Aksi Unjuk Rasa Jangan Terlalu Mudah Atasnamakan Adat
PALOPO, TEKAPE.co – Aksi unjuk rasa di lingkar tambang yang ada di Sorowako, terkadang terkesan terlalu mudah membawa-bawa nama adat.
Padahal, adat sejatinya melakukan pendekatan yang lebih beradat dan menjunjung tinggi rasa saling menghargai.
Hal itu disampaikan Pemegang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief To Pallawarukka SH, dalam keterangan tertulisnya, Kamis 4 November 2021.
Sesuai tupoksi adat Pancai Pao di abad 15, memang sebagai patunru lilina ware Limpomajang atau penata laku antara masyarakat adat dengan Kerajaan Luwu di masa lampau saat tana Luwu menganut sistem pemerintahan kerajaan.
Atas tupoksi Pancai Pao itu, Abidin melihat apa yang terjadi di lingkar tambang, terkesan terlalu mudah melakukan unjuk rasa dengan mengatasnamakan adat.
Seperti rencana demo yang akan dilakukan perkumpulan masyarakat tiga suku, yakni Padoe, Karunsie, dan Tambee (Pasitabe), Senin 8 November 2021, di pertigaan Enggano, Luwu Timur.
Abidin mengaku mengapresiasi gerakan yang tuntutannya untuk kepentingan masyarakat banyak, namun sebaiknya harus memikirkan ulang lagi jika harus membawa nama adat.
“Dalam surat yang beredar, sejumlah pemangku adat bertanda tangan, atas nama lembaga adat masing-masing. Ini kan sudah mengatasnamakan adat. Padahal lewat adat, banyak jalan bisa dilakukan tanpa unjuk rasa,” tandasnya.
Abidin menyebutkan, gerakan tersebut bukanlah gerakan adat. Kalaupun ada yang membawa-bawa adat, itu hanya oknum.
“Demo adalah hal yang biasa sepanjang tetap pada koridor yang sebenarnya, sebab demo merupakan dinamika dalam berdemokrasi. Namun, kami dari pihak adat Kedatuan Luwu, kami sampaikan bahwa adat tana Luwu tidak mengenal yang namanya demontasi,” katanya.
Sehingga, kata dia, perlu dipahami agar nama adat Luwu tidak mudah untuk dibawa-bawa, karena adat Kedatuan Luwu adalah lembaga adat yang sakral.
“Sikap yang ada pada adat Kedatuan Luwu itu hanya dikenal adalah tindakan yang lebih elegan, bukan gerakan demo, makanya sangat sakral adat Kedatuan Luwu. Sehingga jangan terlalu mudah untuk dibawa dalam gerakan kelompok tertentu,” tandasnya.
Ia menegaskan, adat Kedatuan Luwu adalah milik wija to Luwu. Sehingga ketika berbicara adat, maka kaitannya adalah tana Luwu.
“Kami juga mengimbau kepada tiga lembaga adat yang ikut bertanda tangan atas nama Mahola, serta membubuhi stempel adatnya, agar dapat dipahami, bahwa Karunsie, Padoe, dan Tambee, adalah sub anak suku, satu kesatuan dengan adat Kedatuan Luwu, yang tidak dapat terpisahkan,” tegasnya.
Sehingga, sangat disayangkan, jika terlalu mudah atas nama adat dimunculkan, tanpa komunikasi dan koordinasi para pihak-pihak adat tertentu, yang mempunyai kewenangan atau tupoksi dalam pelaksanaan tatanan adat kedatuan Luwu.
“Harus dipisahkan, antara ormas Pasitabe dengan lembaga adat. Yang kami tau, Pasitabe adalah perkumpulan masyarakat Karunsie, Padoe, dan Tambee. Sedangkan adat Kedatuan Luwu, adalah lembaga sakral yang bukan perkumpulan organisasi biasa. (*)
Tinggalkan Balasan