Diminta Anak Suku, 3 Pilar Kedatuan Luwu Turun Tangan Perbaiki Tatanan Adat di Matano
SOROWAKO, TEKAPE.co – Anak suku yang ada di Kemokolean Matano mengaku bingung harus mengikuti kubu siapa yang ada di wilayah adat Matano.
Pasalnya, di wilayah adat Matano, terdapat dua Mokole dalam satu wilayah adat, yakni satu orang Mokole Nuha yang dijabat H Andi Baso, dan satunya lagi Mokole Rahampu’u Matano yang dijabat H Umar Ranggo.
Namun Mokole Rahampu’u Matano H Umar Ranggo, belakangan, mengaku jika Kemokolean Rahampu’u Matano berdiri sendiri, tanpa ada kaitannya dengan Kedatuan Luwu.
Kepala Suku To Konde (Karua To Konde) Kemokolean Rahampu’u Matano, Abidung, S.Pd, M.Pd, kepada Tekape.co, Rabu 15 Juli 2020, mengatakan, pihaknya bersama 8 anak suku di Kemokolean Rahampu’u Matano, bingung dengan tatanan adat yang ada sekarang.
“Kami dari Kekaruaan To Konde Rahampu’u Matano, yang merupakan turunan dari La Matulia, berharap Kedatuan Luwu dapat menyelesaikan kerancuan tatanan adat ini. Tatanan ini harus dikembalikan ke asalnya,” tandasnya.
Menurutnya, dalam tatanan adat yang ada, tidak ada Kemokolean Nuha, yang ada Kemokolean Rahampu’u Matano. Kemudian Kemokolean Rahampu’u Matano ini berkaitan dengan Kedatuan (Kerajaan) Luwu, bukan berdiri sendiri sebagai kerajaan.
Ia juga menjelaskan, 8 anak anak suku di Kemokolean Rahampu’u Matano yakni To Karunsi’e, To Tambe’e, To Taipa, To Ture’a, Ihi Inia, To Weula, To Palo-Palo, dan To Padoe.
Mendengar aspirasi anak suku di Matano, pilar Kedatuan Luwu, yakni Macoa Bawalipu, Pancai Pao, dan Makole Baebunta turun tangan untuk melakukan upaya perbaikan.
Tiga bersaudara di masa lampau yang bergelar ‘pajung’ itu berupaya mengembalikan tatanan adat. Macoa Bawalipu sebagai kakak tertua dan pemegang spiritual tertinggi Kedatuan Luwu, Pancai Pao sebagai patunru Kedatuan Luwu yang menjadi pemegang pajung, dan Makole Baebunta sebagai penguasa wilayah, yang menjadi inisiator dengan simbol besar anak tellue.
Mereka melakukan musyawarah adat atas nama adat Kedatuan Luwu, guna memperbaiki tatanan adat yang selama ini mulai keluar dari aslinya, di salah satu tokoh masyarakat Sorowako, Luwu Timur, Sulsel, Selasa pekan lalu.
Tomanurung H Andi Baso Ilyas Opu Lanre, menjelaskan, tiga pilar di Kedatuan Luwu ini turun tangan, karena mereka inilah punya kewenangan mengambil keputusan jika terjadi masalah, yang tidak kunjung diselesaikan Datu.
Ia juga menjelaskan falsafah di Kedatuan Luwu itu cukup demokratis sejak dulu. Jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan Datu, maka akan diselesaikan pihak keluarga. Jika keluarga juga belum bisa dilesaikan, maka adat berhak mengambil alih, dan jika adat sudah tidak mampu, maka orang banyak akan bergerak.
“Luka taro Datu telluka taro anang. Luka taro anang telluka taro ade’. Luka taro ade’ telluka taro jemmae / tau maegae,” terangnya, dalam bahasa Luwu.
Saat ini, kata dia, masalah tatanan adat di Kedatuan Luwu sudah tidak bisa diselesaikan Datu dan keluarga Datu, maka sekarang bergerak perangkat adat untuk menyelesaikan ini.
Tak Ada Kerajaan Matano dan Kemokolean Nuha
Menanggapi terbentuknya Kemokolean Nuha dan klaim Kemokolean Rahampu’u Matano sebagai kerajaan sendiri, Macoa Bawalipu Wotu Ontonna Luwu, Bau M Aras Abdi To Baji Pua Sinri, melalui Pua Oragi Datu, Sumardi Noppo to Mecce, menegaskan jika merujuk sejarah, tidak pernah ada Mokole Nuha dan Kerajaan Matano di Tana Luwu.
Namun yang ada hanya Kemokolean Rahampu’u Matano. Itupun bagian dari perangkat Kedatuan Luwu, bukan kerajaan yang berdiri sendiri, seperti yang diklaim.
“Inilah yang perlu kita luruskan dan kembalikan ke tatanan adat yang seharusnya,” tegasnya.
Sementara itu, Makole Baebunta, Andi Suriadi, sebagai penguasa wilayah, menegaskan, pihaknya akan mengambil sikap tegas dalam memperbaiki tatanan adat yang ada.
“Keputusan dari musyawarah adat ini, akan kita rembukkan bersama, dan mencari jalan yang terbaik. Sebab kita tidak ingin tatanan adat kita keluar dari yang seharusnya,” tegasnya.
Sedangkan Pemegang Mandat Adat Pancai Pao, Abidin Arief, sebagai patunru Kedatuan Luwu, pemegang pajung, simbol tertinggi di Kedatuan Luwu, mengatakan, pihaknya tidak akan tinggal diam melihat tatanan adat yang sepertinya ingin dirusak oleh oknum-oknum untuk kepentingan pribadinya.
“Persoalan adat ini adalah persoalan orang banyak. Jati diri wija to Luwu. Sehingga tatanan adat ini harus diluruskan. Kita akan melawan siapapun yang ingin memanfaatkan adat untuk kepentingan pribadi atau golongannya saja,” tegasnya.
Sementara Turunan Datu Kamanre, H Andi Baso Opu Bau SH, juga menjelaskan, penyelesaian dualisme kepemimpinan di Kedatuan Luwu ini sudah pernah tercatat dalam sejarah, yakni saat dua bersaudara, putra Datu Luwu, berebut takhta. Antara Pati Pasaung dan Pati Arase.
“Atas inisiator Makole Baebunta saat itu, kedua putra mahkota itu bisa didamaikan. Sang kakak mengalah dan memilih ke Gowa. Sementara sang adik menduduki takhta Datu Luwu,” jelasnya. (*)
Tinggalkan Balasan