Pemegang HGB Protes Tindakan Pemenang Sengketa Lahan PNP
PALOPO, TEKAPE.co – Sejumlah Pedagang atau Pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) yang berlokasi di Pasar Sentral Palopo atau Pusat Niaga Palopo (PNP), protes sikap pemenang sengkata lahan, Buya Andi Iksan B Mattotorang.
Pasalnya, pihak pemenang sengketa lahan meminta biaya sewa kios arai los kepada pedagang yang ada di atas lahan yang dimenangkannya.
BACA JUGA:
Kuasa Hukum Buya Nilai Pemkot Palopo Melawan Hukum
Pernyataan keberatan pedagang dan kuasa hukum pemegang HGB itu disampaikan melalui Kuasa Hukumnya, Muh Rasyidi Bakry, SH., LL.M., dari Kantor Hukum MR Bakry, S.H., LL.M & Associates.
Dalam rilis resminya, yang diterima Tekape.co, Rasyidi mengatakan, pihaknya menerima surat kuasa khusus, tertanggal 15 November 2020, bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan hukum dari sejumlah Pedagang/ Pemegang HGB yang berlokasi di Pasar Sentral Palopo, sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2536 K/Pdt/2013.
Sebagai respon terhadap somasi yang dikirim pihak Buya ke pedagang, maka pihak pengacara pedagang memberikan tanggapan atas somasi pihak Buya, sebagai pemenang sengketa.
Rasyidi menjelaskan, pada 3 poin amar putusan pengadilan yang dikutip pada halaman 1 somasi pihak Buya, yang menyatakan secara detail sebagai berikut.
a) Menyatakan sah menurut hukum Penggugat adalah Pemilik satu-satunya atas sebidang Tanah yang terletak di Kawasan Sentral Palopo Desa Amassangen Kecamatan Wara Kota Palopo yang berukuran kurang lebih 19.044 M2.
b) Menyatakan bahwa Perbuatan Tergugat Menguasai Tanah sengketa yang berukuran kurang lebih 19.044 M2 tersebut, adalah tanpa hak dan melawan hukum;
c) Menghukum Tergugat selaku Institusi Lembaga Pemerintah Republik Indonesia cq. Walikota Palopo untuk membayar Ganti Rugi Kepada Penggugat dengan perincian sebagai berikut: Kerugian Materiil sebesar Rp38.088.000.000,00 (tiga puluh delapan milyar delapan puluh delapan juta rupiah);
“Atas putusan tersebut, kami ucapkan selamat kepada Saudara, karena Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sehingga sebagai warga negara yang taat hukum apalagi instansi pemerintah haruslah mentaati keputusan tersebut,” ucap Rasyidi.
Namun, Rasyidi menyesalkan, setelah kutipan amar Putusan a quo, pihaknya menilai ada upaya dari pihak Buya untuk menafsirkan secara liar Putusan Pengadilan a quo, dengan mangatakan bahwa putusan a quo, berimplikasi kepada keabsahan HGB yang jadi milik pihak pedagang.
Rasyidi menjelaskan, memang benar bahwa berdasarkan putusan Pengadilan bahwa ‘Perbuatan Tergugat Menguasai Tanah sengketa yang berukuran Kurang Lebih 19.044 M2 tersebut adalah tanpa hak dan melawan hukum.’ Sehingga hal inilah yang menjadi dasar kenapa Pemerintah Kota Palopo dihukum untuk membayar kerugian materiil yang diderita sebesar Rp38.088.000.000.
“Dari amar putusan tersebut, sudah sangat jelas jika saudara pemenang berhak mendapat ganti rugi atas kerugian yang telah dialami, sesuai apa yang telah dituntut dalam gugatan pihak Buya,” katanya.
Juga, kata Rasyidi, sangat jelas pula jika tidak ada keputusan pengadilan untuk mengembalikan lahan obyek sengketa kepada pemenang, karena yang dituntut memang hanyalah ganti rugi atas penggunaan lahan tersebut, yang akhirnya terbukti melawan hukum.
Soal Keputusan Pengadilan a quo, telah secara tegas menyatakan bahwa Walikota Palopo yang harus bertanggungjawab.
“Namun kami mempertanyakan, kenapa sekarang, pihak pemenang, melalui orang suruhannya, dengan cara-cara illegal datang meminta ganti rugi kepada klien kami?,” tandasnya.
Rasyidi menjelaskan, sangat tidak layak membebankan ganti rugi kepada kliennya. Sebab, kliennya juga hanya korban dari kebijakan pemerintah, yang ternyata di masa lalu dilakukan dengan cara-cara otoriter tanpa peduli dengan hak-hak hukum orang lain.
“Kalau saudara pihak pemenang membebankan ganti rugi kepada John kami, itu artinya klien kami harus dibebani untuk membayar lahan yang mereka gunakan secara berulang, karena mereka telah membayar lunas HGB tersebut kepada Pemerintah Cq Pengembang,” katanya.
Rasyidi menjelaskan, hal inilah yang menjadi dasar kenapa Pengadilan memutuskan untuk menghukum Pemerintah yang membayar ganti rugi kepada Saudara.
“Dan tentu saja, karena pemahaman akan hal itu juga, sehingga dalam gugatan Saudara, tidak melibatkan Klien kami sebagai tergugat atau turut Tergugat. Karena tentu berangkat dari kesadaran Saudara bahwa yang bertanggungjawab atas kerugian Saudara adalah Pemerintah Kota Palopo,” katanya.
Rasyidi juga menyebut, ada kesan meneror kliennya, dengan cara menagih pungutan liar dengan cara kasar, melakukan penyegelan dll.
“Tindakan yang membuat tidak nyaman klien kami dalam menjalankan aktivitas usaha, adalah tindakan yang diduga sebagai perbuatan pidana yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Karena pihak Buya mendasarkan tindakan tersebut pada Keputusan Pengadilan aquo, tapi tidak ada satu kalimat pun dalam putusan a quo, yang membenarkan untuk melakukan penagihan, bahkan praktek pemalakan dengan cara-cara premanisme,” tandasnya.
Rasyidi menjelaskan, di bagian akhir somasi pihak Buya, mengutip pasal-pasal pidana diantaranya pasal 385 jo 372 jo. 378 KUHP.
“Namun dalam pandangan kami, pasal-pasal tersebut adalah sesuatu yang tidak relevan dengan posisi klien kami, sebagai pemilik sah HGB yang masih berlaku sampai dengan tahun 2026,” tegasnya.
Justru, kata dia, sikap pihak Buya yang melakukan pungutan illegal atau pemerasan kepada kliennya, yang diduga kuat sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Terakhir, Rasyidi mengingatkan kepada pihak Buya, agar tindakan yang menagih secara paksa kepada pedagang adalah tindakan yang pada akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri.
“Sangat disayangkan bahwa kemenangan hukum dan keadilan yang telah didapatkan, justru dapat tercemar oleh perbuatan sendiri, karena atas perbuatan tersebut, kami dapat menempuh langkah hukum baik pidana maupun perdata,” katanya. (*)
Tinggalkan Balasan