OPINI: Problem Kaum Muda, Tantangan Demokrasi Indonesia
Oleh: Hasan Sufyan
(Ketua KPU Kabupaten Luwu)
BARU-BARU ini University of Cambridge merilis hasil risetnya tentang millenial mulai tidak menyukai demokrasi. Angkanya sampai 55 persen millenial yang kecewa dengan demokrasi.
Riset ini dilakukan oleh The Cambridge Centre for the Future of Democracy bekerja sama dengan HUMAN Surveys Project, dengan mengumpulkan data lebih dari 5 (lima) juta responden yang berasal dari 160 negara berbeda, antara tahun 1973 hingga 2020.
Hasil riset ini melaporkan bahwa penyebab utama dari kekecewaan terhadap demokrasi di kalangan Milenial adalah pengangguran kaum muda serta ketidaksetaraan kekayaan dan pendapatan.
Secara eksplisit dikatakan oleh Dr. Roberto Foa “Beban hutang yang lebih tinggi, peluang yang lebih rendah untuk memiliki rumah, tantangan yang lebih besar dalam memulai sebuah keluarga, dan ketergantungan pada kekayaan yang diwariskan daripada kerja keras dan bakat untuk sukses adalah semua penyebab ketidakpuasan kaum muda,” (Dr. Roberto Foa, penulis utama laporan dari Departemen Politik dan Kajian Internasional Cambridge).
Para peneliti juga menemukan bahwa kaum muda justru bersikap positif tentang demokrasi di bawah kepemimpin populis kiri dan kanan.
Kaum muda tampak lebih puas dengan demokrasi di bawah populis daripada di bawah moderat, kata Daniella Wagner (rekan penulis laporan riset). Fenomena itu terlihat dengan kebangkitan sayap kiri Syriza dan Podemos di Yunani dan Spanyol. Dan kebangkitan sayap kanan populis dari Viktor Orbán Hongaria dan Partai hukum dan keadilan Polandia.
Intinya menurut riset ini, ada kecenderungan positif kaum Millenial terhadap politik populis kiri maupun populis kanan, artinya kelompok haluan politik moderat seperti kehilangan dukungan dan kepercayaan dari kaum millenial. Temuan atas fakta ini, bisa menjadi bahan evaluasi bagi kelompok politik moderat.
Tantangan Demokrasi Semakin Berat
Jika kita melihat fakta-fakta dari hasil riset dari University of Cambridge, berarti ada problem yang terjadi terhadap cara kita berdemokrasi.
Pemahaman demokrasi jika hanya dikaitkan dengan desain pemilu, pengisian jabatan publik, pelanggaran pemilu oleh politisi, pemilihan presiden, pilkada gubernur, pilkada bupati/walikota, tim sukses, kampanye, maka demokrasi hanya bermakna rutinitas periodik lima tahunan.
Padahal, demokrasi adalah sistem politik, sistem nilai, sikap dan perilaku berbangsa dan bernegara, justru hal ini yang sering dilupakan dan luput menjadi bagian dari pendidikan karakter berbangsa dan bernegara. Ini juga menunjukkan bahwa lembaga demokrasi seperti KPU, Bawaslu, organisasi pergerakan, NGO/LSM, dan Media, mesti terlibat dan ikut mengalakkan kegiatan pendidikan politik demokrasi substansial.
Riset Cambridge tersebut, juga menjadi gambaran bagi seluruh penyelenggara negara, bahwa demokrasi menyimpan masalah pada level negara. Demokrasi sisusupi kekuatan oligarki ekonomi dan oligarki politik dan sudah menjadi parasit didalam tubuh sistem politik negara.
Ketimpangan distribusi kekayaan yang sangat ekstrem antara kaum muda disatu sisi dan kaum oligarki yang kaya raya disisi yang lain, menjadi penyebab munculnya kekecewaan dan ketidak puasan terhadap demokrasi.
Tidak heran jika kalimat-kalimat bernada peyoratif kerap diungkapkan oleh kaum muda seperti, negara adalah komparador atas modal asing, birokrasi negara disebut kapitalisme birokrat (kabir), borjuasi nasional adalah kaki tangan asing, negara penganut neoliberalisme, dan lain sebagainya.
Respon atas semua situasi tersebut, justru dijawab dengan politik identitas. Fenomena kebangkitan populisme Islam dengan parade dan aksi yang sudah berjilid-jilid , jika meminjam dan merujuk tesis Vedi R. Hadiz, hadirnya fenomena tersebut merupakan respon atas dibajaknya demokrasi oleh kaum oligarki, sehingga memunculkan rasa ketidakadilan ekonomi politik terhadap umat Islam.
Problemnya kemudian adalah gerakan populisme Islam rentang kembali dibajak dan dimanfaatkan oleh kelompok oligarki, karena aliansi kekuatan populisme Islam merupakan aliansi antar kelas sosial masyarakat yang disatukan oleh simbol ummah atau simbol Islam, dan hanya fokus pada urusan moral politik tanpa penolakan terhadap sistem globalisasi neoliberalisme.
Hal itu disebabkan absennya kaum kiri mengisi aliansi kekuatan Islam. Juga karena kelompok politik Islam yang sudah terlanjur anti terhadap politik kiri disebabkan peristiwa berdarah 65 dan propaganda anti kiri oleh orde baru.
Melihat kenyataan ini, kelompok politik Islam dan kaum kiri perlu masing-masing mengevaluasi diri, kritik otokritik gerakan penting dilakukan agar ada titik temu membangun kekuatan bersama agar ketemu dalam gagasan politik bersama menyelamatkan agenda demokrasi sesuai amanat Pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
Dengan demikian, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan.
Selamat Memperingati Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020. (*)
Palopo, 27 Oktober 2020
Referensi
Link Riset Cambridge. (https://www.cam.ac.uk/stories/youthanddemocracy) Vedi R. Hadiz, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, LP3ES, Jakarta, 2019.
Tinggalkan Balasan