Tekape.co

Jendela Informasi Kita

OPINI: TAHI

Oleh : Muhammad Nursaleh
Penulis Buku
“Jalan Tuhan dan Celana Kolor”

Saya menulis tahi. Tahi yang telah menerima kodratnya. Tak pernah protes telah diciptakan menjadi sesuatu yang kotor, bau dan menjijikan. Dikubur atau dibuang ke mana pun ia nrima. Apalagi bila tahi dimuliakan. Dikemas apik dalam bungkusan makanan. Andai tahi bisa ngomong, tentu saja mulutnya berbusa-busa untuk sekadar mengatakan ; terima kasih.

Hari ini tahi berterima kasih kepada seseorang yang telah memuliakannya, menjadikan dirinya sebagai simbol keberanian, mengajak orang lain membuka mata untuk peduli, menebar kebaikan walau harus dengan cara “kotor”. Kali ini tahi telah menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang tak pernah salah, sekali pun sering dijadikan pelampiasan atas marah membuncah.

Saya kabarkan orang yang memuliakan tahi itu pada istri. “Isnul benar-benar berani. Saya acung jempol. Ia bungkus tahi sapi di styrofoam lalu diserahkan kepada Ketua DPRD Palopo.”

“Kok bisa begitu ?”

“Bu, terkadang untuk mengingatkan orang lain untuk peduli, cara kotor pun terkadang harus dilakukan. Isnul hebat. Hebat !” tegas saya menjawab.

Bagaimana tidak hebat dan bernyali, selama ini orang hanya berani melempar tahi tapi sembunyi tangan. Pun tidak jelas masalahnya apa. Yang jelas itu justru fisik tahinya. Ada tahi ayam, tahi sapi, tahi kerbau. Sementara si pembawa tahi siapa tahu.

Siapa bilang Isnul tidak beretika dengan menyodorkan tahi kepada Ketua DPRD Palopo ? Sesuatu yang kotor saja mampu dimuliakan Isnul dengan mengemasnya secara baik, terlebih lagi cara dia memuliakan Nurhaenih, bosnya lembaga legislatif itu. Toh Isnul bertamu secara baik. Menunjukkan dirinya bukan pengecut. Tidak main lempar tahi.

Coba bayangkan apa yang bakal terjadi jika Isnul melempar tahi itu ke muka Nurhaenih, sama yang dilakukan wartawan Irak, Muntader al-Zaidi yang saking berangnya berani melempar sepatu ke arah Presiden Amerika, George W Bush saat menggelar konfrensi bersama Perdana Menteri Irak, Nuri Kamal Almalili, 2008 lalu.

Atau Isnul, aktivis dan pedagang buku yang protes atas banyaknya ternak berkeliaran dalam kota itu melampiaskan marahnya dengan menjadi pelempar tahi misteri yang menghantui para wakil rakyat. Wah bisa repot ! Layaknya misteri pelemparan plastik isi tinja di Flyover Roxy, Grogol, Jakarta Pusat yang hingga kini masih berlangsung dan pelakunya belum tertangkap.

Tahi yang dibawa Isnul semestinya jangan dilihat sebagai bentuk makian kasar, namun jauh lebih elok memandang tahi itu adalah cara membangun kepekaan wakil rakyat untuk pandai mencium “bau” yang diderita rakyat yang diwakilinya. Punya empati meskipun berawal dari tahi.

Belum terlambat ! Jalan masih panjang untuk berbuat demi rakyat. Tahi yang dibawa Isnul adalah simbol pemberi harapan bagi para wakil rakyat yang kelak akan menjadi pupuk, pemberi kesuburan atas amanah yang diemban. Wakil rakyat serupa alam yang bekerja mendaur ulang tahi, menjadi sesuatu yang berkah, berguna namun tidak lupa asal muasalnya. Tahi !

Belopa, 28 Januari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini