LAPORAN!! Adagium yang Sama, Terkadang Dipahami Berbeda
Oleh: Dr. Abbas Langaji, M.Ag.
(Donsen IAIN Palopo)
Sejak kecil, ketika masih di eS.De, kita sudah terbiasa dengan kata “lapor,” khususnya pada saat upacara bendera, yaitu laporan dari pemimpin upacara kepada pembina upacara.
Kata “lapor” inipun berkembang sesuai konteks penggunaannya dalam kalimat.
Dalam dinamika organisasi, khususnya dalam konteks hubungan atasan-bawahan, salah satu kegiatan yang seLaLu ada adalah “laporan,” baik dalam bentuk lisan, maupun tulisan, baik secara formal maupun tidak.
Di tempat kerja, katakanlah instansi pemerintahan, kantor perusahaan, lembaga lainnya, dalam hubungan atasan-bawahan tradisi laporan itu pun tetap dan harus ada; Bawahan yang baik diminta menyampaikan laporan kepada atasan, ada yang secara periodik, ada juga temporer atau insidentil.
Namun kadang kala ada laporan yang tidak diharapkan oleh si-terlapor; misalnya seseorang yang dilaporkan telah berbuat salah (apapapun bentuk perbuatannya yang dianggap kesalahan), baik secara personal (individual), maupun secara institusional.
Di segelintir organisasi, biasa kita temukan individu yang hobi melapor, yang (boleh jadi) “kebetulan” dipertemukan dengan atasan yang suka menerima laporan individual, maka di situlah biasa memunculkan konflik personal dalam organisasi tersebut; ada person tertentu yang apa saja atau siapa saja, bahkan sesuatu yang tidak penting pun dilaporkan, sekedar memenuhi “kewajiban” setoran laporan agar dianggap loyal;
Sebaliknya ada (lebih banyak) orang yang sangat menghindari memberikan laporan yang bersifat personal, namun mengedepankan laporan institusional.
Bagi model pertama, person yang hobi membuat dan atau menyampaikan laporan berlaku dua adagium sekaligus “no news is bad news” dan “bad news is good news”; bila “tidak ada berita (yang akan menjadi laporan) maka kenyataan tersebut merupakan berita buruk” dan “berita buruk (tetang seseorang, rekan kerjanya) menjadi bahan laporan yang baik.”
Pada model kedua, berlaku adagium “no news is good news,” tidak ada berita berarti berita (kondisi) semua baik-baik; namun boleh jadi justru dari atas diberlakukan adagium “no news is bad news,” karena tidak ada berita boleh jadi (kondisi) sedang tidak baik.
Dalam masa-masa emergency, seperti (katakanlah) masa2 mengatasi pandemik covid-19, setiap saat ada laporan baik tentang penambahan pasien yang positif terpapar covid-19, pasien yang sembuh, dan pasien yang meninggal.
Setiap sore, rakyat Indonesia menanti laporan dari juru bicara gugus tugas penanganan covid-19, harapan semua agar hari demi hari penambahan angka pengidap covid-19 semakin menurun, penambahan angka pasien yang sembuh semakin meningkat, dan pasien yang meninggal seminimal mungkin, bahkan bila perlu sudah menunjukkan angka NOL.
Gugus tugas nasional covid-19 setiap saat menanti laporan dari provinsi2 dan kabupaten2, pemerintah2 kota, dengan harapan seperti di atas.
Dalam konteks ini teringat adagium yang berlaku di bidang profesi yang berbeda dan dimaknai secara berbeda pula.
Konon dalam dunia militer, ketika sekumpulan prajurit dikirim ke medan perang, maka ungkapan “no news is good news,” bila tidak ada berita (kematian), maka itu adalah berita yang baik;
Demikian pula dalam situasi penanganan pandemic covid-19 secara nasional, dengan ungkapan yang sama “no news is good news,” bila tidak ada berita (buruk berupa penambahan jumlah pasien dan atau penambahan jumlah pasien yang meninggal), maka itu adalah berita baik.
Ketika beberapa daerah tidak ada “laporan” maka kenyataan tersebut merupakan sesuatu yang positif, artinya tidak ada berita “tentang itu” maka itu adalah berita bagus.
Namun boleh jadi pernyataan tersebut tidak berlaku di dunia jurnalistik; karena terkadang berlaku adagium yang lain bahwa “bad news is good news,” berita buruk (berupa penambahan angka pasien yang positif dan atau berita pasien positif yang meninggal) merupakan “bahan” berita.
Adagium lahir dan tercipta menjelaskan fenomena tertentu dari kehidupan umat manusia; dari adagium yang sama, terkadang dipahami bebeda bahkan bertentangan antara satu bidang profesi dengan bidang profesi lainnya. (*)
Tinggalkan Balasan