritakan soal perseteruan panjang antara dua kampung tersebut.

Pria berusia 67 itu menceritakan jika orang Rongkong datang ke Uri atas kebijakan Datu Luwu Andi Djemma sekitar 1956 silam.

“Penduduk asli kami (Batu, red) disini. Mereka (Uri, red) itu ada sekitar Agustus 1956, atas kebijakan Datu Luwu, Andi Djemma. Mereka dari Rongkong. Ada izin tertulis tinggal sementara,” katanya.

Setelah Rongkong aman, ada 60 persen pulang. Juga ada menyebar ke beberapa tempat, seperti Sabbang, dan Dandang, Luwu Utara.

Soal konflik, Juheri juga menuturkan, masalah konflik ini sudah puluhan tahun. Sudah banyak upaya untuk meredam konflik.

“Sudah banyak perjanjian. Andai kertas bisa habis, mungkin sudah habis kertas untuk menandatangani surat pernyataan damai,” tandasnya.

Juheri mengaku, karena persoalan konflik ini sudah berlarut-larut, dan sudah ditempuh berbagai cara, maka dirinya menyurat ke Kedatuan Luwu untuk difasilitasi guna perdamaian kedua belah pihak.

“Saya menyurat ke Kedatuan Luwu. Pada surat kedua, yang saya tembuskan camat, Polsek, lalu kami ketemu Datu Luwu, 21 Oktober 2016,” imbuhnya.

Kemudian sepakat 28 Oktober dilakukan proses pengambilan sumpah adat. Pengucapan sumpah adat itu disaksikan para pemangku adat, seperti Maddika Bua, Makole Baebunta, dan dewan adat lainnya.

Juheri juga mengaku, konflik pecah biasanya dipicu miras dari kelompok anak muda. Ia membantah jika karena persoalan kesenjangan sosial.

Juheri mengaku, pasca pengucapan sumpah adat itu, orang tua dari kedua kampung ini sudah masing-masing terbuka.

“Agar suasana kondusif tetap terjaga. Orang tua biasa turun tangan jika ada dikhawatirkan menjadi pemicu konflik. Sehingga tidak seperti dulu lagi,” ujarnya.

Ia menegaskan, saat ini tidak ada lagi istilah pendatang dan penduduk asli. “Kita sama-sama saling menghargai. Komitmen menjaga keamanan,” tandasnya.

Ia mengaku, akan ada pengucapan sumpah dan perjanjian secara umum, yang dihadiri Datu Luwu bersama seluruh warga Batu dan Uri. “Ini untuk mengantisipasi gesekan, apalagi di momen Pilkada ini,” ujarnya.

Lurah Mancani, Zulkarnain Bahar, yang sudah 4 tahun menjabat, mengakui, upaya pemerintah sejak dulu sudah cukup maksimal dalam mendamaikan kedua belah pihak.

“Sejak saya menjabat lurah disini, konflik yang terjadi tak terhitung lagi. Kebanyakan memang konflik dipicu persoalan miras,” ujarnya.

Ia menyampaikan, sumpah adat yang diucapkan di depan Datu Luwu, kini masih terjaga. Mereka masih menjunjung tinggi sumpah adat yang telah diucapkan para tetua mereka.

“Sumpah adat itu, satu berbuat, maka semuanya akan menanggung masalahnya. Pasca sumpah itu, persaudaraan antara kedua belah pihak semakin membaik. Saat ini, komunikasi sudah mulai jalan, namun baru sebatas sesama orang tua, utamanya saat ada pesta. Kalangan anak muda sementara kita usahakan bisa bersatu,” ucapnya.

Rumah yang dibakar saat bentrok 2016 lalu

Upaya Perdamaian Sebelumnya

“Kami warga masyarakat Batu dan Uri’ Mancanai, berikrar setulusnya akan mengawal masyarakat demi tercapainya kemananan, dan akan menggalang masyarakat untuk tidak kembali melakukan pertikaian atau hal semacamnya, dan ketika ada masyarakat yang melakukan, akan diberi tindakan tegas dan diproses secara hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”

Demikian bunyi ikrar perdamaian masyarakat Batu dan Uri di Kelurahan Mancanai Kecamatan Telluwanua, Jumat, 23 Mei 2014, lalu, yang dihadiri Wali Kota Palopo HM Judas Amir.

Setelah ikrar perdamaian itu dibacakan, prosesi perdamaian itu kemudian dilanjutkan dengan upacara adat pemotongan kerbau seharga Rp21 juta, sebagai bukti kesungguhan masyarakat untuk berdamai, dan bentuk kesyukuran atas terlaksananya acara perdamaian adat kedua kelompok masyarakat.

Dalam sumpah yang mengunakan bahasa daerah tersebut ditegaskan, siapa saja yang mengulangi pertikaian sesudah pelaksanaan sumpah dan ikrar ini, akan diinjak kerbau sedalam tanah tujuh lapis, dan akan di tanduk dan diseret oleh kerbau ke atas langit tujuh lapis. Juga akan hengkang dari kampung dan semua hartanya tidak akan dibawa pergi.

Itulah sumpah yang diikrarkan warga. Hanya saja, pasca ikrar itu, para anak muda tetap saja melanjutkan pertikaiannya beberapa pekan kemudian.

Berbagai upaya perdamaian dari pemerintah sejak dulu selalu mengalami kegagalan. Mulai dari penandatanganan surat pernyataan damai dari kedua belah pihak, hingga prosesi adat pemotongan kerbau, namun tak juga manjur.

Saking banyaknya surat pernyataan perdamaian, Lurah Mancani Zulkarnain Bahar, menggambarkan, andaikan kertas dan tinta bisa habis, maka sudah habis dibuat surat pernyataan damai.

 

Langkah Hukum Polisi

Dari seluruh bentrokan yang terjadi di Mancani, berbagai upaya telah dilakukan polisi. Mulai dari tindakan tegas hingga pendekatan persuasif terus gagal mewujudkan perdamaian di kampung sebelah utara Kota Plaopo tersebut.

Polisi telah mengamankan ratusan senjata rakitan dari setiap penyisiran yang dilakukan pasca bentrok terjadi.

Tim gabungan menyisir rumah warga. Ditemukan banyak senjata rakitan di rumah warga. Sejumlah senjata tajam seperti, peluncur, senjata rakitan yaitu papporo dan parang, kerap ditemukan disimpan rapi di rumah-rumah warga.

Begitu juga dengan penangkapan pelaku. Bahkan sudah ada ratusan pelaku yang diringkus dari beberapa peristiwa bentrokan.

Namun sepanjang bentrok terjadi, belum ada catatan yang meninggal karena peristiwa bentrok. Namun kerugian materil sudah banyak. Mulai dari pembakaran rumah hingga pengrusakan kendaraan.

Kasubag Humas Polres Palopo, AKP Bustang, beberapa waktu lalu, mengaku, pihaknya telah berupaya berbagai langkah untuk mendamaikan kedua kelompok itu.

Menurutnya, sudah ada ratusan pelaku diringkus dari setiap peristiwa. Hanya saja, dirinya mengaku tidak punya data terkait jumlah pasti jumlah pelaku yang ditangkap dari sejak puluhan tahun silam.

“Kita selalu berupaya penyelesaian konflik dengan jalan persuasif. Jika itu gagal, maka kita akan melakukan tindakan tegas. Hingga perintah tembak di tempat bagi pelaku pernah dikeluarkan Kapolres,” tandasnya.

Sibukkan Anak Muda ke Arah Positif

Salah satu upaya untuk memelihara perdamaian antar kelompok pemuda tersebut, dengan menyibukkan mereka kepada hal-hal positif.

Wali Kota Palopo HM Judas Amir, dengan programnya ‘siapa mau kerja apa’ akan menyentuh anak muda di lingkungan Uri dan Batu. Harapannya, mereka akan sibuk bekerja, sehingga tak lagi ada waktu untuk melakukan hal-hal yang merugikan.

“Program siapa mau kerja apa ini sebagai upaya meminimal jumlah pengangguran yang ada di Kota Palopo. Program ini, pemuda ditantang untuk bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahliannya sesuai dengan bidang yang digelutinya,” ujar Judas.

Wali Kota menuturkan, program Siapa Mau Kerja Apa ini salah satu upaya yang dilakukan untuk menyejahterakan masyarakat dan menjauhkan warga dari konflik.

Pemerintah menyiapkan anggaran untuk masyarakat yang mau berusaha apa saja sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Judas menjelaskan, program tersebut dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat. Jika masyarakat sudah berdaya dan sudah mampu mandiri, maka secara otomatis akan menghindarkan dari konflik sosial, diantaranya di Mancani.

Program ini adalah penyaluran bantuan dan modal usaha bagi warga yang ingin membangun usaha.

Selain program itu, Dinas Sosial (Dinsos) Palopo juga telah mengambil langkah untuk terus memupuk persaudaraan di Mancani. Sebagai simbol persaudaraan, Dinsos telah membangun tugu perdamaian di Kelurahan Mancani.

Pada sosialisasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Jumat 29 September 2017, di Aula Kantor Kelurahan Mancani Kecamatan Telluwanua Kota Palopo, warga Mancani terus diimbau untuk menjaga silaturahim antara warga Uri dan Batu.

Kabid Bantuan dan Jaminan Sosial Dinsos Palopo, Hj Rosnida, menuturkan, Pemkot Palopo terus berkerja keras untuk menciptakan kesetiakawanan sosial guna mencegah konflik horisontal, termasuk isu SARA di masyarakat.

Ia berharap, dengan pelibatan seluruh pihak, termasuk organisasi kemasyarakat seperti Karang Taruna, maka anak muda yang ada di kampung itu, bisa lebih mengarah ke hal-hal positif. Seperti memberikan pelatihan, sebagai pembekalan keterampilan bagi mereka.

Ia menjelaskan, program keserasian Sosial ini merupakan program Kementerian Sosial sejak lama, namun di Palopo baru diterapkan pada tahun 2017 ini atas arahan Walikota Palopo.

“Program keserasian sosial ini termasuk untuk mencegah dan mengantisipasi teror dan paham radikal di masyarakat,” jelasnya.

Rosnida mengatakan, sasaran program tersebut adalah masyarakat di daerah rawan konflik yang sudah dipetakan. Melalui program tersebut, diharapkan memiliki kekuatan untuk membangun dinamika keseimbangan, ketika muncul stimulan-stimulan yang kontrasosial, tanpa memandang aspek ideologi, ekonomi maupun politik.

“Warga akan dilibatkan dalam merumuskan kebutuhannya. Setiap desa tentu memiliki kebutuhan sendiri-sendiri, tidak seragam. Pola yang digunakan memang dari bawah ke atas,” tuturnya.

Sementara itu, Camat Telluwanua Darsan Dappi, menuturkan, hingga saat ini situasi keamanan di wilayah Mancani pada khususnya, sudah stabil.

“Pertikaian yang terjadi di masa lampau sudah selesai, dan hendaknya kita dapat menjadikan pelajaran bagi kita semua. Terimakasih kepada Danramil dan Kapolsek yang sudah bekerja keras untuk mengamankan wilayah Telluwanua pada umumnya, dan Mancani pada khususnya,” ucapnya.

Danramil 1403-06 Wara, Kapten Inf Anton, memberikan saran, untuk mencegah terjadinya kembali konflik di Mancani, maka perlu diupayakan pengaktifan kegiatan positif masyarakat hingga ke tingkat RT. Sehingga mereka sibuk dengan kegiatan yang lebih bermanfaat.

Ia juga menyampaikan, saat ini sedang berlangsung TMMD dengan salah satu program pembangunan fisiknya adalah rehab 100 rumah.

Ia mengharapkan, dengan adanya TMMD ini, sekaligus bisa berkontribusi dalam membina persaudaraan antar warga di Mancani.

Anton juga mengaku pihaknya terus berupaya untuk memerangi narkoba, radikalisme, dan kenakalan remaja, yang dikhawatirkan memicu konflik.

“Kami berharap, masyarakat bersama-sama mewaspadai bahaya narkoba, radikalisme dan kenakalan remaja yang dapat berujung kepada konflik sosial,” imbaunya. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini